19. Di persimpangan rasa

20.8K 161 7
                                    

Keesokan harinya, Sheila akhirnya pulang. Alex menyambutnya dengan pelukan hangat di pintu depan, senyumnya terukir di wajahnya. Sementara itu, Ria yang kebetulan lewat melihat pemandangan itu.

Dadanya terasa sesak seketika, seolah dihimpit oleh rasa bersalah dan cemburu yang bercampur aduk di dalam dirinya. Perasaan yang dia coba abaikan sejak kemarin kini kembali menghantam dengan keras.

Alex, masih memeluk Sheila, sempat menoleh dan melihat Ria. Tatapannya bertemu dengan wajah Ria yang tampak murung, penuh kekecewaan yang jelas terlihat. Sekilas, ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka.

“Aku merindukanmu,” bisik Alex lembut kepada Sheila, tapi kata-kata itu terasa menusuk hati Ria, yang seketika merasa tak berdaya. Dia cepat-cepat berpaling, tak sanggup melihat lebih lama.

Dengan langkah cepat, Ria bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Pemandangan itu menghantui pikirannya, membuatnya merasa terjebak dalam situasi yang tak seharusnya dia alami. Dia ingin melarikan diri dari semuanya, dari perasaan yang mengguncang hatinya.

Di dalam kamarnya, Ria menutup pintu dan menyandarkan punggungnya ke pintu. Napasnya terengah-engah, dadanya masih terasa sesak. Dia tahu apa yang mereka lakukan salah, tapi entah kenapa, hatinya terus terseret ke dalam perasaan yang semakin sulit dia hindari.

Ria memukul dadanya dengan frustrasi, perasaan bersalah dan marah pada dirinya sendiri bercampur menjadi satu. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi, menetes deras di pipinya. Ia melangkah pelan menuju cermin di depannya, tatapannya kosong, matanya sembab karena tangis yang tidak bisa ia hentikan.

Ria menatap dirinya di cermin, mencoba mencari jawaban di dalam pantulan yang kini terasa asing baginya. Air matanya terus jatuh, membasahi pipinya. Ia mengusap bekas merah di lehernya, bukti nyata dari hubungan terlarang yang tak seharusnya terjadi. Ia tahu Alex adalah adik iparnya, tapi entah mengapa, perasaan yang tumbuh di hatinya tak bisa ia kendalikan.

Rasa cintanya pada Alex begitu kuat, hingga membuatnya melupakan batasan dan kenyataan yang ada. Ria tahu ini salah—sangat salah—tetapi hati dan tubuhnya berkata lain. Setiap kali Alex menyentuhnya, setiap kali mereka bersama, ia merasa hidup, merasa diinginkan seperti yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Tapi aku mencintainya…" bisiknya pelan, suara itu hampir terserap oleh ruang yang sepi. Cinta ini terasa seperti api yang membakar, menghanguskan segala yang ada, termasuk dirinya sendiri. Dia tahu tidak ada jalan kembali setelah ini, bahwa hubungan mereka hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit dan kehancuran. Namun, perasaannya pada Alex begitu dalam, dan semakin ia mencoba melawan, semakin ia terseret.

Di balik semua logika, Ria tahu bahwa cintanya kepada Alex telah melampaui batasan moral dan keluarga. Perasaan ini tumbuh dari hasrat yang tidak terucap, dari perhatian kecil yang semakin berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Dengan napas berat, Ria berbalik dari cermin dan duduk di tepi ranjang, tubuhnya terasa lemah. Dia tahu harus mengambil keputusan—tetapi bagaimana mungkin dia melepaskan cinta yang kini telah menjadi bagian dari dirinya?

Ria teringat malam tadi, setelah percintaan panas mereka. Keduanya terbaring di sofa, tubuh mereka saling melekat dalam kehangatan. Alex memeluknya dari belakang, lengannya melingkari tubuhnya dengan lembut. Dalam keheningan itu, Ria membalikkan tubuhnya, menghadap Alex. Tanpa kata, ia memeluknya erat, seolah takut momen itu akan hilang.

Alex mengelus rambutnya, memberikan rasa nyaman yang begitu ia butuhkan. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti. Alex menundukkan kepalanya, mencium bibir Ria sekilas, lalu tersenyum lembut.

“Hadapi saja besok hari, dan nikmati hari ini,” bisik Alex, nada suaranya penuh ketenangan, seolah ingin menenangkan kecemasan yang mungkin akan datang esok.

Love & Lies : Affair With Brother-in-Law 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang