40. EXTRA CHAPTER

155 21 2
                                    

"Kalau ada kelanjutan dari kisah ini, memangnya kalian mau baca?"

HAPPY READING

Beberapa bulan telah berlalu sejak kejadian yang mengubah kehidupan mereka. Di tengah kesibukan masing-masing, Gibran, Adara, dan Irsyad menjalani hari-hari mereka dengan lebih damai. Luka masa lalu perlahan sembuh, meski bekasnya masih ada. Namun, mereka telah memilih untuk melangkah ke depan, mencoba merajut ulang kepercayaan dan persahabatan yang sempat terputus.

Suatu sore yang cerah, langit biru tanpa awan menggantung di atas sekolah. Gibran dan Irsyad berdiri di tengah lapangan, menyaksikan pertandingan basket sekolah yang sedang berlangsung. Sorak-sorai para siswa bergema di udara, membawa nuansa semangat yang membangkitkan kenangan manis sekaligus pahit bagi mereka berdua.

"Jadi, ini pertandingan persahabatan terakhir lo, ya?" tanya Irsyad sambil menyikut pelan lengan Gibran.

Gibran tersenyum kecil, mengangguk sambil menatap tim basket sekolah yang sedang bermain. "Iya, pertandingan terakhir sebelum kita lulus. Gua enggak nyangka waktu bisa berlalu secepat ini."

Irsyad tertawa kecil. "Lo udah kayak veteran perang aja. Tapi gua ngerti maksud lo, Bro. Banyak yang berubah dalam setahun ini."

Gibran hanya mengangguk pelan, matanya menerawang ke arah tribun penonton. Di sana, berdiri seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Adara. Ia berdiri di barisan terdepan, matanya tak lepas memandangi Gibran dari kejauhan. Ketika pandangan mereka bertemu, Adara tersenyum hangat dan mengangkat jempolnya.

Gibran menghela napas panjang, perasaan hangat menjalar di hatinya. Hubungan mereka telah melewati fase sulit, dan meski tak mudah, kini mereka kembali ke jalur yang lebih baik. Tidak sebagai pasangan, tapi sebagai dua orang yang saling mendukung dan memahami.

"Gua lihat Adara masih enggak pernah kelewatan pertandingan lo, ya?" komentar Irsyad, senyum kecil menghiasi wajahnya.

"Dia selalu ada di sana," jawab Gibran pelan, mengangguk. "Kita enggak pacaran lagi, tapi kita enggak jauh juga. Mungkin kita emang ditakdirkan buat jadi orang yang selalu ada buat satu sama lain, entah dalam hubungan apa."

"Lo terdengar dewasa, Gibran," ejek Irsyad sambil tertawa. "Siapa sangka lo bakal ngomong kayak gitu setahun yang lalu?"

Gibran tertawa kecil. "Setahun yang lalu, gua masih sibuk ngebetulin hati gua yang hancur, Syad. Sekarang, gua udah belajar kalau mencintai seseorang enggak harus berarti memaksakan sesuatu yang enggak tepat."

Irsyad mengangguk setuju. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana pertandingan yang berlangsung dengan riuh. Di sela-sela sorak-sorai penonton, sesosok gadis berambut pendek dan ekspresi tegas berjalan mendekat ke arah mereka.

"Hei, kalian lagi nonton juga?" sapanya, suaranya lantang namun ramah.

Irsyad menoleh dan senyumnya mengembang. "Oh, Kirana! Lo datang juga?"

Kirana mengangguk sambil tersenyum tipis, matanya mengamati lapangan dengan tenang. "Gua lagi ada di kota, jadi gua pikir sekalian mampir buat ngeliat pertandingan terakhir kalian."

Gibran menatapnya penuh kejutan. Tak ada yang menduga Kirana akan muncul di sekolah lagi, apalagi setelah semua yang terjadi setahun lalu. Sejak insiden besar itu, ia pindah ke kota lain dan memulai hidup baru. Ini pertama kalinya mereka bertemu lagi sejak perpisahan yang rumit itu.

"Apa kabar, Kir?" tanya Gibran hati-hati. Meski ia tak lagi menyimpan dendam, pertemuan ini tetap terasa canggung.

Kirana menoleh, tersenyum sedikit. "Gua baik. Hidup gua... lebih tenang sekarang. Gua dengar kabar dari beberapa orang kalau kalian semua juga baik-baik aja."

"Ya, kita semua lebih baik sekarang," sahut Irsyad cepat, seolah ingin menghapus ketegangan. "Gua enggak nyangka lo beneran bakal mampir. Gua kira lo udah enggak mau ngeliat kita lagi."

"Gua pikir gitu juga," kata Kirana, suara lembutnya nyaris tak terdengar di tengah sorak-sorai penonton. "Tapi ternyata, ada bagian dari diri gua yang masih pengen ketemu kalian. Untuk bilang... maaf. Sekali lagi."

Gibran terdiam, lalu mengangguk pelan. "Gua udah maafin lo, Kir. Sejak lama. Kita semua udah lanjut dari masa lalu itu."

Kirana menghela napas lega, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, senyumnya tampak tulus dan damai. "Makasih, Gibran. Makasih juga buat lo, Syad."

Irsyad hanya mengangguk sambil tersenyum lebar. "Hidup ini terlalu singkat buat nyimpen dendam. Kita semua cuma manusia, kan? Yang penting, lo udah sadar dan berusaha berubah."

Kirana menatap mereka berdua bergantian, rasa syukur terukir jelas di wajahnya. "Gua enggak tahu apakah kita bisa jadi teman lagi, tapi gua seneng lihat kalian semua bahagia."

"Dan gua harap lo juga bahagia, Kir," kata Gibran tulus.

Kirana menatapnya, sejenak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Gua akan berusaha. Mungkin suatu hari nanti, gua beneran bisa ngelepas semua rasa bersalah ini."

Gibran dan Irsyad menatapnya dengan pandangan lembut. Mereka tahu jalan Kirana mungkin masih panjang, tapi setidaknya ia telah mengambil langkah pertamanya. Dan untuk itu, mereka bangga padanya.

"Kalau gitu, gua pamit dulu," kata Kirana, berdiri tegak dan mengangguk singkat. "Jaga diri kalian. Semoga sukses untuk semuanya."

Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua di tengah kerumunan yang penuh sorak-sorai. Saat Gibran menatap punggungnya yang menjauh, ia merasa lega. Mereka semua mungkin tidak bisa kembali ke keadaan seperti dulu, tapi itu tak masalah.

Mereka telah tumbuh. Mereka telah berubah. Dan itu adalah bagian dari kehidupan yang sesungguhnya.

Irsyad menepuk bahu Gibran pelan. "Gua rasa, kita udah benar-benar bisa menutup bab ini sekarang."

Gibran mengangguk. "Iya. Dan gua siap buat buka babak baru, apa pun bentuknya."

Sambil tersenyum, mereka berdua kembali memandang ke lapangan, membiarkan masa lalu berlalu bersama angin sore.

Perantara GidaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang