chapter 十七

105 21 4
                                    

HAPPY READING

17






Felix benar-benar putus asa.

Ia sudah berada disana cukup lama dan rasanya sangat mustahil bisa melarikan diri dari pria itu. Felix tak punya banyak permintaan sekarang, ia ingin berhenti; hanya itu yang mengisi pikirannya beberapa hari terakhir ini. Kehilangan harapan ditambah hidup bersama Mingi rasanya hanya menjadi beban untuk Felix. Ia tak sanggup kalau tetap bertahan—Felix tidak mau berada disana dan menjadi peliharaan seorang Mingi Jareththo lebih lama.

Laki-laki manis itu mengerang kala lubang kunci pintu balkon di depannya tak juga berhasil dibuka, ia sudah berkutat disana cukup lama dan tidak menghasilkan apa-apa. Felix ingin keluar dari balkon, bagaimanapun hanya itu cara termudah untuk pergi, toh ia pikir tidak akan ada pengaruhnya pada Mingi saat pria itu menemukannya tergeletak tak bernyawa di bawah sana nanti.

Karena itu, setelah Mingi meninggalkannya sendiri di kamar pagi tadi tanpa menunda Felix segera menelusuri seisi kamar itu, dan sayangnya, kamar dengan interior mewah yang cukup luas itu justru tidak menyimpan apapun yang bisa membantunya melancarkan niat buruk itu. Felix hanya menemukan penjepit kertas yang ada di laci dan hanya benda kecil itu yang bisa ia harapkan sekarang.

"Kenapa tidak bisa?!" Keluhnya pelan saat ia sudah cukup frustasi mengutak-atik lubang kunci itu dengan berbagai cara.

Felix menghela napas dalam-dalam, bahkan Tuhan tidak mendengarkan keinginannya. Felix hanya ingin mati dan kenapa dunia seakan tidak memberinya celah untuk pergi. Apa memang harus seperti ini jalan hidupnya? Menyerahkan diri untuk Mingi Jareththo sepenuhnya.

"Sedang apa disana Felix?"

Felix tertegun, ia sontak memutar tubuhnya menemukan Mingi yang entah kenapa sudah muncul di ambang pintu. Langit di luar bahkan masih sangat cerah, tidak biasanya ia kembali secepat itu.

Felix menelan ludah, kakinya reflek terseret mundur ketika Mingi mulai berjalan mendekatinya. "Kakimu sudah sembuh? Bisa berjalan?"

Bodoh, tentu saja belum. Bajingan itu tak pernah memberinya alat bantu dan selama ini Felix tak pernah pergi dari ranjangnya selain untuk ke kamar mandi. Dengan perawatan seadanya luka tembak di kakinya tidak akan pulih secepat itu, mau tidak mau Felix harus berpegangan pada benda di sekitar hanya untuk bisa beranjak dari ranjang.

"Kau mau apa Felix?"

"Mencoba kabur? Melalui balkon?" Mingi kembali bertanya, kali ini dengan tatapan tidak yakin. Pasalnya bagaimana mungkin laki-laki manis itu bisa kabur dengan cara itu disaat kamar mereka bahkan berada di lantai sembilan, Mingi tahu Felix pasti punya tujuan lain. "Ah, kau mau loncat dari atas sini, iya?"

Felix mengeratkan kepalan tangannya kemudian menggeleng. Lagi-lagi Felix panik, ia takut.

"Kau tahu alasanku mengunci pintu ini?" Perlahan Mingi meraih kepalan tangan yang disembunyikan laki-laki manis itu di belakang tubuhnya, membuka jemari gemetar itu, lalu mengambil penjepit kertas yang ada digenggamannya. "Aku tidak ingin kau mati Felix."

Meski tatapannya datar, Felix bisa melihat kemarahan tersirat dari sorot mata itu dan kalau ia bisa jujur, Mingi Jareththo yang seperti ini jauh lebih mengerikan daripada saat ia terang-terangan memperlihatkan bahwa dirinya marah.

"Maaf." Lirihnya. "Aku—aku hanya ingin menghirup udara di luar, aku bosan di sini."

Mingi mengangkat sebelah alisnya, mencoba mengikuti alur kebohongan yang tengah Felix lakukan. Jelas saja ia tidak percaya dengan alibi itu. Semakin lama berada disana Felix semakin terlihat kacau; laki-laki manis itu lebih banyak diam ketimbang memberi perlawanan, bahkan terkadang Felix menjadi jauh lebih penurut dari biasanya. Walau masih sering menangis, Mingi rasa ia cukup berhasil membuat laki-laki manis itu tunduk.

Beyond EvilWhere stories live. Discover now