Lalu, tanpa peringatan, dia berhenti dan berbicara dengan nada yang membuat darahku mendidih. "Oh, iya," katanya ringan, seolah-olah dia baru saja mengingat sesuatu yang tak penting. "Kau pasti penasaran, ya, gimana keadaan Rina, istrimu?"
Kata-katanya langsung menarik perhatianku. Nama itu membuat jantungku berhenti sejenak. Rina? pikirku. Apa yang dia lakukan pada Rina? Aku mencoba menggerakkan tubuhku, mencoba bicara, tapi mulutku masih disumpal dan tubuhku masih terkunci pada kursi. Aku memandang Herman dengan penuh waspada, harapan tipis terselip di antara rasa takut dan amarah yang membuncah.
Herman tersenyum lebih lebar saat melihat reaksiku. "Jangan khawatir, Rina baik-baik aja," katanya dengan nada seolah menenangkan, tapi aku tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya. Rasa lega yang sempat terlintas dalam pikiranku cepat menghilang. Dia tidak akan memberitahuku hal itu dengan begitu mudah—pasti ada sesuatu yang lebih gelap di baliknya. Dan benar saja, ekspresi Herman berubah ketika dia berkata dengan nada menyindir, "Saking baiknya, malah dia sedang... melayani lima orang sekaligus sekarang."
Kata-kata itu terasa seperti pukulan yang menghantam dadaku dengan keras. Tubuhku menegang, amarahku memuncak begitu cepat hingga aku merasa kepalaku hampir meledak. Sebelum aku sempat memproses apa yang baru saja dia katakan, Herman menyalakan TV yang berada didepanku. Dia menekan beberapa tombol di remote, lalu menoleh padaku dengan senyum yang lebih jahat.
"Nih, lihat sendiri," katanya sambil mengarahkan layar TV itu semakin dekat ke wajahku. Di sana, tampak sebuah video live dari CCTV, memperlihatkan Rina, istriku, yang tengah berada di sebuah ruangan. Dan benar saja, dia dikelilingi oleh lima orang laki-laki yang... melakukan hal-hal yang tak pernah kuinginkan untuk dilihat. Tubuhku gemetar, mataku terbuka lebar, sulit mempercayai apa yang kulihat.
Aku mencoba mengalihkan pandanganku, ingin menutup mataku untuk menghindari pemandangan mengerikan itu. "HHMPHHH!!! HNNFFF!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya, amarah dan frustasi mengalir deras keluar dari tenggorokanku, tapi lagi-lagi suara itu teredam oleh sumpalan yang mengekang mulutku. Rasa putus asa bercampur dengan amarah yang meluap-luap, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan. Bola yang menekan mulutku mengubah jeritan penuh kebencian menjadi gumaman yang tak berdaya.
Herman, tanpa belas kasihan, mendekatkan TV itu lebih dekat lagi ke wajahku. "Lihat baik-baik, Arani. Kamu nggak mau ketinggalan ini, kan? Istrimu keliatan sangat... menikmati pria-pria itu," ucapnya dengan tawa penuh ejekan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah racun yang menghancurkan pikiranku, membakar hatiku dengan rasa sakit yang luar biasa.
Aku memejamkan mataku, berusaha keras untuk tidak melihat pemandangan itu, tapi Herman dengan cepat menyadari apa yang kulakukan. Dengan kasar, dia memaksa mataku terbuka. "Oh, kau harus lihat ini. Jangan sampai berpaling. Ini penting buatmu."
Tanganku terkunci, kakiku tidak bisa bergerak, dan kini Herman bahkan mengendalikan pandanganku. Aku merasa benar-benar tidak berdaya, amarahku tak bisa dilepaskan, tubuhku tak bisa bergerak, dan yang lebih buruk, pikiranku dihancurkan oleh kenyataan yang dipaksakan oleh Herman—kenyataan di mana aku tidak punya kendali atas apa pun yang terjadi pada orang yang kucintai.
"HHHRRMPPHH!!" Teriakanku semakin tak berarti, bergema di ruangan itu tanpa hasil. Sementara itu, Herman tertawa lebih keras, menikmati setiap reaksi yang aku tunjukkan. "Lihat, Arani, lihat," katanya lagi, kali ini dengan lebih keras, seolah-olah dia sedang mengajari anak kecil yang bandel.
Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hutang
Fiction généraleNamaku Arman, seorang suami yang sangat mencintai istriku, Rina. Hidup kami sederhana di kota kecil yang tenang, dengan impian membuka toko kecil untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika modal menjadi hambatan, kami terpaksa meminjam uang dari...