32. Dilema

186 45 24
                                    

Tak terasa sudah seminggu perjanjian antara Ice dan si pembully nya itu. Blaze benar-benar dituduh setiap kali Ice mendapat luka baru padahal yang memukul Ice bukan dirinya.

"I-iya Bang, gue khilaf," bohongnya, Blaze meletakkan ponselnya di atas meja, takut Halilintar akan melempar ponsel itu.

Halilintar menatap adiknya tajam. "Khilaf? Lo udah berkali-kali khilaf, Blaze. Kapan lo mau berubah?"

Blaze menunduk, tidak berani menatap mata abangnya.

"Gue nggak mau lagi denger lo nyakitin orang, terutama Ice. Dia udah terlalu baik sama lo," lanjut Halilintar.

Terlihat ada pemuda berkacamata visor oranye menyimak pembicaraan mereka sejak tadi sambil bersandar di tembok. Dia lewat begitu saja tanpa mempedulikan apa yang terjadi di kos an itu. Sudah seminggu pemuda itu tinggal di kos itu setelah merenovasi beberapa bagian kos secara dadakan.

Sekarang dinding kos dan langit-langit kos terlihat lebih enak dipandang. Ditambah dengan beberapa kipas angin, sofa, meja baru juga meja lipat untuk belajar, karpet bulu, dan televisi baru di sana membuat lebih nyaman.

Meski begitu dia heran kenapa Halilintar dan Blaze tak pernah menonton televisi dan jarang menggunakan kipas angin yang dia beli.

Mereka terlalu irit listrik atau tak berani memakai barang miliknya? Pikirnya.

"Solar," panggilan dari seseorang membuat pemuda berkacamata visor itu menoleh.

"Hm?"

"Maaf kalau suara kami ngeganggu lo yang ada di kamar sebelah," kata Halilintar.

Solar mengangkat tangan kirinya lalu mengibaskannya seperti menyuruh Halilintar jaga jarak darinya. "Ya," balasnya.

Halilintar berjalan menjauh dari Solar sambil mencium bajunya. "Masa gue bau keringat sih?" gumamnya dengan raut wajah bingung.

Solar kembali ke kamarnya, matanya kembali terpaku pada layar laptop. Dunia maya adalah pelariannya, tempat di mana ia merasa paling nyaman. Di sana, ia bisa menjadi siapa saja tanpa harus berurusan dengan interaksi sosial yang rumit.

Sejak kecil, Solar telah terbiasa menyendiri. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan buku-buku dan gadgetnya daripada bermain dengan teman sebaya. Orang-orang sering menganggapnya aneh dan pendiam. Namun, Solar tidak peduli dengan pandangan mereka.

Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk dari ponselnya. Solar melirik sekilas, melihat nama pengirim, Solar menghela napas panjang. Duri, kembarannya itu selalu berusaha mendekatinya. Namun, Solar selalu berusaha menghindarinya.

Duri : Hai Sol, lagi ngapain?

Pesan dari Duri muncul di layar. Solar membacanya tanpa minat, lalu membalas dengan singkat.

Solar : Lagi sibuk.

Duri tidak menyerah begitu saja. Ia terus mengirimkan pesan bertubi-tubi, menanyakan kabar Solar, mengajaknya makan malam bersama, atau sekadar menanyakan pendapat Solar tentang hal-hal sepele. Solar membalas semua pesan itu dengan jawaban yang singkat.

"Sol, kamu kenapa sih? Kenapa selalu menghindari aku?" pesan suara dari Duri membuat Solar mengernyitkan dahi. Ia tidak ingin membahas hal ini.

Sedetik kemudian layar ponselnya menunjukkan panggilan dari kembarannya, Solar menghela napas sebelum mengangkat panggilan itu.

"Aku nggak ngehindarin kamu," kata Solar sebelum Duri bicara.

"Kalau nggak ngehindarin, kenapa kamu selalu cuek sama aku?" Duri bertanya dengan nada kesal.

Solar terdiam, berusaha bicara dengan hati-hati. "Aku cuma butuh waktu sendiri."

Duri tidak menjawab lalu memutuskan sambungan telepon itu. Solar merasa lega. Ia kembali fokus pada layar laptopnya. Namun, entah kenapa hatinya terasa tidak tenang setelah membuat kembarannya kecewa.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang