"dialog singkat namun mengesankan
dialog singkat yang menurut mereka biasa saja tapi untukku luar biasa
setiap kata darimu yang selalu menjadi dialog favoritku"***
kata mereka kamu introvert
kata mereka berbicara denganmu butuh effort
kata mereka kamu enggan berdialog lebih dulu
tapi, mengapa bagiku mereka tampak berbohong?
apa boleh aku berharap bahwa aku seseorang yang spesial bagimu?"mau pulang ya? " dialog pertamamu yang sampai saat ini masih tergambar keadaan kala itu.
"pulang deluan ya" dialog yang selalu kamu ucap hampir setiap hari saat kamu ingin pulang.Dua kata itu adalah dialog favoritku dan setiap moment saat bersamamu adalah moment favoritku, dan apapun segalanya tentangmu akan selalu menjadi favoritku.
Aku tidak beranggapan dia juga memiliki rasa yang sama denganku tetapi setiap hal-hal yang dia lakukan selalu membuatku merasa seperti ada timbal balik.
Aku pernah mendengar katanya "seseorang introvert jika sudah mulai terbuka itu berarti dia nyaman dengan seseorang tersebut" apa benar begitu?
kalau memang itu benar, bagaimana kalau ini?
Malam itu hujan turun dengan deras tapi santai Hari dimana aku dan dia banyak tersenyum dan berbicara, mungkin menurut mereka itu adalah hal yang biasa, tapi menurutku tentu tidak biasa.
Saat itu mungkin bisa kukatakan itu adalah dialog terpanjang kami.
Ada satu keadaan yang membawaku untuk menghampirinya, aku menghampirinya berjalan pelan dengan perasaan gugup, aku berfikir bagaimana caranya akrab dengamu? apa aku harus memulai sebuah percakapan lebih dulu?
"baiklah aku akan mencoba memulainya" dengan perasaan percaya diri, menahan segala kegugupan yang bersarang didada dan meyakinkan diri sekakan semua berjalan dengan alami.
keadaan sangat gugup namun aku memberanikan diriku untuk memulai dialog.
"se.. sepi ya" kataku dengan gugup.
"Iya hujan.." jawabnya dengan suara yang rendah diringi senyuman dan tatapannya yang teduh.
"Biasanya kalau hujan jam segini pasti bakalan sepi sampai larut" jawabku lagi.
keadaan kala itu memang benar-benar gugup dia terdiam dan aku kira percakapan itu berakhir sampai disitu, ternyata bukan aku saja yang merasa gugup tetapi dia juga merasakan hal yang sama, entah itu hanya asumsiku saja atau benar nyata adanya tapi yang kulihat dan keadaan yang sangat canggung kala itu membuatku merasa apa yang dia rasakan sama seperti yang aku rasakan.
"Besok kami tutup ya nggak buka.." ucapnya dengan lembut.
(Oh ya kata "kami" itu jika di daerahku sering diartikan ke kata "aku" dan kata "kami" adalah kata "aku" dengan versi lebih lembutnya, kurang lebih seperti itu)"Oh iyaa,, kemana?" jawabku.
"ada acara.." jawabnya.
Jujur saja dia cuek tetapi nada kata yang setiap keluar dari mulutnya selalu dengan nada yang rendah dan lembut.
"acara apa?" jawabku,
"nikah" jawabnya.
"ohh" jawabku dengan gugup.
"abang yang kemarin kesini itu yang nikah" ucapnya lagi,
"yg mana? Yg mau buka usaha itu?" jawabku.
"iya abangnya" ucapnya.
"ohh, kirain abang itu.. " jawabku.
"nggak, abang itu adiknya" ucapnya.
"oh iyaa... " jawabku dengan selalu gugup.
saat mereka menganggap itu hanyalah dialog biasa tapi aku selalu menganggap itu adalah dialog spesialku.
"kenapa?"
Karena jika aku hitung hariku selama mengaguminya hari itu adalah hari pertama aku mendengar ceritanya.
Hal hal tanpa sengaja seperti ini yang selalu aku harapkan dari Tuhanku.Mungkin aku mengiranya dia mulai terbuka atas ceritanya atau hanya kebetulan saja, tetapi setiap moment apapun yang terjadi aku percaya ini semua adalah rencana Tuhan.
Dan apa kamu tahu?
Aku selalu menganggap hal-hal seperti itu adalah awalan doa-doaku yang akan dan seterusnya di kabulkan oleh Tuhan.
Dan jika keajaiban itu tiba, dimana hari aku dan kamu bisa disatukan dalam pernikahan akan kuceritakan semua tentang perasaanku, perjuanganku dan semua tentang hal hal kecil yg kamu buat yang buat aku bahagia.
Dan jika memang bukan kamu,
Kisah ini akan ku simpan di tempatnya sendiri dengan rapih melalui tulisanku agar cerita itu tetap abadi dan akan selalu abadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu nama yang abadi (Revisi)
Fanfictionkarena aku belum tentu bisa memilikimu, biarkanlah rasa ini abadi dalam tulisanku