Chapter 5: Batur dan Jodoh

124 7 0
                                    

Bruk! Kurebahkan punggungku pada sandaran jok begitu berhasil memasuki kabin mobil. Jok yang sama dengan yang kutempati ketika berangkat semalam.

"Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Evo yang siap menjalankan mobil. Reno menoleh ke arah kami yang duduk di belakang untuk memastikan.

"Eh tunggu, ada yang ketinggalan!" sahutku. Evo segera mengerem mobil yang baru saja diinjak gasnya. Badanku sedikit terdorong ke depan, begitu juga Mirna yang duduk di sebelahku.

"Aduh!" keluhnya saat kepalanya nyaris terantuk jok depan.

"Apa-an, Mbak?" tanya Reno yang tubuhnya juga sama olengnya denganku.

"Hatiku," jawabku sambil melengkungkan jari-jariku membentuk hati dengan muka sok innocent.

"Kentut kau itu yang ketinggalan!" balas Evo agak gondok. Tak pelak membuat seisi mobil tertawa.

Aku memonyongkan bibir.

"Udah yuk jalan, laper nih!" sahut Mirna kemudian. Ekspresinya agak masam kali ini. Mungkin lelah sedang merajai tubuhnya yang terlihat ringkih.

Mobil kemudian melaju di jalur utama lereng Gunung Batur dan meninggalkan kawasan starting point. Aku membuka sebagian kaca mobil lalu menatap puncak gunung Batur.
Langit cerah membiru dihiasi arakan awan yang mendayu pelan. Puncak Gunung Batur yang menghijau asri itu terlihat begitu menawan. Tak kalah molek dengan pemandangan syahdu sunrise tadi pagi. Pemandangan ufuk timur yang begitu santun mengantarkan pagi dengan rona jingganya.

Kalau saja menuju puncak Batur tak se-drama itu, mungkin aku akan bercita-cita untuk foto prewedding di antara rimbunnya alang-alang liar bersemburat jingga di atas sana.

Ah, sudahlah! Kenapa harus capek-capek memikirkan prewedding segala. Toh yang mau diajak foto prewedding saja masih nihil.

Aku melirik kaca spion tengah. Mata Evo sudah bertengger di sana dan siap beradu denganku. Aku sedikit gelagapan kali ini. Kualihkan pandanganku keluar jendela lagi. Jejak erupsi Gunung Batur yang super dahsyat bertahun-tahun silam itu masih bisa terlihat. Kudekatkan wajahku pada jendela dan membiarkan angin menerpa-nerpa.

Zzztttt! Kaca jendela tiba-tiba menutup. Aku terkesiap dan memundurkan kepalaku seketika. Mata Evo sudah siap menatap spion tengah dengan tawanya yang semringah ketika aku bersiap mengamatinya di spion yang sama.

"Semprul!" gerutuku sambil menghempaskan kepala pada sandaran jok. Lalu memejamkan mata karena rasa kantuk mulai menggelayut.

"Iya, halo Mah!" tiba-tiba suara Evo terdengar nyaring. Membuat mataku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku menegakkan dudukku. Dari belakang, terlihat tangan kirinya baru selesai memasang headset nirkabel agar menempel di telinga kiri. Sementara tangan kanannya masih mengendalikan setir mobil yang tak terlalu laju. Sudah mirip Oppa-Oppa di drama Korea, sih.

Menguping obrolannya dengan seseorang yang dia panggil 'Mamah' itu membuatku cukup takjub. Manusia bawel dan se-jemawa Evo ternyata bisa sedekat itu dengan ibundanya. Kupikir, kebiasaan yang katanya dulu hobi balapan liar sampai babak itu akan membuatnya menjadi anak arogan yang tak memiliki hubungan hangat dengan keluarganya. Ternyata aku salah.

Tapi ini juga tumben. Lima tahun bekerja dengannya, baru kali ini dia menerima telepon dari mamanya di depan kami semua. Biasanya, dia memilih keluar ruangan saat di kantor. Terlebih, mamanya juga sangat jarang menelepon di jam kerja.

"Iya..., iya Mah. Baik-baik aja. Ini Evo baru turun gunung," terang Evo santun.

"Iya Mah, iya—" Kuintip raut wajahnya dari spion tengah, lekuk garis bibirnya begitu semringah.

Aku menoleh ke arah Mirna. Guratan wajah cantik itu menyajikan antusias yang sama cerahnya dengan Evo.

"Iya Mah, Evo pasti pulang kalau sudah ada waktu." Wireless headset yang hanya terpakai sebelah itu masih melekat di telinga kirinya. "Iya Mah, iya—"

Aku meliriknya melalui kaca spion tengah kembali. Lagi-lagi, iris mata Evo menatap ke arah yang sama. "Apa mau sekalian dibawain menantu?" ujarnya sambil cengengesan. Sorot matanya nyaris tak berkedip beradu pandang denganku melalui kaca spion.

Uhuk... uhuk! Mirna terbatuk.

Aku menoleh. "Kenapa, Mir?"

"Nggak apa-apa, Mbak," jawabnya sambil tersipu.

Bawa pulang mantu? Huh! Aku sebal dengan kata-katanya barusan. Ada rasa iri yang tak bisa kupelajari hingga detik ini. Kami dekat, tapi tak pernah ada kata saling cinta di antara kami. Kalau dia mencintaiku, bukankah seharusnya langsung tembak saja? Toh kami bukan baru kenal kemarin sore. Pun kami bukan lagi siswa putih biru yang harus tersipu-sipu dulu.

Namun siapalah aku ini. Berharap memiliki Evo itu seolah semacam bentuk keserakahan dunia akhirat. Dari ujung A sampai Z fisik Evo nyaris tak bisa kukeluhkan, kecuali rambut keriwilnya. Bukan jelek, aku hanya kaum perempuan penyuka rambut lurus.

Tubuhnya yang tinggi  dan berkulit putih serta berhidung mancung itu saja sudah membuatku insecure tujuh turunan lima tanjakan dua belokan. Lah ini segala ditambahi lahir dari keluarga priayi yang notabene "berada". Ditambah lagi dia lima tahun lebih muda dariku. Ah sudahlah, mau dijungkir balik pun kami tetap tidak sebobot, sebibit, sebebet.

Meski begitu, entah kenapa aku kerap merasa bahwa dia adalah sosok pria dewasa yang bahkan lebih tua dariku. Apa itu pertanda dia jodohku? Emang boleh se-enggak tahu diri gitu?

 Apa itu pertanda dia jodohku? Emang boleh se-enggak tahu diri gitu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ramalan JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang