Jam di pergelangan tangan Nadean sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia sudah harus pulang karena mengingat janjinya kepada Miranda untuk pulang lebih awal.
"Gue balik duluan, ya," ucap Nadean pada dua sahabatnya.
"Lah? Lo yang bujangan, ngapain pulang duluan?" Jeremy langsung menatap ke arah Duta meminta dukungan untuk mencegah Nadean pulang.
"Iya, nggak asik, nih. Udah lama kita baru bisa ngumpul lagi kayak gini, loh. Padahal lagi enak banget, mumpung istrinya Jeremy lagi adem, nggak ngereog minta dia pulang. Kita bisa lanjut sampai pagi malah," timpal Duta.
"Lah, gue tuh minta dukungan buat ngebujuk Nadean, bukan lo malah curhat masalah rumah tangga gue! Minta di ruqyah emang lu, ye!" protes Jeremy.
Duta tertawa. "Lah, maklum. Curhat colongan dikit," katanya masih menyisakan kekehan. "Tapi serius, deh. Kok, tumben si Rega nggak neror lo pulang jam segini?"
"Tadi gue udah beliin martabak spesial Pak Toton. Jadi, amanlah!"
"Si Rega mau disuap pake martabak doang?" Nadean ikut menimpali karena penasaran dengan kisruh rumah tangga Jeremy yang sering diceritakan Duta melalui telepon.
"Ya, iya dong. Istri gue mah nggak perlu yang mahal-mahal. Segitu doang udah aman," jawab Jeremy sambil mengelus dadanya.
"Halah! Lo juga sama aja, kan! Dikasih seblak juga luluh Ama si Rega!" sambar Duta.
Nadean menggeleng pelan. "Lo berdua ada-ada aja, ya. Tapi syukur, sih, pada berjodoh kalian. Jeremy sama Rega, dan lo sama Acha. Gue sebagai salah satu saksi kisah cinta kalian ikut bahagia."
"Ah, lo bisa aja. Coba kalau lo juga jodoh sama ..." ucapan Duta terpotong karena menyadari tatapan mata Jeremy yang seakan ingin menghujamnya. "Um, maksud gue-"
"Iya, gue tahu maksud lo. Namanya juga gak jodoh gimana, ya? Kan, kita cuma menjalani, urusan nanti-nanti, ya, biar Tuhan aja yang ngatur," ujar Nadean sambil tersenyum simpul. "Ya udah, lo berdua kalau masih mau lanjut silakan aja. Gue balik duluan. Rada ngantuk gue," katanya sambil bangkit dari duduknya dan menyalami kedua sahabatnya itu.
"Oke, Bray! Hati-hati di jalan. Jangan lupa berkabar lo!" ujar Duta sambil menyambut tangan Nadean. "Oh iya, nanti kata Acha, kapan-kapan kita ngumpul lagi, tapi bareng istri-istri."
Nadean tertawa. "Iya, siap. Atur aja waktunya selama gue masih di Indonesia. Oke, bye," pamitnya seraya beranjak dari sana.
"Eh, Bro, kalau kangen kita, call aja, ya!" teriak Jeremy sebelum Nadean melangkah jauh.
"Dih!"
Nadean selalu dibuat tertawa oleh dua sahabatnya itu dan merasa sangat bersyukur untuk kehadiran mereka dalam hidupnya. Ia mempercepat langkah kakinya ke arah parkiran kafe sambil matanya sibuk menyisir beberapa mobil yang terparkir di sana.
"Nadean," Suara berat seseorang terdengar tepat dari arah belakang Nadean.
Nadean segera membalikkan tubuhnya untuk melihat si pemilik suara. Netranya menangkap sosok pria yang dikenalnya. Maxim, kakak dari seorang wanita yang pernah hadir di hidupnya.
"Iya,"
"Oh, ternyata benar ini kamu, Nadean. Saya pikir tadi salah orang," ujar Maxim sambil tersenyum.
Nadean mengangguk. "Iya, saya Nadean, Bang," jawabnya.
"Kamu apa kabar?" Maxim bertanya basa-basi.
"Baik, Bang," jawab Nadean singkat.
"Udah dari tadi di sini?"
Nadean mengangguk. "Lumayan."
"Um, soal yang waktu itu ... saya minta maaf, ya. Sebenarnya-"
KAMU SEDANG MEMBACA
VIEIL AMOUR | HOSEOK
Художественная прозаMettasha terlahir sebagai putri konglomerat ternama yang memiliki banyak hal yang diimpikan semua gadis seusianya. Namun, ia memiliki masa lalu kelam sehingga membuatnya harus menutup rapat dirinya dengan sifat keras dan introver. Sampai suatu har...