Prolog

5 1 0
                                    

10 tahun yang lalu....

Desiran angin sore mengibas rambut pendek milik seorang anak sekitar umur 10 tahun yang menyusuri jalan kecil menuju sungai yang tak jauh dari belakang rumahnya. Ia menenteng sekantong apel dan dua botol susu rasa vanila dan coklat. Anak itu akan menemui teman sebayanya yang sudah menunggu di tempat biasa mereka bertemu.

Sebuah pohon besar rindang jadi tempat ia dan temannya bermain. Di sisi kiri jalan ada sebuah sungai yang airnya jernih dan biasa di manfaatkan para petani untuk mengairi ladang dan kebun. Sementara di sisi kanan, banyak perkebunan cabai, tomat, dan semangka.

Dari kejauhan, gadis itu mengernyit ketika menyadari temannya tidak ada di sana. Ia lantas mendekat untuk memastikan barangkali temannya bersembunyi di balik pohon.

"Jangan sembunyi-sembunyi, deh," ujarnya sembari terkekeh. Ia lalu menaruh apel dan botol susunya di atas rerumputan.

"Mau main petak umpet? Oke!"

Anak perempuan itu mengendap ke arah pohon. "Dor!!"

Deng dong~ tidak ada siapa-siapa.

"Mei, jangan bercanda. Nanti Mama mu marah lho."

Sepi sekali, hanya ada suara air yang meluap karena semalam turun hujan dan mengakibatkan air naik.

Anak itu mulai kebingungan dan was-was, ia lalu memanggil-manggil nama temannya. Namun, tetap tak ada jawaban. Di bawah sana, air sungai begitu deras tak seperti biasanya, melihatnya saja ia merinding.

Entah keberanian dari mana, ia mulai menuruni jalan setapak itu dan akan mencari di sekitar tepi sungai. Barangkali temannya sedang mencuci kaki atau—entahlah dia juga tidak tau pasti.

Ia melihat sekeliling sembari terus memanggil nama sahabatnya. Sepi dan tidak ada orang, sejujurnya ia takut. Dan sedikit tidak percaya bahwa ia harus menyisir tepi sungai untuk menemukan temannya karena selama ia berteman dengan Mei, anak itu tak pernah mau turun untuk main walau hanya sekedar di tepi sungai.

Sungai ini dipenuhi batu-batu besar, dan kemudian ia melihat benda mencolok di atas batu besar yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berlari untuk mengambilnya, topi beruang milik sahabatnya. Bertengger persis di atas batu, tetapi Sang pemilik tidak ada di sana.

"Mei! Kamu dimana?!"

"Ayo keluar dan cepet pulang!"

Hanya suara sungai yang gemuruh.

Ketakutan mulai merambati hati kecilnya. Ia menangis dan tak tahu harus apa. Ia ingin pulang dan memberitahukan kedua orang tua sahabatnya bahwa anaknya hilang. Tetapi ia takut. Seandainya ia pulang, justru Mei meminta bantuan dan ternyata tidak ada orang. Ia mungkin akan menyalahkan dirinya sendiri.

Akhirnya, ia putuskan untuk mencari ke arah hulu. Gadis itu berlari sambil membawa topi beruang sembari terus mengusap air mata.

"Tolong!"

Ia mengerejap mendengar jeritan itu. Anak kecil berambut pendek itu berlari ke arah sumber suara. Dari kejauhan, ia melihat seonggok tubuh tergeletak pada batu besar. Tak ingin berasumsi buruk, ia menghampiri untuk memastikan.

"AAAA!!" Gadis itu menjerit dan seketika mundur, ia menutup mulut tak percaya atas pemandangan di depannya.

Mei, sahabatnya, tergeletak sekarat di atas batu besar hitam. Dari kepalanya mengalir cairan merah yang masih segar. Ia menghampiri temannya dengan tubuh yang bergetar.

"Mei...."

Uhuk!! Cratt!!

Mei memuntahkan darah yang langsung mengenai wajahnya. Gadis itu menangis tak tertahankan melihat tubuh sahabatnya semakin lemah tak berdaya.

"Itu anaknya, itu!!"

Kemudian, para warga mulai berdatangan, bersama dengan polisi dan tim SAR. Mereka mulai menangani Mei, sementara anak 10 tahun itu di bawa oleh para polisi.

....

written by: dididijee

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang