Setelah malam itu, Oty merasakan semangat baru dalam hidupnya. Dukungan dari orang tuanya memberi kepercayaan diri yang selama ini dia cari. Dia merasa lebih siap untuk menjalani langkah pertamanya dalam dunia kepenulisan. Dengan semangat, dia mengajak Rina untuk membahas proyek tulisan mereka yang akan datang.
“Rina, kita harus mulai serius dengan buku kita! Aku punya beberapa ide dan ingin kita coba menulis secara kolaboratif,” kata Oty saat mereka bertemu di kafe.
Rina tersenyum lebar, semangatnya menular. “Wah, itu ide bagus! Apa yang ada di pikiranmu?”
Oty membuka buku catatannya yang penuh dengan sketsa dan catatan. “Aku berpikir, kita bisa menulis tentang pengalaman generasi sandwich, bagaimana mereka terjebak di antara tuntutan orang tua dan harapan diri sendiri. Kita bisa masukkan cerita-cerita dari orang-orang yang kita kenal.”
“Perfect! Kita bisa buat setiap bab dengan sudut pandang berbeda. Bisa jadi semacam antologi,” Rina menambahkan, mulai bersemangat.
Hari-hari berikutnya, mereka menghabiskan waktu di kafe, menulis, berdiskusi, dan mengeksplorasi ide-ide baru. Oty merasa beruntung memiliki sahabat seperti Rina, yang selalu memberikan dukungan dan inspirasi.
Di tengah perjalanan mereka, Oty mulai teringat akan temannya, Dika, yang juga sedang mengalami masa sulit dengan keluarganya. Dia memutuskan untuk menghubungi Dika dan mengajak untuk bergabung dalam proyek mereka.
“Hey, Dika! Apa kabar? Aku dan Rina lagi nulis buku tentang generasi sandwich. Mau ikut?” tanya Oty lewat pesan.
Beberapa saat kemudian, Dika membalas. “Kedengarannya seru! Aku ada beberapa pengalaman yang mungkin bisa aku bagikan. Kapan kita bisa ketemu?”
“Oke, kita atur waktu. Mungkin bisa di kafe yang sama?” jawab Oty, merasa senang bisa mengajak Dika.
Beberapa hari kemudian, Oty, Rina, dan Dika berkumpul di kafe untuk diskusi. Dika, dengan wajah cerahnya, mulai berbagi cerita tentang tekanan yang dia rasakan dari orang tuanya yang mengharapkan dia menjadi pengacara.
“Kadang, aku merasa seperti boneka yang hanya bergerak sesuai keinginan mereka. Padahal, aku ingin menjadi seniman,” kata Dika, matanya bersinar saat membicarakan passion-nya.
Oty mendengarkan dengan penuh perhatian. “Nah, itu yang mau kita tulis. Kita harus buat orang-orang paham bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan ini,” jawab Oty.
Rina mengangguk. “Dan kita bisa masukkan tips tentang bagaimana cara mengatasi tekanan tersebut. Mungkin bisa membantu orang lain yang membaca nanti.”
Diskusi itu berlangsung seru. Mereka mulai merancang struktur buku dan membagi tugas. Oty merasa sangat bersemangat, tidak hanya karena proyek ini, tetapi juga karena bisa berbagi pengalaman dengan teman-temannya.
Setelah beberapa minggu, mereka sudah berhasil menyelesaikan beberapa bab. Oty mulai merasa lebih nyaman mengekspresikan perasaannya melalui tulisan. Dia menemukan bahwa menulis adalah cara terbaik untuk mengeluarkan semua emosinya.
Suatu malam, Oty memutuskan untuk membagikan beberapa tulisan mereka di media sosial. Dia ingin memberikan sedikit gambaran tentang proyek mereka dan melihat respons dari teman-temannya. Dengan jantung berdebar, dia mengetik dan mengunggah tulisan pertama.
“Hey, guys! Kami lagi nulis tentang pengalaman generasi sandwich. Ini adalah cerita tentang bagaimana kita semua bisa terjebak di antara harapan orang tua dan impian kita sendiri. Semoga bisa menginspirasi!” tulisnya, diakhiri dengan hashtag #GenerasiSandwich.
Tak lama kemudian, Oty menerima banyak tanggapan positif. Teman-temannya memberikan dukungan dan mengaku bahwa mereka juga merasakan hal yang sama. Beberapa bahkan mengungkapkan keinginan untuk berbagi pengalaman mereka.
Oty merasa haru. “Rina, lihat! Banyak yang merespons tulisan kita. Ini luar biasa!”
Rina tersenyum, mata berbinar. “Kita memang enggak sendirian, Oty. Ini baru permulaan.”
Namun, di balik kebahagiaan itu, Oty masih merasakan sedikit kegelisahan. Dia tahu bahwa tidak semua orang akan menerima perubahan ini dengan baik. Bagaimana jika orang tuanya kembali mempertanyakan keputusannya?
Ketika malam semakin larut, Oty memutuskan untuk menghubungi ibunya. “Bu, aku baru saja membagikan tulisan kami di media sosial. Banyak yang suka,” katanya, berusaha terdengar optimis.
Ibunya membalas dengan suara lembut, “Aku bangga, Oty. Namun, ingat untuk tidak melupakan pendidikanmu. Ini semua penting untuk masa depanmu.”
Oty tersenyum pahit. “Iya, Bu. Aku tahu. Tapi ini juga penting bagiku. Aku ingin mengejar mimpi dan berbagi dengan orang lain.”
Setelah menutup telepon, Oty merasa campur aduk. Dia tahu betapa besar cinta orang tuanya, tapi kadang itu terasa membebani. Dia ingin mereka bangga padanya, bukan hanya dari pencapaian akademis, tetapi juga dari keberaniannya untuk mengikuti passion.
Akhirnya, Oty memutuskan untuk menulis dalam buku harian sebelum tidur. Dia ingin menuangkan semua perasaannya. “Kadang, aku merasa terjebak di antara harapan dan keinginanku. Tapi aku bertekad untuk mengejar apa yang aku cintai. Semoga ini bisa menjadi jalan untuk aku menemukan diriku sendiri.”
Malam itu, saat Oty terlelap, dia merasa harapan baru mengisi hatinya. Dia tahu perjalanannya masih panjang, tetapi dia siap untuk melangkah lebih jauh, membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa ! Generasi Sandwich ! (Revisi)
Teen FictionBagaimana jadinya jika seorang gadis berusia 22 tahun menghadapi likunya era Generasi Sandwich di tengah-tengah jaman yang masih menganut sistem kepercayaan tradisi dan jaman digital modernlisasi? Yok ikuti terus kisah Oty gadis yang berjuang demi m...