bMw.

9 0 0
                                    

"Katanya... 'Aku suka kamu.' "

Oes menatap Mackenzie sejenak, lalu nyeletuk, "Cuma itu doang?"

Mackenzie memperhatikan surat itu sekali lagi dengan cermat. "Iya, cuma itu doang," jawabnya.

Oes yang sedang memandang dinding rumah terlihat sedikit terkejut. "Hah? Serius? Sini, gue liat!"

"Nih, liat aja," Mackenzie menyerahkan surat itu kepada Oes.

"Bener, dong!" serunya kaget.

"Ya iyalah! Masa gue boong," balas Mackenzie.

Oes menaruh surat di meja, tak lagi peduli.

"Mercy! Sisain, woy!" teriak Oes.

"Pake 'kak,' bego!" tegur Mackenzie.

Mercy menoleh mendengar teriakan itu. "Iya, bawel amat lu!" sahutnya.

Ibu Moe yang duduk di depan Mercy hanya menggeleng, meneruskan suapannya tanpa bicara.

"Kamu besok mau liat-liat rumah sakit kan?" tanya Ibu Moe.

Mercy mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.

Ibu Moe menatapnya dengan lembut, matanya menyiratkan keprihatinan yang sulit disembunyikan. "Sudah siap?"

Mercy menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Bu," katanya, suaranya nyaris berbisik. "Aku masih nggak yakin. Tapi nggak mungkin terus ditunda."

"Kadang memang harus dilalui, meski kita belum merasa siap," Ibu Moe berujar, suaranya menenangkan. "Kamu bisa kok. Kalau ada yang kurang cocok, masih bisa dicari yang lain."

Mercy tersenyum tipis, berusaha menenangkan kegelisahannya. "Mungkin aku terlalu banyak mikir."

Ibu Moe menyentuh pundaknya. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu jalanin dulu. Kamu nggak sendiri."

Mercy terdiam sejenak, mengumpulkan kekuatan dari kehangatan ibunya. "Besok aku coba," katanya akhirnya, dengan sedikit lebih yakin.

Sebagai mahasiswi kedokteran, Mercy paham betul bahwa kunjungan ke rumah sakit ini bukan hanya formalitas. Ini adalah langkah pertama menuju dunia yang selama ini hanya dia pelajari lewat buku dan kuliah. Sekarang, dunia itu terasa begitu nyata, dan dia akan segera menjadi bagian dari dinamika yang tak bisa dihindari.

"Mereka ngomongin apaansih?" tanya Oes pelan sambil menguping percakapan antara Ibu Moe dan Mercy.

"Mana gue tau. Kepo banget lu!" sahut Mackenzie.

"Berisik lu," jawab Oes sinis.

Mackenzie memilih diam. Hening sesaat.

"Kapan lu mau balikin buku Jade?" Mackenzie akhirnya membuka obrolan lagi.

Oes menoleh dengan malas. "Besok, kali."

"Oh," gumam Mackenzie.

"Ngapain?" tanya Mercy tiba-tiba, suaranya mengejutkan Oes dan Mackenzie.

Keduanya yang sedang asyik mengintip, langsung melonjak terkejut. Mereka mengelus dada, mencoba menenangkan diri.

"Kaget gue," keluh Oes, menarik napas panjang.

Mercy tersenyum kecil. "Makanya, jangan suka ngupingin orang," tegurnya dengan nada main-main.

Oes dan Mackenzie hanya bisa garuk-garuk kepala, meski tak gatal. "Hehe...," sahut mereka sambil cengengesan.

"Tidur dulu gue, ngantuk banget," ujar Mercy santai.

Sambil berjalan menuju kamarnya, ia menguap lebar. "Hoammm..." Terlihat jelas kalau dia benar-benar butuh istirahat.

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang