Chapter 47

16.2K 602 23
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa untuk selalu tekan vote dan ramaikan komentarnya ya🫶🏻

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Ada sebelum kamu, ada selama kamu, dan untuk alasan yang tak terucap, aku tak pernah berpikir akan ada setelah kamu.

Namun kenyataannya, ada. Dan aku terperangkap di dalamnya selamanya.

Suara ketukan pintu membuyarkan pikiran Galen. Dengan nada rendah, ia mempersilakan masuk. Seorang pria berjas hitam rapi melangkah dengan sebuah tas kerja senada di tangannya. Langkah pria itu mantap, tapi kehadirannya terasa berat bagi Galen.

Pria itu Liam, sahabat lama sekaligus pengacara pribadinya, mendekati meja dan tanpa banyak bicara mengeluarkan secarik kertas. Kertas putih dengan tinta hitam, surat perceraian antara Galen dan Ainsley.

Galen menatapnya dengan hampa. Di dalam hatinya, perasaan bergejolak, namun di wajahnya hanya ada kehampaan. Kertas itu menyimbolkan akhir dari sesuatu yang pernah menjadi pusat dunianya.

Semua campur aduk: marah, sedih, tapi lebih dari segalanya, ia pasrah. Jika perceraian adalah yang Ainsley inginkan, jika itu adalah jalan menuju kebahagiaan yang telah lama dirampas dari hidupnya, maka Galen tahu, untuk pertama dan terakhir kalinya, ia akan mengabulkan keinginan wanita itu.

"Kau sungguh akan menyerah padanya?" Liam menatap Galen dengan pandangan penuh empati, suaranya pelan namun tegas.

Galen menatap kertas itu lebih lama dari yang ia harapkan. "Kau tak lihat kertas ini sudah ada di depanku?"

Liam menghela napas panjang, masih berharap mendengar penolakan. "Kau menyerah begitu saja?"

Galen terdiam, menggigit bibirnya, mencoba menahan segala sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya. Tidak, ia tidak menyerah. Dia tidak pernah menyerah, dan mungkin tidak akan pernah.

Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan tentang kemenangan atau kekalahan lagi. Ini tentang memberi Ainsley kebebasan yang dia inginkan, meski itu berarti melepaskan satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup.

"Ya," jawabnya akhirnya, suaranya serak. "Aku menyerah."

Dengan tangan sedikit gemetar, ia meraih bolpoin. Detik-detik berlalu seperti mimpi buruk yang nyata saat ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas perceraian. Setelah tinta mengering, segala sesuatu yang pernah ada di antara mereka menjadi sekadar kenangan, terhapus dalam satu goresan pena.

Tapi di hatinya, Ainsley tak pernah benar-benar pergi.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Malam itu begitu sunyi, hanya suara langkah kaki Ainsley yang menggema di sepanjang lorong rumah megah itu. Cahaya temaram dari lampu-lampu gantung memantulkan bayangan samar di dinding, membuat segala sesuatu terasa lebih dingin dan hampa. Ainsley berhenti sejenak di puncak tangga, menarik napas panjang, sebelum menuruni anak-anak tangga satu per satu.

Rumah besar yang dulu terasa begitu asing kini dipenuhi kenangan. Semua emosi dari rasa sakit yang tak terucapkan hingga kebahagiaan sesaat yang kerap terampas terlalu cepat. Setiap sudut ruangan seolah menyimpan kisah yang tak pernah benar-benar pergi, meski waktu berlalu.

Saat Ainsley tiba di ruang tengah, matanya tertuju pada sesuatu di atas meja. Setangkai mawar merah tergeletak di sana, ditemani oleh secarik kertas dan sebuah bolpoin, serta sebuah surat kecil yang terlipat rapi di sampingnya. Jantung Ainsley berdegup lebih cepat ketika ia mendekat, meraih kertas-kertas itu dengan hati-hati.

Yang pertama adalah gugatan cerai. Namanya sudah tercantum di sana, tinggal menunggu tanda tangannya. Hatinya mencelos seketika. Tangannya gemetar ketika ia beralih membuka surat kecil yang terlipat di samping mawar, membaca tulisan yang tampak begitu akrab namun sekaligus terasa begitu jauh.

"Aku mencintaimu. Kamu luar biasa, luar biasa cantik. Kamu seperti permata yang paling berharga, yang selalu kutakutkan untuk kehilangan.

Aku tidak menyerah padamu, aku tidak akan pernah menyerah. Tapi aku menyerahkan kebebasanku untukmu, untuk wanitaku, milikku.

Meski aku bukan milikmu, aku mencintaimu lebih dari yang pernah bisa kau bayangkan. Aku mencintaimu begitu dalam hingga aku ingin kau hidup tanpa bayanganku dan melupakanku, sayang.

My lady... Tolong lupakan segalanya tentangku.

Tapi, tolong... Jangan pernah lupakan bahwa aku selalu mencintaimu."

Air mata jatuh perlahan dari sudut mata Ainsley, tak mampu ia tahan lagi. Surat itu terasa seperti pisau yang menusuk hatinya, membelah semua perasaan yang telah ia pendam selama ini.

Cinta yang dulu begitu kuat, sekarang hancur dalam keheningan yang memekakkan. Dengan tangan bergetar, ia meletakkan surat itu kembali di atas meja, di samping gugatan cerai yang sudah ditandatangani Galen.

Dan di dalam keheningan malam itu, Ainsley berdiri memandang setangkai mawar di tangannya. Satu simbol cinta yang tersisa dari kenangan mereka yang begitu singkat namun abadi.

Ainsley duduk dengan tubuh yang terasa berat di atas sofa, seolah seluruh beban emosinya akhirnya terlepas. Wajahnya tersembunyi di balik satu tangan, sementara tangan lainnya erat menggenggam setangkai mawar merah.

Bunga yang indah itu menjadi simbol yang rumit, cinta, kesakitan, dan perpisahan yang terasa seperti menghancurkan dirinya.

Meskipun perceraian ini adalah keinginannya sendiri, sebuah keputusan yang dipilihnya dengan penuh pertimbangan, namun tetap saja hatinya menjerit. Dia seorang wanita yang hatinya lebih dominan daripada logikanya, seorang istri yang tak lama lagi akan berpisah dari suaminya, membuat rasa hancur itu semakin menyelimuti.

Mungkin orang akan menyebutnya munafik, tetapi Ainsley tahu betul bahwa cintanya pada Galen adalah sesuatu yang tak bisa diukur. Seandainya ia tak mencintai Galen begitu dalam, ia mungkin sudah meninggalkannya jauh sebelum ini. Tapi, cinta itulah yang membuatnya bertahan, cinta yang membuatnya memilih tetap berada di sisinya meski perih tak terhindarkan.

Bahkan kemarin, saat meminta Galen untuk menggugat cerai dirinya, itu bukan karena dia ingin. Itu karena dia tidak sanggup melakukannya sendiri. Pikiran untuk pergi ke pengadilan, menandatangani dokumen-dokumen yang akan memisahkan mereka secara sah, sudah cukup membuatnya sesak.

Dengan napas yang mulai tersendat, Ainsley berusaha menenangkan diri. Ia menyeka air matanya dan meraih bolpoin di atas meja. Matanya tertuju pada surat cerai yang tergeletak di sana.

Sebelum menandatanganinya, ia menggigit bibir bawah, berusaha menahan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Ujung bolpoin itu nyaris menyentuh kertas ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.

Ainsley menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok August Barnaby, ayah Galen, yang mendekat dengan bantuan tongkatnya. Kehadirannya, meski tak diharapkan, membawa hawa berat ke dalam ruangan.

"Ayah..." bisik Ainsley, suaranya hampir tenggelam oleh semua emosi yang ia coba sembunyikan.

August berhenti tepat di hadapannya, memandang wanita muda itu dengan tatapan penuh makna. Seakan dia datang bukan hanya untuk melihat sebuah akhir, tetapi untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perpisahan.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Faded Desire
[9 Oktober 2024]
-
-

Jika kalian kepo kapan ending cerita ini? Jawabannya adalah satu atau dua part selanjutnya adalah akhir dari cerita Ainsley dan Galen.

Entah itu akhir atau awal selanjutnya dari buku kedua mereka xixi.

Btw aku ganti cover, suka tidak?

Sebelum cerita ini ending, mari tinggalkan banyak kenangan untuk cerita ini🙆🏻‍♀️❤️

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang