19. invisible chains

4.1K 216 0
                                    

Asher pov

***

Langit di luar mulai berubah oranye, tanda bahwa hari hampir berakhir. Tapi di sini, di dalam villa ini, aku merasa seolah waktu berhenti. Setiap jam terasa begitu lambat, setiap menit seperti siksaan.

Aku mendengar suara mobil di luar. Detak jantungku langsung meningkat. Callum pulang. Aku bisa mengenali suara langkahnya sebelum pintu bahkan terbuka. Setiap hari, ada rasa takut yang tak bisa hilang setiap kali dia kembali. Aku tahu dia akan selalu memaksakan sesuatu, baik itu senyuman palsu, pelukan yang membuatku terjebak, atau kata-kata yang menyakitkan terselip di antara candaan.

Pintu depan terbuka dengan suara pelan, dan Callum masuk, mengenakan setelan rapi seperti biasa. Wajahnya tampak tenang, seolah tidak ada yang salah, seolah lima hari ini hanyalah sebuah liburan bagiku. Aku menahan napas, menunggu apa yang akan dia katakan kali ini.

"Asher," panggilnya dengan nada lembut, tapi ada sesuatu di balik suaranya yang selalu membuatku merasa tak nyaman. "Aku pikir... sudah waktunya kamu kembali ke kehidupanmu yang lama."

Aku menatapnya dengan bingung. Apa?

"Kehidupan lama?" tanyaku, suaraku terdengar lebih kecil dari yang kuharapkan. Aku ingin terdengar kuat, tapi setiap kali berhadapan dengannya, suaraku selalu bergetar.

Callum tersenyum tipis, melangkah lebih dekat. "Ya, aku pikir kamu sudah cukup di sini. Luke dan Tyler mulai curiga. Kita tidak bisa membiarkan mereka mengkhawatirkanmu lebih lama."

Curiga? Mereka tahu aku hilang? Ada harapan kecil yang tiba-tiba muncul di dadaku, tapi dengan cepat teredam oleh kenyataan bahwa Callum masih di sini, berdiri di depanku. Mungkin dia merasa terpojok. Mungkin ini hanya permainan lain untuknya.

"Tapi... kenapa tiba-tiba?" tanyaku, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Aku tak bisa mempercayainya begitu saja. Dia sudah membawaku ke sini dengan paksa, siapa yang bisa menjamin dia tidak akan melakukan sesuatu yang lebih buruk nanti?

Callum mendesah pelan, seperti bosan dengan pertanyaanku. "Sudah cukup, Ash. Aku tidak mau bikin masalah lebih besar. Kamu bisa kembali bekerja, kembali nongkrong dengan teman-temanmu. Tapi ingat..." Tatapannya berubah tajam. "...kamu masih milikku. Jangan lupa itu."

Kalimat itu membuatku merinding. Masih miliknya. Meski dia memberiku kebebasan, sepertinya ada tali tak kasatmata yang tetap menjeratku. Callum tidak benar-benar membiarkanku pergi—dia hanya memperpanjang rantainya.

Aku berusaha menahan wajahku agar tidak menunjukkan apa pun. Harus tetap tenang. "Kapan aku bisa pergi?" tanyaku, berusaha terdengar tidak terlalu tergesa-gesa, meskipun di dalam kepalaku ada suara yang berteriak agar aku segera kabur dari sini.

"Besok," jawabnya dengan santai, seolah ini semua bukan masalah besar. "Aku akan mengantarmu sendiri. Kamu bisa kembali ke rutinitasmu, tapi..." Dia berhenti sejenak, senyumnya yang familiar tapi menakutkan itu kembali muncul. "...ingatlah siapa yang membuat ini semua mungkin."

Aku menelan ludah, tak mampu berkata-kata. Ini belum berakhir. Aku tahu ini belum berakhir. Meski dia membiarkanku pergi, aku bisa merasakan bahwa kontrolnya masih ada, mengintai dari bayang-bayang. Callum selalu punya cara untuk memastikan aku tetap di bawah kendalinya.

Dia melangkah mendekat, menyentuh pipiku dengan lembut, seperti biasanya, dan mengecup keningku. Sentuhannya masih membuat kulitku merinding, tapi bukan karena cinta—melainkan karena rasa takut yang tak bisa aku hilangkan.

“Aku ingin cuddle semalaman denganmu,” ucapnya pelan, suaranya hampir berbisik, namun cukup jelas untuk menusuk ke dalam hatiku. Tatapannya dalam, matanya menatap mataku dengan intensitas yang membuatku merasa terperangkap.

Tangannya yang hangat menyentuh pipiku, lembut namun tegas. Sentuhan itu seharusnya menenangkan, tapi justru membuat perasaan di dadaku semakin kacau. Aku ingin menolaknya—bukan karena aku tidak menginginkan kehangatannya, tapi karena aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku tahu apa yang ia harapkan dari semua ini.

Tapi, meskipun begitu, tanganku tetap bergerak. Aku meraih tangannya yang ada di pipiku, menggenggamnya erat, seolah mencari kekuatan dari sentuhan itu. Aku mengangguk pelan, bibirku bergetar sedikit sebelum akhirnya mampu mengeluarkan suara, “Iya, ayo kita cuddle semalaman.”

Ia tersenyum, senyum yang seharusnya membuatku merasa aman, tapi kali ini ada sesuatu yang terasa berbeda. Senyum itu menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa kulihat, tapi bisa kurasakan—sebuah keinginan yang lebih dalam dari sekadar cuddle.

Besok... Aku bisa keluar besok. Tapi, apa benar itu akhir dari semua ini? Atau hanya awal dari sesuatu yang lebih buruk?

Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku tidak bisa lagi percaya padanya. Tidak setelah semua yang dia lakukan. Besok mungkin aku akan kembali ke kehidupan lamaku, tapi aku tahu hidupku tidak akan pernah sama lagi.

***

Dia menarikku ke arahnya, memelukku erat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang stabil, begitu berbeda dengan detak jantungku yang berdegup kencang, seolah berlomba dengan pikiranku yang kacau. Pelukan ini nyaman, hangat, tapi juga membawa beban yang semakin menumpuk di dalam dadaku.

Kami berbaring di atas tempat tidur, tubuh kami saling bersandar. Nafasnya tenang di samping telingaku, sementara aku terus mencoba menenangkan pikiranku sendiri. Bisakah aku terus bertahan seperti ini? Bisakah aku terus pura-pura bahwa semua baik-baik saja, padahal di dalam aku hancur berkeping-keping?

Aku merapatkan tubuhku ke arahnya, mencoba menahan rasa dingin yang tiba-tiba menyusup ke dalam diriku. Tapi bukan karena suhu kamar, melainkan dari ketakutan yang terus menghantui setiap kali aku berada di dekatnya. Meski begitu, aku tidak bisa melepaskan diri. Aku terjebak antara keinginan untuk lari dan rasa nyaman yang berbahaya ini.

Dia mengecup puncak kepalaku, tangannya melingkar di pinggangku, semakin erat. "Jangan pergi, Asher," bisiknya lembut, namun ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat tengkukku meremang.

Aku tersenyum tipis, meski dalam hatiku ada bara api ketakutan yang semakin membara. "Aku gak ke mana-mana..." jawabku pelan, meski tidak yakin dengan kata-kataku sendiri. Aku tidak akan ke mana-mana... bukan karena aku tidak ingin, tapi karena aku tidak bisa.

Caught in boss's grip (BL, END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang