----
Empat puluh menit kemudian, Tyler kembali ke ruangan Callum dengan membawa pesanan mereka. Dia meletakkan makanan di meja, lalu menatap dengan heran ke arah Callum dan Asher yang masih berpelukan di sofa.
"Serius? Gue pergi udah empat puluh menit, balik-balik masih cuddle aja?" tanya Tyler sambil mengerutkan dahi, tidak percaya.
Asher hanya mengangkat bahu tanpa merasa bersalah. Callum, yang akhirnya merasa cukup, bangkit dari posisi berbaring dan duduk tegak di sofa. Dia langsung membuka kotak pizza dan mengambil satu potong.
Asher meraih kentang gorengnya, menawarkannya pada Tyler. "Mau kentang, Ty?"
Tyler melambaikan tangan menolak. "Enggak, thanks."
Namun, Callum langsung melirik Asher dengan tatapan cemburu. "Kok Tyler doang yang ditawarin? Aku nggak?"
Asher tertawa kecil, lalu mengulurkan kotak kentang ke arah Callum. "Ya udah, nih, kamu juga."
"Suapin," pinta Callum dengan nada manja.
Asher memutar matanya, tapi akhirnya menuruti permintaan itu, menyuapi Callum dengan malas. Tyler yang melihat adegan itu langsung merasa geli.
"Dih, pake acara geli segala lu. Gue doain lu jadi clingy kayak Callum suatu hari nanti," goda Asher sambil tersenyum jahil.
Tyler tertawa sambil meletakkan kartu Callum di meja. "Gue? Clingy kayak gitu? Nggak mungkin lah, kocak!" balasnya, masih terpingkal-pingkal.
"Yeu, bocah gak percaya. Liat aja nanti," ujar Asher sambil tersenyum tipis. "By the way, Isabella gimana? Nyariin gue ya?"
Tyler mengangguk. "Iya, kasihan tuh anak ayam lu, nanyain kapan lu balik lagi."
Callum yang duduk di sebelah langsung menimpali dengan santai, "Suruh dia ke sini saja. Oh, iya, Tyler, revisi lagi statistik ROI-nya."
Tyler pura-pura bingung. "Statistik yang mana ya, Pak?"
"Jangan pura-pura lupa. Kerjakan sekarang," titah Callum, tegas.
"Pak, saya juga butuh santai sehari aja," keluh Tyler dengan nada manja.
"Selesaikan dulu statistiknya, nanti saya kasih libur," sahut Callum.
Wajah Tyler langsung cerah. "Serius, Pak?" Tanpa menunggu jawaban, ia buru-buru pamit dan keluar ruangan.
Beberapa menit kemudian, Isabella mengetuk pintu ruangan Callum. Setelah mendengar suara Asher mempersilakannya masuk, ia segera masuk dan duduk di lantai, di sebelah Asher.
Isabella menyentuh lengan Asher dengan pelan. "Kak, kenapa duduk di sini? Aku takut sama Pak Callum," bisiknya.
Asher melirik ke arahnya dan tertawa kecil. "Dia nggak menyeramkan kok."
Isabella melirik Callum yang fokus pada laptop di depannya. "Lihat aja mukanya, Kak. Serem banget," ujarnya pelan.
"Cal, Isabella bilang kamu serem," ujar Asher santai pada Callum.
Isabella panik, langsung memeluk lengan Asher erat-erat dan menyembunyikan wajahnya di balik lengannya. "Enggak kok, Pak! Kak Asher cuma ngarang!" katanya terbata-bata.
Callum melirik ke arah mereka berdua, namun pandangannya tertuju pada tangan Isabella yang memeluk erat lengan Asher. Tanpa berpikir panjang, ia menarik Asher mendekat ke arahnya, membuat Isabella terkejut dan segera melepaskan pelukannya.
Asher langsung memukul tangan Callum. "Apa sih? Kamu cemburu sama anak kecil?!"
Callum menatap wajah Asher dengan serius. "Aku nggak cemburu, cuma nggak suka aja," ujarnya sambil menutup laptop.
"Sama aja itu!" Asher memutar mata, lalu sedikit menjauh dari Callum.
Tak mau ditinggalkan, Callum mendekat dan meraih lengan Asher, memeluknya erat. "Jangan jauh-jauh, dong. Maafin aku, ya?"
Isabella hanya duduk diam, merasa semakin canggung melihat interaksi mereka.
Melihatnya, Asher tersenyum kecil dan berkata, "Gak usah canggung, Bell. Makan aja pizzanya. Aku manggil kamu ke sini buat bantuin aku ngabisin pizza, kok."
Isabella tersenyum kaku, menatap pizza yang ada di meja, tapi jelas tidak tahu harus berbuat apa. Suasana di ruangan terasa aneh, seolah ada yang belum terselesaikan di antara Asher dan Callum.
Dia mencoba meraih sepotong pizza, berharap ini bisa mengalihkan perhatiannya dari ketegangan yang dirasakannya. "Oke, aku makan," katanya pelan, menggigit pizza tanpa banyak bicara.
Asher menatap Isabella sejenak, lalu kembali memandang Callum. "Kamu ini aneh, tahu nggak?" katanya dengan nada setengah bercanda, meski ada sedikit ketegangan di balik senyumnya.
Callum tertawa kecil, tetapi tidak sepenuhnya lepas. "Aneh gimana?" tanyanya sambil tetap memegang lengan Asher, meski kali ini lebih pelan, seolah memastikan tidak akan membuatnya merasa terganggu lagi.
Isabella menelan pizzanya dengan susah payah. Ia benar-benar tak tahu harus menempatkan dirinya di mana dalam situasi ini. "Mungkin... aku bisa keluar dulu?" tawarnya dengan suara ragu, berharap Asher atau Callum menangkap isyaratnya.
Tapi sebelum Asher bisa menjawab, Callum menggeleng. "Nggak perlu. Santai aja di sini, Bell. Serius, kita cuma ngobrol." Nada suaranya tenang, tetapi jelas ada sesuatu yang lebih dalam di balik tatapan itu-sesuatu yang hanya Asher yang bisa mengerti.
Asher menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. "Iya, Bell. Santai aja. Kita makan pizza, ngobrol, dan... ya, Callum memang suka bikin suasana dramatis."
Mendengar itu, Callum hanya mengangkat bahu dengan senyum tipis, namun matanya tetap tidak lepas dari Asher. Sesuatu masih berdiam di antara mereka-sesuatu yang bahkan Isabella bisa rasakan meski tidak bisa mengartikannya.
"Udah, ah. Nanti Isabella salah paham," kata Asher sambil melepaskan tangannya dari pelukan Callum. Ia beralih mengambil sepotong pizza dan mulai memakannya, mencoba mengalihkan suasana.
Namun, di tengah kunyahannya, Asher tiba-tiba berhenti. Wajahnya sedikit berubah, dan tangannya refleks memegang perut. Rasa mual tiba-tiba menghantamnya, membuatnya merasa tak nyaman.
Callum langsung memperhatikannya. "Baby, kamu kenapa?"
Isabella juga menatapnya dengan cemas. "Kak, kamu sakit?"
Asher mencoba tersenyum tipis meski jelas merasa tidak enak. "Nggak apa-apa. Cuma... perutku kayaknya nggak beres."
Asher berusaha menahan rasa mual yang semakin kuat, mencoba bersikap biasa saja, tetapi gerak-geriknya mulai menarik perhatian. Callum menatapnya lebih tajam, kening berkerut. "Perut nggak beres gimana? Kamu pucat banget."
Isabella, yang masih duduk di samping, ikut menatap Asher dengan khawatir. "Kak, jangan-jangan kamu kena flu perut?" tanyanya, tapi nada suaranya lebih pada rasa panik.
Asher menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Bukan... bukan flu, kayaknya," ucapnya, meski ia sendiri bingung dengan apa yang terjadi pada tubuhnya.
Callum semakin mendekat, nadanya mulai serius. "Asher, lo beneran nggak enak badan, kan? Lo nggak nyembunyiin apa-apa, kan?" Ada nada cemas di balik pertanyaannya, seolah khawatir akan sesuatu yang lebih dari sekadar sakit perut.
Asher tersenyum canggung, mencoba menenangkan suasana. "Nggak lah, jangan berlebihan. Mungkin tadi sarapan salah makan."
Namun, tiba-tiba rasa mual itu datang lagi, kali ini lebih kuat, dan Asher refleks menutup mulutnya, menahan desakan untuk muntah. Ia buru-buru bangkit dari duduknya dan bergegas ke arah pintu.
Callum segera berdiri dan mengejarnya. "Sayang, tunggu!"
Isabella menatap punggung Asher yang menghilang di balik pintu, lalu melirik Callum dengan ekspresi bingung dan penuh pertanyaan. "Pak Callum... kak Asher nggak kenapa-napa, kan?"
Callum, yang masih berdiri dengan raut wajah cemas, tampak berpikir sejenak. "Saya nggak tahu, Bell," gumamnya, suaranya terdengar pelan dan lebih kepada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caught in boss's grip (BL, END)
Ficção AdolescenteAsher Roth adalah seorang omega pria yang bekerja di sebuah perusahaan ternama. Hidupnya berjalan baik-baik saja hingga suatu hari, ia tiba-tiba mengalami heat, dan situasi tersebut diketahui oleh bosnya, Callum. Tanpa sepengetahuan Asher, Callum ma...