42. Bahagia

178 29 4
                                    

Aina memandangi rumah dari papan kayu di hadapannya. Atap rumahnya agak miring seperti akan roboh. Tidak ada kabel-kabel apa pun yang tersambung dengan rumah itu. Menandakan memang tidak ada listrik maupun WiFi di sana. Di depan rumah ada terpal lebar tempat biji-biji jagung dijemur. Seorang pria tua renta yang mungkin seumuran dengan kakeknya tengah mengumpulkan biji jagung. Pria itu tampak kebingungan melihat mobil mewah tiba-tiba berdiri di depan rumahnya. Dia lebih terbih kaget lagi saat melihat putranya keluar dari Lamborghini itu.

"Bah." Habib langsung menyalami ayahnya yang masih kebingungan.

"Oh, kamu toh, Bib." Setelah mengerjakan beberapa kali karena pengelihatannya yang buruk. Lelaki tua itu kemudian memandangi Aina.

Aina mengangguk dengan canggung. Bingung harus berkata apa.

"Ini Aina? Yang kamu ceritakan itu?" tanya calon mertua Aina itu.

Habib mengangguk khidmat.

"Waduh, kalian kok nggak bilang-bilang kalau mau datang. Ayo masuk-masuk."

Pria tua itu tergopoh-gopoh mengajak Aina masuk ke dalam rumahnya yang masih beralaskan tanah. Aina salah fokus pada banner seorang politikus entah siapa, mengacungkan jempol dengan gigi putih bersihnya, yang digelar oleh ayah mertuanya sebagai alas duduk.

"Buk! Ibuk! Bawakan telo kaspihnya sama minum, ada tamu ini!" Calon mertua itu berteriak ke bagian belakang rumah yang disekat.

"Aku mengambil ini dari baliho depan Kantor Desa setelah Pilkada kemarin. Katanya sudah nggak dipakai," jelas Habib karena melihat Aina fokus pada alas duduk mereka yang sangat unik. Aina tampaknya tidak pernah berpikir bahwa banner semacam ini juga bisa bermanfaat.

"Jadi ini Nak Aina yang Dokter Spesialis Anak itu ya? Kenalkan Bapak, Pak Slamet." Pria tua itu mengulurkan tangan. Aina balas menyalaminya. Tangan lelaki tua itu yang kasar saja bisa menunjukkan seberapa keras hidupnya tanpa Aina perlu bertanya.

"Inggih, Pak. Salam kenal saya Aina."

Pak Slamet terdiam sejenak dan memandangi Aina serta Habib bergantian. "Nak Aina, kamu sudah lihat kondisi keluarga kami yang seperti ini. Ini rumah kami. Apa sungguh kamu tidak keberatan dengan semua ini?"

Aina tersenyum kecil. "Saya bangga pada Habib yang selalu bekerja keras. Saya banyak belajar kesederhanaan dan ketulusan darinya."

"Alhamdulillah, Bapak senang mendengarnya. Meskipun Habib hanya guru sukwan dan tukang ojek, kamu tidak memandang rendah dia, kan?"

"Saya justru sangat menghargai perjuangan Mas Habib, kami yakin kami bisa saling mendukung ke depannya," jawab Aina dengan mantap.

Pak Slamet beralih pada putranya yang balas melengkungkan bibir. Pak Slamet tahu anak lanangnya itu sedang berusaha menutupi kecemasannya.

"Kalau kamu bagaimana, Bib? Kamu siap untuk membahagiakan, Aina?"

Habib menarik napas sejenak, mengembuskannya perlahan kemudian menjawab, "Abah pernah bilang bahwa kebahagiaan itu bukan tujuan akhir, tapi perjalanan yang indah. Kebahagiaan itu adalah pilihan. Kebahagiaan tidak perlu dicari karena dia sebenarnya ada di dalam hati kita."

Aina terdiam mendengar perkataan Habib itu. Entah mengapa setiap kalimat yang dikatakannya selalu indah dan bermakna. Hanya dari itu saja sebenarnya Aina sudah sangat yakin bahwa Habib adalah calon imam terbaiknya.

Pak Slamet tertawa dan menepuk pundak anaknya. "Masak Abah pernah ngomong kalimat keren kayak gitu? Kamu karang sendiri pasti. Atau tanya temenmu Gipiti siapa itu yang pinter banget."

"Ya, Abah ngomong emang nggak sepuitis itu tapi mirip-miriplah. Abah ngomong gitu waktu aku dulu minta mainan mobil-mobilan tapi Abah nggak bisa belikan. Lalu Abah buatkan mobil dari pelepah pisang. Abah bilang, kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya," kekeh Habib.

"Oh ya. Pernah ada kejadian kayak gitu ya. Abah sudah lupa. Maklum sudah uzur."

Aina ikut tersenyum melihat anak dan ayah itu bercengkrama. Jadi sepertinya ini seharusnya hubungan seorang anak dan ayah itu? Baru kali ini Aina melihat dan memahaminya.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terpaksa Menikahi Dokter 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang