0025 - Misteri Kusir Silat

21 3 0
                                    

Dahulu waktu kecil, dia pernah tinggal di Bukittinggi ini. Tapi saat itu dia masih kecil, kemudian si Babah, ayah tirinya itu, membawa mereka pindah ke Payakumbuh. Waktu kecil itu, dia tak pernah sampai kemari. Paling – paling hanya ke rumah tetangga di Kampungcina.

Tiba – tiba bendi itu berhenti. Kusir itu berseru. Kemudian dia berjalan ke belakang. Ke tempat si Bungsu dan Mei – mei duduk.

"Mari kutolong menurunkannya..." kata kusir tua itu lagi sambil memegang tangan si Bungsu.

Tiba – tiba, dalam gerakannya yang amat cepat tubuh si Bungsu telah berada di bahunya. Pintu pondok terbuka. Seorang perempuan separoh baya muncul dengan lampu togok di tangannya.

Mei – mei turun dari bendi kemudian lambat – lambat melangkah mengikuti kusir itu. Masuk ke pondok. Perempuan se­paroh baya itu tertegun menatap Mei – mei. Tapi ha­nya sebentar. Kemudian menghindar dari pintu memberi jalan pada Mei – mei.

"Masuklah..." katanya lembut.

Mei – mei melangkah masuk. Pondok itu cukup besar. Berdinding bambu, berlantai tanah beratap rumbia. Seorang anak perempuan muncul. Barangkali usianya sekitar dua belas tahun. Namun tubuhnya kelihatan segar.

Kusir bendi itu meletakkan tubuh si Bungsu di sebuah kamar di atas balai – balai bambu. Mei – mei tegak di sisi pembaringan.

"Biarkan dia tidur..." kata kusir itu sambil melangkah keluar kamar.

Kemudian pada isterinya dia berkata untuk membuat kopi. Mei – mei duduk termenung di tepi pembaringan dekat tubuh si Bungsu. Anak muda itu tergolek tak sadar diri. Mei – mei meraba wajahnya. Terasa di­ngin dan berpeluh. Dia tegak dan berjalan ke pintu.

"Pak, dia berpeluh dan tubuhnya dingin..." ka­tanya pada kusir yang tengah membuka kekang kudanya.

"Biarkan saja. Dia takkan apa – apa. Dia memiliki tubuh yang kuat. Sebentar lagi dia akan sembuh. Nona istirahatlah di dalam..." ujar kusir itu.

Ucapannya terdengar ramah dan sangat bersahabat. Kekawatiran yang sejak tadi bersarang di hati Mei – mei lenyap ketika mendengar suara kusir itu. Dia lalu berbalik ke kamar. Duduk di sebuah bangku kecil dekat dinding. Menatap diam – diam pada si Bungsu yang masih saja tak sadar. Tak lama kemudian, terdengar orang azan di kejauhan. Kusir itu sembahyang Subuh dengan isteri dan anak gadis kecil­nya.

Tak selang berapa lama setelah sembahyang Su­buh itu, Mei – mei mendengar suara orang datang. Mei – mei mendengar kusir itu pergi keluar. Kemudian sepi. Tapi ha­nya sebentar. Tak lama antaranya, dia dengar suara tanah berdentam dan suara seperti orang berkelahi.

Mei – mei tertegak. Siapa orang yang baru datang itu? Dia tegak dan berjalan ke tempat tidur dimana si Bungsu masih terbaring. Dia ingin memba­ngunkan anak muda itu. Tapi dia tak sampai hati. Anak muda itu tidak tidur. Tapi tak sadar karena letih dikeroyok malam tadi. Kini dia nampaknya terba­ring diam.

Suara perkelahian di luar masih terde­ngar. Dengan perlahan Mei – mei berjalan ke jendela kecil. Dari lobang yang terdapat di pinggir jendela, Mei – mei mengintip keluar. Di luar sana, dalam cahaya su­buh, dia lihat orang tua tadi yang jadi kusir bendi yang mereka tumpangi itu, sedang berkelahi dengan seorang anak muda.

Anak muda itu kelihatan amat gesit. Namun kusir itu juga gesit. Tubuh tuanya yang malam tadi dibungkus dengan kain dan sebuah sebo, kini kelihatan terbuka. Hanya memakai celana panjang hitam tanpa baju. Tubuhnya kelihatan biasa saja, namun di balik tubuh yang biasa itu jelas terbaca te­naga yang tangguh.

"Nah, selesai... "

Tiba – tiba Mei – mei mendengar suara. Ketika dia perhatikan, anak muda itu tertangkap tangannya. Terkunci di antara kepitan kusir itu.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang