"Pripun, Lek?" sambut nenekku pada Mbah Ji yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Tubuhnya yang tak tinggi untuk ukuran lelaki itu, segera menumpu pada kursi di depan kami.
Dalam bahasa Jawa, pripun artinya bagaimana. Nenekku memanggil Mbah Ji dengan sebutan 'Lek' dari kata 'Pak Lek', yang artinya Paman. Padahal secara umur, nenekku lebih tua darinya. Namun di kampung nenek moyangku, di umur setua mereka, memanggil lawan jenis yang usianya sama sepuhnya dengan sebutan 'Mas' itu terkadang sedikit menggelikan.
Mbah Ji membenarkan posisi duduknya yang tidak salah. Beberapa butiran keringat terlihat mengembun di jidatnya yang tak lebar. Kopiah lusuh yang sedikit menutupi jidat sempitnya itu pun tampak semakin kumal. Aku tidak tahu ritual apa yang tadi sempat dilakoninya sebelum keluar dari ruangan minim cahaya beraroma misik itu. Namun raut kelelahan terpancar masif pada sepasang mata sayunya.
Lelaki tua yang kupanggil Mbah Ji itu adalah seorang penarik becak. Rumahnya tak jauh dari rumah nenekku. Mungkin jarak rumah kami tak lebih dari lima belas meter. Meski terhalang pekarangan sebuah rumah tetangga, namun teras rumahnya terlihat gamblang dari jendela kamarku.
Mbah Ji mengarahkan pandangannya padaku, diikuti sedikit gerakan memutar tubuhnya yang ceking. Kemudian senyumnya sedikit mengembang. Tata krama ketimuran yang sudah tertanam sejak nenek moyang dalam diriku pun, serta merta membalasnya dengan gerakan bibir yang melengkung manis.
"Kadose jodonipun tasih dangu niki, Bu," jawab Mbah Ji, "nggih sing sabar mawon," lanjutnya sambil tetap menyuguhkan senyum rentanya. Kadose jodonipun tasih dangu artinya 'sepertinya jodohnya masih lama'. Sementara sing sabar mawon berarti 'yang sabar saja'.
Aku menoleh pada nenekku, berharap dia akan menyudahi pertemuan mubazir ini. Lagi pula, apa-apaan sih pakai acara ramalan jodoh segala. Aku saja baru lulus SMA. Memangnya kenapa kalau sudah lulus SMA belum ada laki-laki yang ingin melamarku?
"Mboten saget dipercepat mawon tho, Lek?" sahut nenekku seketika. Berharap jodohku yang katanya masih lama itu bisa dipercepat saja.
Aku segera mengambil mukaku dan menepuk jidat. Huffttt... desahku.
Mbah Ji mengangkat secangkir kopi dari meja di hadapannya. Menyesapnya dengan khidmat dalam tiga kali tarikan napas. Mungkin sebagai upaya memicu otak mengumpulkan kata-kata demi dapat menyampaikan cerita petualangan spiritualnya tadi.
Sementara aku, masih ingin mengelak bahwa laki-laki tua yang sering mengantar kami dengan kayuhan becaknya itu adalah seorang dukun. Aura mistis bahkan sama sekali tak terdeteksi di rumah gedeknya ini. Terlebih, sosoknya yang sederhana dan ramah itu mengaburkan figur paranormal dalam dirinya. Siapa yang menyangka di balik tangannya yang legam itu tersimpan kemampuan menjamah dimensi lain. Aku tak pernah mengira di antara jemarinya yang mulai mengeriput itu menyandang kemampuan menangkap energi tak kasat mata. Tapi yang membuatku lebih tidak percaya, keberadaanku di sini dan mendengarkannya.
"Nanging sajake sampun kenal (sepertinya sudah kenal)," Mbah Ji melanjutkan. Lalu kembali terdiam seolah sedang menghafal rumus fisika.
Aku menoleh kembali pada nenek yang duduk di sebelah kiriku, meski masih belum juga disambut olehnya. Pensiunan janda dari seorang Sinder Perhutani ini memang sedikit unik. Hanya gara-gara dia bermimpi aku menjadi perawan tua saja sudah panik sampai membawaku ke dukun. Apa kabar kalau nanti aku jadi perawan tua benaran? Kalau pun sudah mati, bisa-bisa malaikat pun dipaksa buat buka pintu kuburan. Tapi ini apa lagi? Sudah datang ke dukun, malah dibilang jodohku masih lama. Bisa-bisa habis ini aku disuruh mandi kembang tujuh rupa dan air dari tujuh sumber mata air.
"Inisial-e S, nduk," lanjut Mbah Ji dengan pandangan yang kembali dialihkan padaku.
Seketika otakku mulai bekerja, memilah-milah nama teman dan kenalan yang memiliki nama berawalan huruf 'S'. Namun yang terjadi, tak satu nama pun menyembul dalam ingatanku.
"Kancamu sing jenenge S sopo (temanmu yang namanya S siapa aja)?" nenek menoleh padaku.
"Hah?" aku menoleh dengan gelagapan kali ini.
"Lare pundi, Lek?" tanya Nenekku tentang asal calon jodohku pada Mbah Ji.
"Mboten ketingal," jawab Mbah Ji sambil menggeleng-geleng, "mung mbesuk ketemune ning wetan iki, nduk," sambungnya. Menurut penglihatan metafisika Mbah Ji, aku dan calon jodohku kelak akan bertemu di sebelah timur.
"Wetan ko endi, Lek? Ko kene opo ko omah e ibune?" tanya nenekku yang cukup mewakili rasa penasaranku. Maksud nenekku, Arah timur itu patokannya berdasarkan apa? Apakah dari posisiku saat ini di kampung nenekku, ataukah dari tempatku tinggal di rumah Ibuku. Entah kenapa aku jadi mendadak tergelitik dengan ucapan Mbah Ji.
Dahiku berkerut, menginstruksi otak agar bekerja lebih keras dari sebelumnya. Saraf-saraf pintar di otakku pun dengan khusyuk mencoba mengingat kembali semua nama berinisial 'S' yang pernah singgah di sepanjang usiaku yang hampir delapan belas tahun ini. Kalau sekadar teman yang namanya berawalan 'S' saja tentu tidak sulit. Tapi yang dekat, atau yang berpotensi untuk dekat, menurutku agak mustahil. Satu-satunya laki-laki yang dekat denganku, hmmm, sepertinya memang tidak ada.
Sinyo? Si klimis berkacamata tebal itu? Ah enggak, nama asli dia bukan Sinyo. Sugeng? Bukan...bukan, nama depan dia kan Eko, batinku terus meribut. Aku menggaruk anak rambut yang tidak sepenuhnya gatal. Saiful? Ah enggak mungkin, dia terlalu kemayu. Masa sih Subandi? Pundakku bergidik membayangkan bocah preman ternakal di kelas itu. Hmmm, Suprapto? Suryanto? Sunarto? Ah....
Kenapa harus S, sih? Kenapa bukan Biyan saja? protesku dalam hati. Aku kecewa dengan ramalan jodoh yang tak sesuai ekspektasi. Pun sama kecewanya pada Biyan yang tiba-tiba lenyap entah di belahan bumi yang mana.
Ah...! di mana laki-laki sialan itu? Menghilang di belahan bumi manakah dia setelah tiba-tiba hadir memberi harapan. Mataku terpicing, pikiranku terlalu semrawut dengan dugaan-dugaan yang menyebalkan. Aku menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat seakan mendengus. Kecewa mendapati kenyataan ramalan jodohku yang tak sesuai persangkaan.
"Ora usah sedih, yo nduk! Jodohmu iki iseh adoh. Mbesuk nek wes wayahe, bakal dapuk ono ning wetan, nanging kuncine kudu sabar, dijalani sing kudu dijalani," nasihat Mbah Ji.
Artinya, aku tidak boleh sedih dan harus bersabar dengan datangnya jodohku yang masih lama itu. Saat waktunya tiba, kami akan dipertemukan di timur, tetapi harus sabar dan menjalani apa yang harus dijalani.
Brak! Brak! Brak!
"Mbak El!" Terdengar teriakan seseorang dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramalan Jodoh
RomanceDASAR PELAKOR!!!!! Senin yang seharusnya khidmat, seketika ambyar begitu Elliana membaca pesan di inbox Facebook miliknya. Elliana masih jomblo di usianya yang sudah kepala 3. Semua itu berkat kematian tunangannya 8 tahun silam. Terkadang dia berpik...