"Mbak El!" Samar-samar terdengar seseorang memanggilku diikuti dengan bunyi gedoran pintu yang beruntun. "Mbak El!" Suara itu semakin terdengar ribut di luar kamar sehingga membuatku bergegas bangun dari tidur yang rasanya baru sedetik.
"Ahh, mimpi ini lagi," gerutuku pelan. Entah kenapa beberapa pekan ini aku sering bermimpi kejadian 17 tahun silam itu.
"Apa Nenek lagi nggak tenang di alam sana ya?" Sebagian otakku sedang memberi respons. "Jangan sampai nyuruh malaikat maut marahin aku yang jadi jomblo akut ini." Kemudian ujung jariku memijit bagian pangkal hidung untuk mengurangi pening yang tiba-tiba terasa menghantam kepala.
"Mbak El!" panggil perempuan itu lagi. Suaranya tak asing.
"Bentar Mir," sahutku dengan suara parau. Kepalaku masih berat.
Aku bangkit dari tempat tidur dan memastikan tubuh serta jiwaku benar-benar telah bersatu. Kusambar ponsel pintar yang berada tepat di sebelahku. Kuketuk bagian layar smartphone itu dua kali sehingga menyalakan cahaya dari baliknya. Ada gambar wajahku mengenakan kacamata hitam sedang berpose bak artis Korea. Hasil jepretan tipu daya kamera abad ini. Di atasnya tertulis '11.25 pm on Friday, Denpasar, Mostly Clear 29°C'.
Satu jam yang lalu, rasa kantukku benar-benar tidak tertolong. Kalau saja tak ingat pendakian malam ini menjadi syarat penilaian dan pertaruhan kenaikan gaji, ingin kubiarkan saja mataku pulas hingga besok pagi.
Aku berjalan mendekati pintu kamar lalu membukanya. Sosok Mirna yang energik segera tertangkap mataku lengkap dengan senyum renyahnya. "Ihhh... aku udah panggil-panggil dari tadi lho, tapi Mbak El nggak nyahut. Ketiduran ya?" sambutnya.
Aku tersenyum padanya sekilas. Mataku masih berusaha melek meski rasanya ada lem di kelopaknya. "Udah pada ngumpul di kantor?" tanyaku sambil mengangkat tas ransel yang sebelumnya sudah kusiapkan di sebelah pintu kamar.
"Langsung berangkat Mbak, Pak Dedi udah berangkat duluan bareng tim finance," jelas Mirna.
"Uhh⎯beratnya," desisku sebelum tas punggung seberat dosa Firaun ini bergelayut manja di kedua bahuku. Aku melongok ke dalam kamar, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Lalu mengunci pintu kamar kosku yang sudah kutinggali selama lima tahun belakangan ini. Sejak bekerja di PT. MOMENTA cabang Bali.
"Kita sama siapa aja, Mir?" tanyaku sembari mengambil sepatu kets yang berada di rak sepatu, tak jauh dari pintu kamar. Ini adalah sepatu tipe sports satu-satunya yang kumiliki. Aku membelinya saat diskon cuci gudang akhir tahun lalu di salah satu mal. Aku begitu terpikat dengan warnanya yang pink menyala itu sejak pertama kali melihatnya di depan pintu masuk. Beruntungnya, size yang tersisa satu-satunya ini sesuai dengan ukuran telapak kakiku.
Aku yakin akan ada situasi darurat dimana aku harus memakainya. Misal, saat harus ikut kegiatan jalan santai tujuh-belasan, atau-- saat dipaksa Evo ketua timku untuk menghadiri undangan klien bertema sport. Meski harus menerima pujian sarkas darinya. "Nggak ada warna yang lebih norak lagi?" ledek Evo suatu hari di sebuah acara outdoor yang harus kami hadiri.
Serta malam ini, si norak ini harus siap bertugas menjaga langkahku dalam medan pertempuran menaklukkan puncak gunung Batur.
Iya, gunung!
Padahal kalau diingat-ingat, aku ini bagian dari ras manusia yang paling malas diajak olahraga. Kalau pun saat ini dengan kesadaran penuh aku mau ikut mendaki gunung, tersangka utamanya adalah Pak Dedi. Manager di kantor cabang Bali itu sudah mengeluarkan dekret karena bos pusat sudah memberinya mandat bahwa outing sekaligus workshop tahun ini adalah MEN-DA-KI. Huh!
"Sama Uda, sama Reno, sama..." Mirna belum menyelesaikan kalimatnya saat kakiku telah bersiap melangkah dengan sepasang sandal jepit Swallow warna biru kesayangan. Sementara tangan kananku menenteng si norak, sepatu kets pink.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramalan Jodoh
RomanceDASAR PELAKOR!!!!! Senin yang seharusnya khidmat, seketika ambyar begitu Elliana membaca pesan di inbox Facebook miliknya. Elliana masih jomblo di usianya yang sudah kepala 3. Semua itu berkat kematian tunangannya 8 tahun silam. Terkadang dia berpik...