Suasana di ruang rapat terasa menegangkan. AC yang biasanya tidak begitu dingin kini menusuk hingga ke tulang, membuat Asher merasa seperti berada di kutub. Ini adalah rapat penting, dan itu saja sudah cukup membuat Asher merasa mual.
Dia memandang layar proyektor, menyimak Callum yang sedang mempresentasikan tentang sponsorship dan event. Di sekelilingnya, hampir semua yang hadir adalah Alpha, dan itu membuatnya semakin gugup. Tangannya tak henti-henti memainkan pulpen, mencari pelarian dari ketidaknyamanannya.
Beberapa divisi hadir dalam rapat ini-termasuk divisi keuangan, investasi, di mana Asher dan dua temannya, Luke dan Tyler, berada, serta divisi manajemen risiko, pemasaran, dan pengembangan bisnis. Suasana tetap tegang sepanjang rapat yang berlangsung selama satu jam. Begitu selesai, hampir semua orang langsung keluar, kecuali Callum, tim dari divisi investasi, dan Mr. Stevenson, direktur perusahaan media besar yang menjadi mitra bisnis mereka.
Asher, Luke, dan Tyler duduk diam di kursi mereka, memperhatikan dengan seksama. Mereka tahu ini bukan sekadar rapat biasa-ada sesuatu yang lebih besar sedang direncanakan.
"Jadi, anak Bapak akan magang di sini, di divisi investasi?" Callum membuka percakapan dengan nada hati-hati, berusaha tetap profesional.
Mr. Stevenson tersenyum lebar dan mengangguk. "Betul sekali. Dan jika bisa, saya ingin dia berada di bawah pengawasan langsung Anda, Callum."
Sekilas terlihat Callum memandang dengan sedikit ketidaksukaan, namun ia segera menetralkan ekspresinya. Pria paruh baya di hadapannya tidak berusaha menyembunyikan niatnya sama sekali. Callum tahu benar arah pembicaraan ini. "Saya akan pertimbangkan lagi. Apakah anak Anda datang hari ini?"
Wajah Mr. Stevenson langsung berbinar. "Tentu saja, dia datang bersama saya." Ia segera merogoh sakunya, mengambil ponselnya, dan menelepon putrinya.
Asher menahan napas, bertukar pandang dengan Luke dan Tyler. Mereka bisa merasakan ketegangan yang meningkat, menyadari implikasi dari apa yang baru saja didengar. "Sepertinya kita akan punya masalah baru," gumam Luke pelan, hampir tak terdengar.
Tyler mengangguk, matanya tetap fokus pada Callum dan Mr. Stevenson. Asher hanya bisa merasakan perutnya semakin mual, memikirkan bagaimana kehadiran anak Mr. Stevenson akan mengubah dinamika di antara mereka semua.
Pintu ruang rapat terbuka, dan seorang gadis melangkah masuk. Isabella Stevenson. Penampilannya rapi, mengenakan blazer hitam dan celana formal, tetapi wajahnya yang imut dan polos membuatnya lebih mirip anak kelas 11 SMA daripada seorang pekerja magang. Callum berhenti bicara sesaat, melongo tak percaya.
Gadis itu tersenyum cerah. "Selamat pagi, saya Isabella. Senang bisa bergabung di sini," katanya dengan nada riang, seolah ia berada dilingkungan sekolah bisnis seperti biasa. Callum menelan ludah, otaknya berputar.
"Ini dia yang mau dijodohin sama gue? Apa-apaan ini!" pikir Callum dengan panik. "Gila, bisa-bisa gue dibilang pedofil! Dia lebih cocok jadi anak gue sama Asher!" Bagaimana bisa seseorang yang terlihat begitu muda dijodohkan dengannya? Ini benar-benar absurd.
Mr. Stevenson tampak puas, tak sadar dengan keterkejutan Callum. "Ini Isabella, Callum. Saya harap dia bisa banyak belajar di bawah bimbingan Anda," katanya, senyumnya lebar.
Callum mencoba keras untuk tetap tenang, meski di dalam kepalanya ia ingin segera kabur dari situasi ini. "Gimana bisa orang tua normal ngerencanain ini?" batinnya berteriak. Asher, yang sejak tadi memperhatikan, hampir tersedak menahan tawa melihat ekspresi Callum yang kebingungan. Luke dan Tyler hanya saling melirik, tak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Baik, saya... saya akan lakukan yang terbaik," kata Callum akhirnya, suaranya terdengar ragu. Matanya beralih cepat ke Asher, mencari dukungan, tetapi Asher hanya mengangkat bahu, tampak menikmati kebingungan yang dialami Callum.
***
Asher, Luke, dan Tyler segera bangkit dari kursi mereka setelah rapat selesai. Callum masih terlihat sedikit canggung, tapi mencoba mengatur dirinya. Saat Mr. Stevenson berbalik untuk berbicara dengan Callum, Asher mengambil kesempatan itu untuk mendekati Isabella dengan senyuman ramah.
"Hei, Isabella. Aku Asher, ini Luke dan Tyler. Kita satu divisi, jadi kita bakal sering ketemu. Gimana kalau kami ajak kamu keliling kantor sekarang?" Asher menawarkan dengan nada ceria, meski di dalam hatinya dia masih bingung dengan situasi ini.
Isabella tersenyum lebar, antusias. "Oh, boleh banget! Aku belum tahu banyak soal kantor ini."
Mereka bertiga mulai berjalan mengelilingi kantor, menunjukkan berbagai bagian divisi investasi, mulai dari ruang kerja hingga lounge karyawan. Luke dan Tyler mengikuti dari belakang, sesekali bertukar pandang penuh tanda tanya.
Asher akhirnya tidak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah di dalam dirinya. Saat mereka berjalan melewati ruang meeting kecil, dia berpaling ke Isabella. "Ngomong-ngomong, Isabella, kalau boleh tanya... kamu umur berapa, ya? Soalnya, kamu kelihatan masih sangat muda."
Isabella tertawa kecil. "Aku? Oh, umurku 17 tahun."
Ketiganya langsung berhenti di tempat. Asher merasa darahnya berdesir. Luke dan Tyler sama terkejutnya, mata mereka membulat. Mereka tidak menyangka jawabannya akan serendah itu.
"Serius, 17?" Luke akhirnya bersuara, nada bicaranya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Isabella mengangguk santai. "Iya, aku baru lulus SMA beberapa bulan yang lalu. Papa bilang magang di sini bisa jadi pengalaman yang bagus sebelum aku mulai kuliah."
Tyler mendekat, matanya menyipit penuh lelucon. "Masih bocah bau ingus, kamu itu harusnya di rumah aja main Barbie," katanya sambil terkekeh.
Isabella langsung berhenti, melirik Tyler dengan tatapan tajam. "Aku udah nggak cocok main Barbie! Cocoknya maenin perasaan cowok," balasnya dengan santai tapi menusuk.
Luke yang berdiri di belakang Tyler langsung tertawa keras. "Weh, kecil-kecil cabe rawit nih!" komentarnya, sambil menepuk punggung Tyler yang tampak terdiam sesaat.
Tyler, yang tidak menyangka akan dibalas begitu tajam, mengerjap beberapa kali, lalu mengusap dagunya sambil pura-pura merenung. "Hmm... maenin perasaan cowok, ya?" katanya pelan, berpura-pura berpikir keras. "Yah, kalau gitu hati-hati sama Luke, dia tuh gampang baper."
Luke langsung terlonjak. "Hah, gue? Hahaha, jangan harap! Gue imun sama yang gitu-gitu!" Ia menepuk-nepuk dadanya dengan bangga, tapi matanya masih melirik Isabella dengan waspada, takut dibalas lebih tajam lagi.
Isabella mendengus kecil, menyeringai ke arah Luke. "Kamu? Oh, jangan khawatir, yang kayak kamu nggak masuk tipeku."
Asher hampir tertawa terbahak, tapi berusaha menahannya, sementara Luke langsung terdiam, pura-pura tersinggung. "Eh, tunggu dulu, ini kenapa gue yang kena?" katanya sambil menatap Tyler dengan pandangan menuduh.
Tyler mengangkat tangan dengan senyum jahil di wajahnya. "Maaf, bro. Lu kan emang sasaran empuk," jawabnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Mereka semua tertawa kecil, kecuali Luke yang mencoba menyelamatkan harga dirinya dengan cepat. "Gue nggak gampang baper, oke? Cuma, eh... siap-siap aja, Isabella. Jangan sampai cowok-cowok di sini yang maenin perasaan kamu."
Isabella tersenyum lebar, penuh tantangan. "Justru itu, kita lihat siapa yang bakal menang."
Asher akhirnya tak bisa menahan tawa lagi, menepuk punggung Luke. "Wah, Luke, kayaknya kita yang harus hati-hati di sini. Anak baru ini nggak main-main."
Luke mengangguk sambil tersenyum kecut. "Gue rasa iya. Gue udah nggak mau komentar lagi, takut jadi korban berikutnya," katanya, mengangkat tangan tanda menyerah.
Isabella hanya tersenyum penuh percaya diri, melangkah maju seolah siap menghadapi apapun yang datang di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caught in boss's grip (BL, END)
Teen FictionAsher Roth adalah seorang omega pria yang bekerja di sebuah perusahaan ternama. Hidupnya berjalan baik-baik saja hingga suatu hari, ia tiba-tiba mengalami heat, dan situasi tersebut diketahui oleh bosnya, Callum. Tanpa sepengetahuan Asher, Callum ma...