0024 - Harga Sebuah Pengkhianatan

21 3 0
                                    

Yang satu menangkap tengkuk si Bungsu, yang satu lagi memegang ta­ngannya. Si Bungsu menghantamkan sa­murainya yang masih bersarung itu. Kayu samurai tersebut menghantam leher dan kepala lelaki itu dengan keras.

Kedua lelaki itu terpekik. Tapi mereka segera maju lagi dengan berang. Namun itu sudah cukup. Si Bungsu melihat dua orang lelaki lainnya berjalan ke kamarnya. Ke kamar dimana Mei - mei berada. Kedua lelaki itu berhenti sedepa di depan si Bungsu.

Sebuah kilatan cahaya putih yang amat cepat menahan gerakkan mereka. Mereka tertahan karena tiba – tiba saja setelah kilat cahaya yang amat cepat itu, mereka merasakan dada amat pedih. Ketika mereka lihat, pakaian mereka telah robek lebar dari pundak ke perut.

Dari balik pakaian yang robek seperti disa­yat pisau silet itu, merangeh darah segar. Mereka memang tidak rubuh. Karena si Bungsu hanya sekedar melukai mereka saja.

"Hari telah larut malam. Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya harap jangan menganggu kami..." si Bungsu berkata datar. Sementara samurainya telah masuk ke sarungnya kembali.

Namun kedua lelaki yang tadi berjalan ke kamar dimana Mei – mei berada, dalam sekali dobrak berhasil menghantam pintu. Kemudian terdengar pekikan Mei – mei.

Si Bungsu bergerak ke kamarnya. Namun datuk yang tak diketahui namanya itu menghadangnya bersama empat temannya yang lain.

Saat itu kedua lelaki yang masuk kamar tadi muncul de­ngan bungkusan mereka dan Mei – mei dalam ringkusan tangannya. Nyata sekali gadis itu mende­rita akibat cengkeraman tangan orang yang meme­gang bahunya.

"Koko..." panggilnya di antara rintihan dan air mata yang mengalir turun.

Melihat hal ini, si Bungsu menatap Datuk bersungut itu dengan kemarahan besar. Datuk itu dapat membaca kemarahan itu. Dia menyeringai dan berkata.

"Hee.. waang beruntung buyung, bisa berbini Cina. Tentu sedap bukan? He.. he.. saya juga ingin mengi­coksedikit. Kau boleh menonton..."

Habis berkata begini datuk buruk ini berbalik. Menarik tangan Mei – mei. Wajah si Bungsu menegang. Dia sebenarnya tak ingin menurunkan tangan kejam lagi pada bangsanya sendiri.

Dia tak bisa menghitung sudah berapa banyak nyawa yang dia renggutkan lewat samurainya. Namun dari sebanyak itu korban, baru dua orang Minang yang jadi korban. Yaitu Baribeh dan si Juling yang dia bunuh bersama si babah, mata – mata itu.

Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata – matai perjuangan bangsanya sendiri. Bekerja untuk Cina yang jadi mata – mata Jepang. Cina yang menjadi mata-mata Komunis. Tapi kini nampaknya dia terpaksa menurunkan tangan kejam lagi.

Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina. Tapi ketika si datuk kalera itu me­robek baju Mei – mei, gadis itu terpekik. Saat itu pula sa­murainya di tangannya bekerja.

Tiga lelaki yang tegak tak jauh darinya, yang tadi ikut bersamanya dalam bus dan berusaha merampok mereka, terpekik dan rubuh dengan dada belah. Mati. Datuk itu tertegun. Teman – temannya yang lain kaget.

"Ohooo.. jual lagak waang pada saya ya? Waang sangka saya takut dengan permainan samurai waang itu he...!"

Sehabis ucapannya, tangannya bergerak menyen­tak kain Mei – mei. Pakaian gadis itu robek lebar. De­ngan jahanam sekali tangan datuk itu meremas dada gadis itu. Mei – mei terpekik.

Dengan cepat se­telah gerakannya, datuk itu berbalik menerjang ke arah si Bungsu. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Mulai dari menyobek baju hingga menyerang, hanya berlalu beberapa detik.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang