43. Potensi

188 34 2
                                    

Setelah salat Isya berjamaah di mushola, Aina dan Habib mampir ke warung bakso. Mereka memesan dua porsi bakso. Saat ditawarkan minuman, karena hanya ada es teh dan air mineral maka Aina memesan air mineral saja.

"Kamu nggak suka es teh?" tanya Habib.

"Suka sebenarnya, tapi teh itu menghambat penyerapan zat besi. Sementara kadar Hb-ku seringnya mepet di 12-13 g/DL. Aku nggak mau sampai kena anemia. Nanti bisa berbahaya bagi bayiku nanti."

Habib yang sedang minum es teh keselek sampai batuk-batuk mendengar jawaban Aina. Belum apa-apa kok Aina sudah ngomongin bayi aja nih.

"Aku boleh tanya, Ai. Setelah kamu melihat kondisi rumahku dan keluargaku bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Habib.

Sebenarnya Habib dilema saat mengajak Aina ke rumahnya. Apakah Aina akan berubah pikiran setelah tahu kondisi keluarganya? Tapi mungkin akan lebih baik jika Aina berubah pikiran. Pergulatan batin itu membuat Habib pusing tujuh keliling.

"Ayahmu orang yang baik, bijaksana dan Sholeh. Aku bisa membayangkan bagaimana kamu dididik selama ini. Apa beliau selalu jadi imam dan guru ngaji di mushola?"

Habib tercengang. Tidak menyangka Aina malah fokus pada hal itu bukan kondisi rumah mereka yang hanya dari papan dan lantainya masih tanah.

"Iya, mushola itu sebenarnya waqaf dari kakek buyutku dulu. Ayahku meneruskan titah dari kakekku untuk merawatnya. Kamu boleh percaya boleh tidak. Kakek buyutku dulu orang yang sangat kaya raya. Dia tuan tanah. Sayangnya, sampai ke generasiku sudah habis hartanya." Habib tertawa getir. Membicarakan zaman kejayaan keluarga yang sudah lewat kadang membuat Habib malah malu.

"Begitu? Bagaimana bisa habis? Kakek buyutku dulu juga katanya tuan tanah. Kakekku pernah cerita."

"Kakek buyutku punya tiga orang istri dan 23 anak. Hartanya harus dibagi-bagi ke anak-anaknya itu. Sampai ke cucu dan cicitnya sudah tidak bersisa lagi," jelas Habib.

"Hm... Padahal kondisinya tidak jauh beda dengan kakekku ya. Kakekku juga katanya 21 bersaudara."

Habib memandangi Aina yang tampak polos. Sepertinya Aina memang sungguh penasaran bukannya menghina.

"Ya, Kakekmu berpendidikan tinggi. Sementara kakek buyutku anaknya paling bagus lulusan SPG saja. Sisanya dididik jadi petani untuk mengolah sawah. Harta yang paling mahal di dunia itu adalah ilmu. Dengan itulah kita bisa sejahtera."

"Begitu ya. Kalau kupikir-pikir kakekku sebenarnya tidak terlalu pandai kok. Sebenarnya dia agak licik. Dia suka mengumpulkan banyak orang berbakat sejak dini, lalu memberi mereka beasiswa yang harus dibayar dengan bekerja kepadanya. Walaupun kakekku hanya mewajibkan dua tahun saja, tapi anak asuhnya itu banyak yang masih mengabdi lama karena merasa berhutang budi. Apalagi kakekku juga memperlakukan anak dan cucu angkatnya itu seperti keluarga. Bahkan kami ada acara gathering sendiri untuk mereka."

"Itu bukan licik tapi bijak. Mengenali potensi seseorang sejak dini itu juga sulit."

"Iya juga sih ya. Dia juga sudah menilaimu. Katanya kamu punya potensi walaupun masih harus dikembangkan lagi. Makanya dia setuju saja saat aku bilang mau menikah denganmu."

"Masa sih beliau menilaiku setinggi itu. Padahal kami hanya berbicara beberapa patah kata saja," kata Habib.

"Kakekku itu informannya sangat banyak. Coba saja tanya kepala sekolahmu, mungkin saja ada orang dari dinas pendidikan, inspektorat, atau kejaksaan yang bertanya tentangmu padanya."

Habib melongo. Kapan hari memang dia pernah sih diberi tahu kepala sekolah karena ada orang dari kejaksaan yang bertanya tentang kinerjanya. Habib keder juga mendengarnya. Takut kalau dia dituduh terlibat kasus korupsi atau apa gitu. Walaupun Habib yakin SPJ BOS sudah dia kerjakan dengan baik dan penuh amanah. Habib tidak menyangka itu pekerjaan calon kakeknya.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terpaksa Menikahi Dokter 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang