iii. konsteleasi antara karma dan semesta.

60 10 0
                                    

ini cerita tentang rumah yang berbeda dan berjarak jauh, hanya tersentuh dalam jarak do'a. ada hati yang ku jaga, namanu jadi rahasia, dalam diam kan ku bawa, mendarah.❞

nadin amizah.
mendarah.

*

TEPAT DIJAM TUJUH malam gue berdiri dihadapan pagar berkarat yang mungkin masih bisa gue bobol seperti saat gue lupa bawa kunci dan nggak berani membangunkan seisi kos karena gue terlalu senang main sama para tetangga rumah, yang selalu punya agenda main karambol tiap malam minggu. Rumah berukuran sedang itu tampak terbuka pintunya, remang lampu yang baru diganti menandakan cerita dari sana mungkin akan diakhiri untuk kemudian dimulai kembali.

Sama seperti gue yang sekarang sudah memulai cerita baru, rumah ini juga seharusnya melakukan hal yang sama.

GRAK!

"Nama gue Sangaji Setya, dan lo bisa manggil gue Aji. Ngomong ngomong ini rumah punya bokap, jadi yang ngisi cuma gue doang. Emang nggak niat disewain sih, jadi yah anggep aja lo masuk sini tuh karena lo dapet privilege dari gue, orang dalem."

Waktu mengurai ikatan ingatam yang sehari sebelumnya memang sudah gue biarkan kendor. Setelah gerbang terbuka, wajah Aji menyambut gue dalam bayang-bayang. Seragam sekolahnya yang berantakan dan kusut jadi hal yang sangat memorable, sedangkan rambutnya yang cepak dan acak-acakan jadi satu poin plus atas alasan kenapa dia bisa jadi sangat ganteng diantara banyaknya anak SMA swasta ibukota lainnya. Tapi meski begitu, bagi gue Aji adalah salah satu ciptaan semesta yang paling adil. Seperti diwaktu-waktu tertentu Aji bisa terlihat sangat cantik, tapi diwaktu-waktu yang lain, Aji bisa sangat ganteng.

"Kalo lo mau nemenin gue disini, gue jamin lo nggak usah bayar apapun lagi. Tapi lo harus mau bantuin gue beres beres ya, soalnya gue nggak sanggup kalo mesti beresin ini rumah sendirian."

Langkah gue mengambang di depan tangga tempat dimana bayangan Aji hilang dibalik pintu. Sebagai manusia yang punya ketakutan kalau penyakit jiwa mulai mengincar otak, gue seketika berbalik arah, berjalan lurus ke arah taman belakang, dimana tempat rahasia gue dan Aji ada disana. Tepatnya seratus meter dari bagian kolam renang, gue sama Aji sengaja bikin tangga ala kadarnya supaya kita bisa naik ke atap dan duduk duduk disana. Bukan, atap yang gue maksud bukan rooftop trendi yang kelihatan kekinian banget itu, tapi atap yang betulan atap, yang beruntungnya nggak terbuat dari asbes melainkan dari gentent-genteng mahal yang Aji jamin nggak akan roboh kecuali kita lompat-lompat disana.

"Aji."

Gue nggak punya niat mengitari rumah atau memeriksa setiap sudutnya satu persatu cuma untuk memastikan kalau ditempat yang sama Aji masih ada disana. Hidup, tertawa, bercanda, seakan dia nggak pernah kemana-mana. Mungkin dicerita lain lo akan menemukannya, tapi dicerita gue, gue sendiri menghindar dari segala macam cara drama mengambil alih perasaan gue. Gue nggak mau terjebak ditengah memori memori yang seharusnya memang nggak gue ingat lagi.

Karena buat gue yang perlu waktu dua tahun umtuk sembuh dari proses menerima rasa duka, rasanya nggak adil kalau pada akhirnya gue masih menangisi hal yang sama.

Miris.

Jadi alih-alih masuk ke dalam rumah, gue memilih duduk diatas atap, menatap ke segala arah dengan hampa. Sialnya gue lupa nggak bawa rokok. Ah, jangankan kepikiran buat beli rokok, gue bahkan lupa sama indomie dan kopi sachet yang tadi sempat gue pesan ke Mbok Suri. Gue juga meninggalkan Jatmiko tanpa gue pamit gue mau kemana.

selamat malam, jakarta.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang