1

28 8 1
                                    





Reinkarnasi, percaya nggak sih kalian?

Menurut Keito, itu hanyalah konsep konyol, sesuatu yang terlalu absurd untuk jadi kenyataan.

Namun, sekarang ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa reinkarnasi itu bukan sekadar dongeng.

Keito adalah buktinya-seseorang yang terlahir kembali, membawa semua ingatan dari kehidupannya sebelumnya.

Di kehidupan terdahulu, Keito bahkan belum mencapai usia dewasa. Ia masih bocah, seorang anak malang yang harus menghadapi kematian lebih cepat dari seharusnya.

Kematian datang begitu tiba-tiba, dan sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, ia mendapati dirinya kembali berada di rahim, terlahir kembali ke dunia ini-bersama bayi bodoh yang kebetulan adalah saudara kembarnya.

Perasaan yang ia alami saat itu tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Baginya, ini adalah sesuatu yang menjijikkan.

Saat ia mencoba berbicara, yang keluar dari mulutnya hanyalah tangisan bayi yang memekakkan telinga. Segala pengetahuan dan pengalaman yang ia bawa dari kehidupan sebelumnya harus terkubur di balik tubuh mungil yang tak berdaya ini.

Dan bayi bodoh yang terlahir bersamanya? Jauh lebih parah.

Tangisannya nyaris tak pernah berhenti, lebih keras, seolah-olah bayi itu ingin seluruh dunia tahu bahwa dialah pusat perhatian.

Keito, yang hampir setiap detik harus mendengar tangisan bayi kembarannya, seringkali merasa ingin mencekik dan mengikat mulutnya.

Betapa berisiknya!

Bagaimana mungkin ia, yang pernah menjadi manusia utuh dengan kesadaran penuh, kini harus berbagi dunia dengan makhluk yang sama sekali tidak berdaya seperti itu?

Hari-hari pertama menjadi mimpi buruk. Tak ada yang mengerti dirinya, tak ada yang tahu bahwa di dalam tubuh kecil ini tersimpan pikiran seorang yang telah hidup sebelumnya.

Orang tua mereka bahkan memanggil Keito "anak baik" karena ia tak pernah ikut menangis saat saudara kembarnya, bayi bodoh itu, menangis nyaris di setiap tarikan napas.



Saat mereka berdua tumbuh menjadi balita, hal favorit Keito adalah mengganggu bocah bodoh yang selalu bersamanya-Manjiro, saudara kembarnya.

Bagi Keito, tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat Manjiro menangis dan berlari mengadu kepada kakak sulung dan kakek mereka.

Wajah merengek dan air mata Manjiro tampak begitu menggemaskan di mata Keito, meskipun akibatnya ia selalu dimarahi.

Tapi, dimarahi tidak membuatnya kapok.

Baginya, hukuman itu kecil dibandingkan dengan kepuasan melihat Manjiro kesal.

Kini mereka sudah berumur 9, dan sudah delapan tahun Keito menjadikan Manjiro sebagai bahan hiburan nya.

Namun, di balik semua ejekan dan cemoohan itu, Keito sebenarnya kagum pada Manjiro.

Bocah itu, meski tampak lemah dan sering menangis di hadapannya, memiliki kemampuan luar biasa di Dojo kakek mereka.

Di usia yang masih sangat muda, Manjiro sudah mampu mengalahkan murid-murid senior di dojo.

"Bocah bodoh, gitu aja kau nggak bisa?" Keito mengejek Manjiro yang berusaha memahami soal perkalian, padahal sudah duduk di kelas 3 SD.

Bagi Keito, dengan pengetahuan dari kehidupannya yang sebelumnya, hal seperti itu sangatlah mudah. Tapi Manjiro? Anak itu kesulitan menghitung angka-angka sederhana.

Manjiro, yang mendengar ejekan kakaknya, langsung marah. "Bukan salahku! Ini memang susah!" ujarnya kesal, memukul meja dengan tangannya yang kecil.

Keito hanya tertawa kecil. "Susah? Itu bahkan lebih gampang dari permainan balokmu." Ia mencondongkan tubuhnya, memperlihatkan ekspresi sinis yang semakin membuat Manjiro geram.

Sifat Keito yang suka mengejek dan menggoda Manjiro ini memang sudah menjadi bagian dari rutinitas mereka.

Bukan karena dia benar-benar membenci Manjiro, tetapi lebih karena Keito merasa terjebak dalam dunia anak-anak yang begitu lambat dan penuh keterbatasan.

Keito merasa unggul, dengan segala ingatannya dari kehidupan sebelumnya, sedangkan Manjiro terlihat begitu polos dan bodoh di matanya.

"Jangan cemberut gitu dong." Keito menyeringai geli, ia mencubit pipi Manjiro dengan gemas.

"Aku bukan mainanmu, Kei!" Manjiro menepis tangan Keito, Keito menjentikkan jarinya ke dahi Manjiro.

"Yang sopan sama kakak mu."

"Kau cuma lebih tua 10 menit!"

"Ya, tapi tetap saja, aku yang lahir duluan. Jadi kau harus hormat padaku," balas Keito dengan nada sok berwibawa, tapi senyumnya yang penuh ejekan jelas tidak menunjukkan keseriusan.

Manjiro mengusap dahinya yang terasa sedikit nyeri karena jentikan Keito. "Itu gak adil! Cuma 10 menit, tapi kau selalu bertingkah kayak kau 10 tahun lebih tua dariku," gerutunya, matanya menatap tajam tapi tak mampu menyembunyikan kekesalannya yang terkesan manis.

Keito tertawa kecil melihat ekspresi adiknya. "Yah, 10 menit atau 10 tahun, sama saja. Kau tetap bocah bodoh di mataku," katanya sambil mengacak-acak rambut Manjiro.

"Aku bukan bocah bodoh!" Manjiro memprotes dengan suara lantang, tapi tangannya gagal menghentikan aksi Keito yang terus membuat rambutnya berantakan.

"Tentu, tentu," jawab Keito dengan nada yang sengaja dibuat seolah meremehkan.



"Ey, berandal~ baru pulang dari menghajar orang?" Keito menyindir sambil menyilangkan tangan di depan dada, menatap Manjiro yang baru saja pulang terlambat dengan pakaian berantakan.

Manjiro menghela napas panjang, mengabaikan ejekan Keito sambil melepas sepatunya dengan malas. Wajahnya sedikit memar, dan ada noda kotor di bajunya, tanda jelas bahwa dia baru saja terlibat perkelahian lagi. "Bukan urusanmu, Kei," jawabnya dengan suara pelan namun jelas menunjukkan kekesalan.

Keito tertawa kecil, melangkah mendekat dan menepuk bahu adiknya dengan penuh sindiran. "Wah, kau sekarang udah main pukul-pukulan sama teman-teman culunmu?"

Manjiro menatapnya tajam. "Mereka bukan culun. Dan ini cuma masalah kecil." Balasnya cepat, suaranya terdengar sedikit kesal tapi mencoba tetap tenang.

Keito, masih dengan senyum mengejeknya, mensejajarkan dirinya dengan Manjiro, lalu mencengkeram wajah adiknya yang penuh memar. "Hmm, masalah kecil? Masalah kecil apa sampai mukamu kayak gini? Kau bertarung buat mereka lagi, ya?" tanya Keito, tatapannya meneliti setiap luka di wajah Manjiro.

Sejak kecil, Manjiro selalu punya rasa keadilan yang kuat. Ia sering terlibat perkelahian untuk membela teman-temannya yang ditindas, meskipun mereka tidak pernah memintanya.

"Tahu gak, kau itu bodoh," kata Keito dengan nada mencibir, sambil melepaskan cengkeramannya dari wajah Manjiro.

Manjiro mendongak, menatap mata Keito. Meski masih kesal, ia tahu bahwa kata-kata kakaknya ada benarnya. "Aku gak bisa diam aja, Kei. Aku gak bisa biarin mereka diganggu." Ucapnya serius, meskipun ada sedikit rasa frustrasi di suaranya.

Keito menggeleng pelan, senyum tipis muncul di bibirnya. "Baiklah, berandal. Tapi denger ya, kalau kau mau bertarung, jangan sampai kalah. Apa gunanya kau bertarung kalau akhirnya cuma babak belur gitu?"

Manjiro terdiam sejenak, sebelum menghela napas. "Iya, iya... aku tahu."

Keito menepuk bahunya sekali lagi. "Nah, itu baru jawabannya."



n : anjay alok, yg penting publish dulu, masalah lanjut pa engga nya mah belakang ang ang ang😚

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Twins || Tokyo Revengers x Male Reader Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang