Sebagai ibu rumah tangga, Rila bangun awal membantu bik Nur menyiapkan sarapan. Soal mengurus rumah, itu hanya tugas bik Nur seorang. Rila turut membantu jika ingin saja.
Selagi ke-dua wanita beda generasi tersebut saling membantu menyiapkan sarapan, Liya ikut bergabung menawarkan diri.
"Nggak usah, kamu kan tamu di sini, sudah seharusnya tamu nggak di bebankan pekerjaan seperti ini. Karena ini yang melakukan hanya keluarga saja"
Dari ucapan Rila, Liya sadar, meski Rila berbaik hati membiarkannya menginap, tapi tidak untuk menerimanya. Keras hati ibu sambung dari Rayen tak dia sangka lebih keras dari penolakan Rayen untuk mengakui anak yang dia kandung.
Tak ingin di cap tak menurut, Liya pergi kembali ke kamarnya. Sedang Rila kembali meneruskan masakan bersama bik Nur, hingga beberapa hidangan tertata di atas meja. Lalu dia meninggalkan dapur membangunkan suaminya selagi bik Nur membangunkan Rayen, dan tak lupa juga untuk memanggil Liya.
"Bik Nur, semua orang di mana yah?" tanya Liya tiba lebih dulu di meja makan.
"Nyonya membangunkan tuan, den Rayen akan menyusul sebentar lagi" sahut bik Nur. "Silahkan duduk non" lanjutnya
Liya melandaskan pantatnya duduk sembari menunggu pemilik rumah tiba, dia tak enak jika harus makan mendahului pemilik rumah, apa lagi nyonya di rumah tersebut masih bersikap dingin padanya.
Tak lamanya Rila dan Riga muncul dengan bergandengan tangan. Liya menatap mereka kagum, pasutri itu meski beda usia jauh, tapi mereka romantis. Diapun berandai-andai Rayen memiliki sikap lembut dan perhatian sama seperti ayahnya, maka dia tak akan risau memikirkan keadaan bayinya.
"Selamat pagi bik" sapa Riga pada bik Nur tanpa mengindahkan Liya.
"Rayen mana bik?" tanya Rila
"Mungkin lagi mandi Nya"
Rila melayani suaminya seperti biasa, dan mempersilahkan Liya menikmati sarapannya yang telah di suguhkan bik Nur. Lalu tak lamanya Rayen muncul ikut bergabung. Dia mengucapkan selamat pagi pada semuanya seperti biasa, tapi tak menatap Liya sebentar pun.
Sarapan terasa hening di pagi ini semenjak kedatangan Liya, candaan tak ada yang terlontar seperti biasanya, suasana terasa tegang.
"Liya" panggil Rila
"I-iya kak"
"Setelah sarapan kita ke rumah sakit"
Liya mengangguk ki.
"Ray, lu ikut kan?" tanya Liya
"Rayen ikut ayahnya ke perusahaan, hari ini banyak kesibukan di sana, kita hanya pergi berdua" sela Rila yang artinya tak ada pengecualian. Dan Rayen mengangguk ki, dia memang tak berminat untuk melakukan hal tersebut.
Setelah sarapan Riga dan Rayen pamit ke perusahaan meninggalkan Rila dan Liya.
Sepanjang perjalanan dua wanita dewasa itu tak ada yang bersuara meskipun hanya suara musik saja. Rila tak menuturkan pertanyaan atau memulai percakapan, sedang Liya diam serasa membeku di tempatnya.
Rila menepikan kendaraan ke lahan parkiran rumah sakit. Dokter yang baru tiba mengenal Rila, menyapa dengan ramah bertanya maksud tujuan. Rila menyahuti dan memaparkan ingin melakukan pemeriksaan kehamilan, dan kebetulan dokter yang menyapanya adalah dokter kandungan.
"Wah, mbak Rila sudah isi" ujar dokter tersebut
"Aamiin buk semoga segera, tapi bukan saya, tapi dia"
"Ooh.. silahkan mbak"
Mereka memasuki rumah sakit mengarah ke ruangan dokter tersebut. Tapi Liya di minta untuk menunggu di luar sebentar, ada yang ingin Rila bahas terlebih dahulu pada sang dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihan
RomanceApa jadinya jika sahabat karib meminta sebuah permintaan tak masuk akal sebagai permintaan terakhirnya. "Aku mohon La, menikah lah dengan ayahku" Itulah kalimat tak masuk akal dari sang kawan yang sudah seperti saudari sendiri. Rila bingung, teramat...