Zayyan tersadar dari pingsannya. Dia meraba kepalanya yang masih berdenyut keras, membuat telinganya berdengung. Setelah rasa sakitnya sedikit mereda, dia mulai menatap sekeliling, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Apa yang terjadi?
Zayyan mencoba mengingat penyebab dirinya terbaring di tempat ini, tetapi ingatannya terlalu buram untuk bisa memahami kejadian sebelumnya. Kepalanya kembali berdenyut hebat ketika ia memaksakan diri untuk mengingat lebih jelas.
Satu-satunya yang dia ingat adalah saat perlombaan kemarin, ketika papanya tiba-tiba menyuruhnya pulang. Setelah itu, semua memori seakan menghilang begitu saja.
Di mana papanya? Apakah dia sudah bertemu papanya? Atau mungkin papanya sudah pergi lagi sebelum Zayyan sempat kembali?
Dia tidak bisa mengingatnya. Namun, setidaknya dia sadar bahwa rasa sakit di kepalanya mungkin disebabkan karena terbentur anak tangga ini. Tetapi, kenapa? Apakah dia terjatuh dari tangga? Zayyan merasa dirinya tidak seceroboh itu hingga terjatuh dan pingsan.
Tak ingin terlalu larut dalam berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya, dia mencoba bangkit. Tubuhnya langsung oleng, pandangannya berputar, dan dengan refleks dia berpegangan pada dinding di sebelahnya untuk menahan tubuhnya agar tidak terjatuh lagi.
Ah, kepalanya sangat sakit! Rasanya dia ingin mencopot kepalanya.
Dia terdiam cukup lama, memegang dinding untuk menopang tubuhnya. Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi, mengusik pikirannya yang sudah kacau. Siapa yang datang? Zayyan sangat malas untuk membuka pintu utama rumahnya, apalagi dengan rasa sakit di kepalanya yang masih belum mereda.
Awalnya dia hanya ingin mengabaikannya. Namun, semakin diabaikan, semakin sering bel itu berbunyi, memekakkan telinganya yang sudah sakit. Akhirnya, karena tak tahan dengan suara bel yang terus-menerus mengganggu, Zayyan memutuskan untuk berjalan menuju pintu. Namun, sebelum sempat bergerak lebih jauh, ponsel di sakunya berdering.
Dia merogoh sakunya dan melihat nama yang tertera di layar. Tanpa ragu, Zayyan langsung mengangkat panggilan itu.
“Lo di mana? Masih sakit? Parah gak? Kok sampai gak masuk sekolah?”
Serangkaian pertanyaan langsung terdengar dari seberang, menyambut pendengarannya sebelum dia sempat menyapa.
“Hah? Maksud lo apa, Sing?” tanya Zayyan, bingung dengan pertanyaan beruntun dari sahabatnya itu.
Seketika Zayyan merasa ada yang tidak beres. Dia buru-buru mengecek tanggal dan hari yang tertera di layar ponselnya. Tubuhnya menegang saat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Selama ini, dia mengira masih berada di hari yang sama dengan perlombaan yang ia ikuti kemarin. Namun ternyata hari sudah berganti, dan sekarang sudah pukul 10:00 pagi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ingatannya seakan melompat ke hari ini tanpa mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Bahkan dia masih mengenakan baju yang sama dengan yang dipakai saat lomba piano kemarin.
“Zay? Zayyan, lo baik-baik aja, kan?”
“Lo kenapa Zay? Kok diem aja? Lo di rumah kan Zay?”
“ZAYYAN!”
“Iya Sing? Ada apa?” Zayyan tersadar dari lamunannya saat Sing memanggilnya dengan nada khawatir dari seberang telepon.
“Gue yang harusnya nanya kenapa! Lo di rumah, kan? Buka pintunya Zay, gue lagi di depan rumah lo,” balas Sing dengan nada tak sabar. Kekhawatirannya tak akan reda sebelum dia melihat Zayyan secara langsung.
Jadi yang menekan bel dari tadi adalah Sing? Tapi tidak mungkin Zayyan menemuinya dalam keadaan seperti ini. Itu hanya akan membuat Sing semakin curiga. Dia sendiri belum sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Zayyan belum siap menjelaskan apa pun saat ini.
“Zayyan, lo kenapa diam aja? Lo masih sakit? Bisa buka pintunya dulu Zay? Gue gak tenang kalau belum lihat lo,” suara frustasi Sing di seberang telepon semakin memperlihatkan betapa dia sangat mengkhawatirkan keadaan Zayyan.
“Gue gak apa-apa, Sing. Gue cuma kemarin kurang enak badan aja, tapi sekarang udah mendingan. Maaf Sing, gue sekarang lagi gak di rumah,” jawab Zayyan dengan alasan yang terdengar dipaksakan. Dia tak ingin membuat sahabatnya semakin cemas saat melihat keadaannya saat ini. Meski rasa sakit di kepalanya sudah sedikit mereda, tapi penampilannya saat ini benar-benar sangat memprihatinkan.
“Kalau gak di rumah, lo di mana sekarang?”
“Gu… gue lagi di rumah nenek gue di Bandung,” sahut Zayyan terbata-bata.
“Yaudah Sing, maaf ya, teleponnya gue tutup dulu. Nenek gue manggil,” lanjut Zayyan buru-buru. Dia mencari-cari alasan agar Sing tidak bertanya lebih jauh.
Panggilan terputus bahkan sebelum Sing sempat membalas. Sing hanya bisa menghela napas panjang. Meskipun dia masih meragukan jawaban Zayyan tadi, tetap saja dia tidak punya hak untuk mencampuri urusan sahabatnya lebih jauh.
Dia berjalan kembali ke rumahnya yang kebetulan berada di samping rumah Zayyan. Sing bahkan rela membolos hari ini karena tidak tahan dengan rasa khawatirnya. Namun, tetap saja dia tidak bisa melihat keadaan Zayyan secara langsung.
Setidaknya, sedikit kekhawatirannya berkurang saat mendengar suara Zayyan tadi. Meski jauh di lubuk hatinya, dia tahu perasaannya tidak akan benar-benar tenang sampai bisa melihat sahabatnya dengan mata kepala sendiri.
====
"Lah kok Sing gak ada, kemana lagi hilang tuh bocah" Gumam Lex ketika melihat bangku Sing masih kosong, bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi.
Mereka berempat baru saja kembali dari kantin, ketika bel istirahat tadi berbunyi, Sing langsung berlalu begitu saja tanpa menunggu mereka. Mereka sempat heran melihat Sing pergi dengan menyandang tas sekolahnya, seolah ada urusan mendesak yang harus segera dia selesaikan.
Tapi sebelum mereka sempat bertanya dan menghentikannya, Sing sudah menghilang dari pandangan, seperti sedang terburu-buru.
"Gak tau, dia juga tadi langsung pergi aja, apa mungkin dia bolos lagi kayak waktu itu?!" Ujar Davin, mempertanyakan dengan nada bingung.
Namun, kedua temannya hanya mengangkat bahu, menunjukkan bahwa mereka juga tidak tau alasan kepergian Sing.
Berbeda dengan Leo yang memilih diam, memilih untuk tidak menimpali obrolan mereka. Meski tampak acuh, pikirannya justru di penuhi pertanyaan yang sama.
Leo sadar, bukan hanya dia yang khawatir dengan keadaan Zayyan, tapi apakah kepergian Sing ini ada hubungannya dengan Zayyan? Apakah Sing sedang berusaha menemuinya? Atau, mungkin saja Sing tau dimana rumah Zayyan?
Tapi itu tidak mungkin. Dia yang sudah lama mengenal Zayyan saja sampai sekarang belum mengetahui dimana rumahnya, apalagi Sing yang hanya orang baru diantara mereka. Bagaimana mungkin dia bisa mengetahuinya?
Leo menggeleng pelan, mencoba mengusir segala spekulasi di kepalanya. Daripada semakin larut dalam pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada ujungnya, dia memutuskan mengambil ponsel disaku celananya.
Meski dari tadi panggilannya tak pernah diangkat, Leo tetap berharap Zayyan akhirnya akan menjawab.
Namun, nasib sepertinya tidak berpihak padanya hari ini, seorang guru sudah masuk ke kelas mereka, bahkan sebelum dia sempat menekan tombol panggilan di ponselnya.
Dengan helaan nafas panjang, Leo mengurungkan niatnya, dia memasukkan kembali ponsel kedalam saku, setelah sempat mengirim pesan singkat kepada Zayyan, harapannya sederhana_setidaknya ketika dia membuka ponselnya nanti, akan ada balasan dari Zayyan yang menenangkan hatinya.
Jangan lupa untuk terus streaming MV "Our days" nya guys☺
Jangan lupa vote dan komen.
To be continued.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Pergi •Zayyan Story• END
FanfictionSiapa yang menyangka bahwa senyum ceria yang selalu ia tampakkan kepada dunia adalah caranya menyembunyikan luka yang terpendam di hatinya. Dia adalah Zayyan, sang mentari bagi mereka... Dia adalah Zayyan, pemilik senyum yang memancarkan kehangatan...