Chapter 3: I'm not okay

191 10 0
                                    

Aku menoleh pada Mirna yang menggeliat kecil. Matanya hanya terbuka sebentar. Entah mimpi indah apa yang sedang menjaganya hingga malas terbangun. Tak sepertiku yang sedikit gelisah, Mirna justru tampak tenang meski kali ini juga menjadi pendakian pertamanya.

Bagiku, mendaki gunung adalah kegiatan maskulin yang hanya lumrah dilakukan para lelaki. Kalaupun ada perempuan yang mendaki, kupikiri mereka benar-benar cewek tomboi Pro-series. Sayangnya pemikiran itu terbantahkan dan tidak berlaku hari ini. Sebab, mangkir dari pendakian kali ini sama dengan cari mati. Mana bisa aku hidup menjadi satu-satunya karyawan yang gagal naik gaji?

Semua ini gara-gara klub lari Kura-Kura itu. Owh, bukan. Semua ini gara-gara ulang tahun Pak Dedi yang ke 50 tahun barengan sama agenda workshop. Beliau bersikeras di ulang tahunnya yang ke setengah abad ini dirayakan di atas puncak gunung. Entah kompor meleduk mana yang sudah mencuci otaknya. 

Lagipula, kenapa harus barengan? Padahal agenda workshop kan bisa dijadwal ulang. Kalau perlu, ulang tahunnya saja yang ditunda. Kan lumayan bisa hemat umur.

Kata Pak Dedi, mendaki ke puncak gunung Batur itu sebuah pilihan paling tepat untuk workshop team kali ini. Menurutnya, dengan kita naik gunung bersama tim, akan semakin meningkatkan kekompakan, solidaritas, serta mempererat tali persaudaraan antar rekan kerja. Halah, pret!

Semua karyawan tahu keputusan gila ini gara-gara kantor pusat sedang melakukan sunatan dana secara massal. Padahal agenda tahunan ini sudah direncanakan akan ke Mandalika sejak tahun lalu.

Belakangan baru aku tahu, kompor termeleduk tahun ini jatuh kepada Mas Al, suami Teh Sarah. Sahabat Pak Dedi itu pamer bahwa dirinya baru pulang dari Rinjani bareng karyawannya. Sedangkan bosku, yang lagi getol-getolnya hidup sehat dan merasa paling tercerahkan hidupnya itu kan jadi tersentil egonya. Emang boleh, dia yang anggota klub lari kalah tangguh sama Mas Al yang olahraga paling banter pas acara jalan sehat tujuh belasan doang.

Mobil sudah berhenti di area parkir untuk pendaki. Konon, di sini adalah titik pendakian terdekat dengan sunrise view dipuncak Gunung Batur. Semua calon-calon pendaki tampak saling berkerumun bersama timnya masing-masing. Salah satunya tim kami. Aku menoleh saat Evo menepuk pundakku dari belakang. Sepertinya dia sudah selesai memarkir mobil yang kami tumpangi. Aku mengitarkan pandangan ke sebagian area, beberapa tim tampak sudah mulai bergerak menuju jalur pendakian.

"Jangan lupa dan harus diingat baik-baik!" Janua membuka sesi briefing sebelum kegiatan pendakian kami dimulai.

Semua peserta workshop berdiri beriringan membentuk setengah lingkaran, Janua yang bertugas sebagai kapten berada di depan menghadap kami. Janua menjelaskan rambu-rambu penting terkait kegiatan pendakian kali ini. Apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh dilakukan selama pendakian.

"Selama pendakian jangan ada yang ngomong sembarangan! Nggak usah noleh kalau misalnya denger suara yang aneh-aneh. Paham ya?" terangnya. Tubuhnya yang jangkung itu dengan mudah bisa kulihat meski seseorang sedikit menutupi pandanganku. Namun kulitnya yang cenderung gelap, membuatku sekilas samar karena sama kelamnya dengan gelapnya malam ini.

"PAHAM⎯" jawab beberapa dari kami hampir serentak sambil mengangguk-angguk.

"Kita jumlahnya ada berapa?" tanya Janua lagi. Kemudian dengan cepat kepalanya manggut-manggut. Laki-laki seumuran Evo itu mengedarkan pandangannya dari ujung baris kiri ke kanan. Kami pun saling menoleh untuk memastikan jumlah kami.

"Empat belas," sahut seseorang di antara kami.

Janua mengangguk-angguk cepat tanda sepakat.

"Perlu diingat baik-baik, jangan sampai ada yang terpisah! Kita harus selalu barengan. Kalau ada yang capek atau haus, atau butuh apa-apa, segera bilang!" Janua mengitarkan pandangannya kepada kami sekali lagi.

Ramalan JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang