Josef meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya yang kurus tenggelam dalam bayangan. Dinding-dinding kamarnya yang sempit dan lembap seolah menekan jiwanya, mengisolasi dirinya dari dunia luar. Hanya detak jam dinding tua yang memecah kesunyian yang mencengkeram. Helsin, sosok yang selalu hadir di sisinya, duduk di kursi goyang di dekat jendela, tatapannya menelusuri butiran-butiran debu yang menari dalam sinar matahari sore.
"Kau seperti hantu, Josef," ucap Helsin, suaranya parau memecah keheningan. "Terkurung dalam cangkangmu sendiri."
Josef mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang kosong menatap Helsin. "Aku terjebak, Helsin," bisiknya, suaranya serak seperti daun kering yang tertiup angin. "Terjebak dalam kebingungan yang tak berujung."
Helsin menghela napas berat. "Kebingungan apa yang kau maksud, Josef?"
"Kebingungan perasaan, Helsin," jawab Josef, suaranya hampir tak terdengar. "Ada seorang wanita... dia... dia seperti bayangan yang menghantuiku."
"Ceritakan padaku tentang dia," desak Helsin, "Mungkin dengan berbicara, bebanmu akan sedikit teringan."
Josef menatap kosong ke arah dinding. "Dia begitu dekat, namun terasa jauh. Seperti bulan, Helsin, indah dipandang, namun tak tersentuh."
"Kau mencintainya?" tanya Helsin hati-hati.
Josef menggeleng perlahan, keningnya berkerut. "Aku tidak tahu, Helsin. Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasa. Apakah ini cinta, obsesi, atau hanya khayalan belaka?"
Helsin menghela napas, "Seperti yang dikatakan Kafka, 'Perasaan adalah jebakan. Ia menjebak kita dalam ketidakpastian dan keraguan.'"
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Josef dengan nada kebingungan.
Josef terdiam sejenak, pikirannya berkelana di antara lorong-lorong kesunyian. "Aku akan mencarinya, Helsin," ucapnya lirih, "Aku akan menelusuri kebingungan ini, mungkin dengan menemuinya aku akan menemukan jawabannya."
Helsin menatap Josef dengan tatapan khawatir. "Kau yakin, Josef? Kebingungan itu bisa saja menelanmu utuh."
"Aku tak punya pilihan lain, Helsin," jawab Josef dengan tekad yang tiba-tiba muncul di matanya. "Aku harus mencoba."
Helsin mengangguk perlahan. "Baiklah, Josef," ucapnya dengan nada pasrah. "Jika itu keputusanmu, aku akan mendukungmu."
Josef tersenyum lemah. "Terima kasih, Helsin."
Keesokan harinya, Josef meninggalkan kamarnya yang sempit dan melangkah keluar menuju dunia luar. Ia mencari Anna, wanita yang menghantuinya, hingga akhirnya menemukannya di sebuah rumah dengan pintu kayu tua yang lapuk. Josef mengetuk pintu itu dengan jemari gemetar, hatinya berdebar kencang. Pintu terbuka perlahan, mengungkapkan sosok Anna dengan wajah pucat dan tatapan sendu.
"Josef..." ucap Anna lirih, suaranya bergetar.
"Anna," Josef mencoba menguatkan suaranya, "Akhirnya aku menemukanmu."
"Ada apa, Josef?" tanya Anna, menghindari tatapan Josef.
"Aku harus mengatakan sesuatu yang penting," Josef menelan ludah, "Sesuatu yang sudah lama terpendam di dalam diriku."
Anna mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. "Katakanlah, Josef."
Josef menghela napas panjang. "Anna, aku..." ia terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat, "Aku... aku memikirkanmu sepanjang waktu. Kau hadir dalam mimpiku. Aku..."
"Kau mencintaiku?" potong Anna dengan suara lirih.
Josef tertegun. "Apakah itu cinta?" tanyanya dengan nada bingung. "Aku tidak tahu, Anna. Aku hanya tahu bahwa aku... aku ingin bersamamu."
Keheningan menyelimuti mereka. Anna terpaku, wajahnya memucat. Josef menanti dengan penuh harap, namun jawaban yang ditunggu tak kunjung tiba.
"Josef," akhirnya Anna berbicara, suaranya hampir tak terdengar, "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa."
"Beri aku waktu, Josef," pinta Anna, "Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini."
Josef merasa dunianya runtuh. Harapan yang baru saja menyala kini redup kembali. "Berapa lama waktu yang kau butuhkan, Anna?"
Anna menatap Josef dengan tatapan penuh kepasrahan. "Aku tidak tahu, Josef. Mungkin lama, mungkin sebentar. Aku hanya... aku belum yakin."
Josef menunduk, kecewa dan frustasi. "Baiklah, Anna," ucapnya lirih, "Aku akan menunggumu."
Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Anna yang masih terpaku di ambang pintu. Kabut keraguan menyelimuti hatinya, menghalanginya untuk melihat jalan di depan. Ia kembali ke kamarnya yang sempit dan lembap, di mana Helsin telah menunggunya.
"Bagaimana?" tanya Helsin dengan wajah khawatir.
Josef menggeleng lemah. "Dia belum yakin, Helsin. Dia meminta waktu untuk berpikir." Ia menceritakan kebingungannya tentang perasaannya sendiri kepada Helsin.
Helsin menepuk bahu Josef. "Kafka pernah berkata, 'Kita sering kali tidak tahu apa yang kita inginkan hingga kita mendapatkannya.'"
Josef mengangguk lemah, merasa semakin terpuruk dalam ketidakpastian.
Helsin bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu. "Istirahatlah, Josef. Kau butuh waktu untuk sendiri."
Josef hanya mengangguk pasrah, pikirannya masih berkecamuk. Ia memperhatikan Helsin yang perlahan menghilang di balik pintu, meninggalkan keheningan yang semakin pekat.
Siapa sebenarnya Helsin? Josef merenung. Seingatnya, sosok itu baru muncul bersamaan dengan gejolak perasaan aneh yang menyerangnya. Seperti bayangan yang lahir dari kegelapan dalam dirinya, Helsin selalu ada untuk mendengarkan, memberi saran, namun tetap terasa asing dan misterius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metamorfosis
FantasySeorang pria terjebak dalam pergolakan batin dan ketidakpastian hidupnya. Ia dihantui oleh sosok misterius yang membuatnya mempertanyakan realitas dan jati dirinya. Di tengah kebingungan dan keputusasaan, ia harus menghadapi...