Chapter 48 - END

26.5K 659 41
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa untuk selalu tekan vote dan ramaikan komentarnya ya🫶🏻

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, saat Galen menghentikan laju Ferrari merahnya di depan mansion besar yang sunyi. Cahaya matahari masih tersembunyi di balik cakrawala, dan udara pagi membawa aroma embun yang dingin.

Kepalanya sedikit pening, sisa dari minuman yang ia teguk tadi malam, namun kesadarannya masih utuh. Tanpa banyak pikir, ia melangkah masuk melewati pintu depan yang megah, menuju ruang tengah yang sepi.

Pandangan pertama yang menyambutnya adalah meja ruang tengah, tempat ia meninggalkan secarik kertas yang menentukan nasib pernikahannya. Surat perceraian dan setangkai mawar merah, simbol cinta yang dulu indah, namun kini nyaris layu. Namun, saat ia mengarahkan pandangannya lebih teliti, benda-benda itu sudah tak ada di sana.

Jantungnya mencelos, diikuti tarikan napas berat. Dia sudah menerimanya, pikir Galen, seraya berusaha menelan pahit kenyataan itu. Mungkin inilah akhir yang seharusnya, meski jauh dari apa yang diinginkannya.

Rasa haus tiba-tiba menyeruak, alkohol yang masih membekas di kerongkongannya mendorongnya menuju dapur untuk mencari segelas air. Namun langkahnya terhenti mendadak ketika matanya menangkap sesuatu yang tak seharusnya ada di tong sampah. Ia mendekat, meraih benda itu, selembar kertas yang robek dan saat ia melihat lebih dekat, darahnya seperti berhenti mengalir.

Surat cerai. Robek menjadi dua bagian, tanpa tanda tangan. Ainsley belum menandatanganinya.

Jantungnya berdegup semakin kencang. "Dia... dia tak menandatanganinya," desisnya. Ada harapan yang tumbuh di hatinya, sekuat tenaga ia berlari menuju kamar, pikirannya dipenuhi satu nama.

"Ainsley!" panggilnya keras ketika ia membuka pintu kamar dengan cepat. Namun yang ia temukan hanya kekosongan. Tak ada sosok yang ia cari. Kamar itu terasa begitu hampa, dan hatinya yang tadinya sempat terisi harapan kini kembali ditelan kekhawatiran.

Tangannya menggenggam erat potongan surat cerai yang masih ia bawa, napasnya memburu, dadanya naik-turun dengan cepat. Ia menoleh ke arah lemari pakaian, membuka pintunya dengan harapan menemukan bukti bahwa Ainsley masih ada di sana.

Tapi lemari itu kosong. Semua pakaian milik Ainsley telah lenyap, hanya tersisa beberapa pakaian miliknya sendiri. Dengan cepat, Galen sadar apa yang sebenarnya terjadi. Ainsley tidak menandatangani surat cerai itu bukan karena dia memutuskan untuk bertahan.

Dia memilih untuk pergi. Meninggalkannya.

Dan kali ini, tanpa kata perpisahan.

Langkah kaki berat terdengar mendekat dari belakang, membuat Galen tersadar dari lamunannya. Seorang pria tua dengan postur tegap, mengenakan setelan pelayan yang rapi, berhenti di depannya. Kepala pelayan itu bukan hanya seorang pelayan biasa, dia telah mengasuh Galen sejak kecil, lebih seperti seorang ayah kedua.

"Ayahmu datang," ucap pria itu dengan nada rendah, namun cukup untuk menghentikan detak jantung Galen sejenak.

Galen menoleh dengan cepat, ekspresi wajahnya penuh tanda tanya dan kegelisahan.

"Dia membawa istrimu," lanjut kepala pelayan itu, matanya menyiratkan keprihatinan yang dalam.

"Kemana?" tanya Galen, suaranya mulai bergetar, mencerminkan ketakutan yang menyesakkan dadanya.

Pria tua itu menghela napas sebelum menjawab dengan tenang, "Mereka pergi sekitar pukul sembilan malam."

Tanpa berpikir panjang, Galen langsung bergerak. Tubuhnya terasa seperti dibakar oleh kecemasan yang tiba-tiba meluap. Ia melewati kepala pelayan itu, keluar dari kamarnya dengan langkah tergesa, menuruni tangga dengan kecepatan yang hampir membutakan. Jantungnya berdentam, seolah setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang makin menjauh.

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang