JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YAH
SUPPORT ME
.
.
Beberapa hari berlalu, interaksi antara Raka dan Lana semakin sering terjadi, bukan hanya saat kegiatan PIK R. Kini, setiap kali Raka bertemu Lana di mana pun, senyum yang Lana nantikan selalu hadir. Bukan hanya sekali, bahkan bisa lebih dari satu kali dalam sehari.
Hal ini jelas membuat Lana sangat bahagia. Bagaimana tidak? Sesuatu yang selama ini hanya dia harapkan, kini terjadi. Meskipun terlihat sederhana—hanya sebuah senyuman—tetapi karena itu datang dari Raka, semuanya terasa lebih istimewa. Setiap kali Raka lewat di dekatnya, entah mereka bertatap mata atau tidak, Raka selalu memanggil namanya, "Lanaaa..." dengan suara serak dan dalam yang selalu menghangatkan hati Lana. Seakan semua beban yang Lana bawa dari rumah hilang seketika.
Lana mulai mendambakan lebih banyak kesempatan bersama Raka, meski dia sadar harus menjaga batasan dan ritme agar tidak membuat Raka risih. Namun, dia tak bisa menyangkal rasa syukurnya. Raka ternyata jauh lebih mudah didekati dibanding bayangannya dulu. Sekadar sapaan rutin dari Raka, cukup untuk memberi warna baru dalam hari-harinya di sekolah.
Di sisi lain, bagaimana dengan Raka? Beberapa hari terakhir, dia merasa terhubung dengan Lana, anggota PIK R kelas 7 yang menurutnya paling aktif dan karna itu Raka awalnya mendekati Lana sebagai ketua yang ingin membangun hubungan baik dengan anggota nya yang paling antusias itu. Namun, seiring berjalannya waktu, dia menemukan sisi lain Lana yang membuatnya tak keberatan untuk terus berinteraksi, bahkan di luar urusan PIK R.
Tio, sahabat dekat Raka, tak pernah luput memperhatikan perubahan ini. Awalnya, Lana adalah seseorang yang membuat Raka risih. Tapi sekarang? Tio melihat Raka memberikan senyum terbaiknya untuk Lana, dan tak hanya Raka yang menyadari komunikasi yang semakin intens itu. Tio, yang terus mengamati, mulai penasaran dan bahagia sekaligus. Dia tahu bahwa sahabatnya yang sudah lama kehilangan keceriaan itu kini mulai kembali seperti dulu.
Pada suatu sore di rumah Raka, saat mereka sedang duduk bersama, Tio akhirnya tak tahan untuk bertanya.
"Rak, seneng banget gue lihat lu bisa senyum secerah ini lagi. Sadar nggak, lu udah jarang senyum sebahagia ini belakangan?" tanya Tio tiba-tiba.
"Apaan sih? Gue biasa aja senyum, ngawur dah," jawab Raka santai.
"Yaelah, Raka. Lu paham kan maksud gue?"
Raka tertawa kecil. "Mana gue tau. Mungkin lu baru sadar betapa menawannya senyum gue, hahaha."
"Lana, kan?" Tio menyelidik.
"Kenapa Lana?" balas Raka.
"Semenjak lu dekat sama dia, apalagi tiap kali ketemu di sekolah, senyum lu beda, Rak. Kaya orang yang gak punya masalah, sumpah. Kayak Raka yang ceria dulu balik lagi. Lu gak ngerasa?"
Raka terdiam, sedikit berpikir, tapi tetap dengan wajah santai. "Ah, nggak lah, Tio. Itu cuma perasaan lu aja. Biasa aja kok."
Tio menggeleng, tak yakin. "Lu belum sadar kali. Coba deh pikirin lagi baik-baik, Rak."
Raka mengangguk santai. "Emang gue segitunya ya, Yo?"
Tio menatap sahabatnya. "Lu yang tau, Rak. Tapi menurut gue, semenjak masalah terakhir itu... meskipun lu senyum, gue tau itu gak beneran. Tapi setelah lu kenal Lana, senyum lu balik lagi. Serius, gue nggak bohong. Masa sih lu nggak ngerasa?"
Ucapan Tio membuat Raka tersenyum tipis. "Selama ini gue biasa aja sama Lana. Paling bahas drama Korea, gue suka becandain dia karena mukanya lucu kalo lagi salting. Kita ngobrol soal PIK R, OSIS, hal-hal kayak gitu doang. Mungkin anaknya memang positif, jadi gue kebawa kali, makanya lu ngeliat gue gitu," jawab Raka berusaha memahami.
KAMU SEDANG MEMBACA
My First Butterfly
Non-FictionCinta pertama? entahlah... cinta mungkin terlalu berat untuk rasa yang begitu sederhana seperti kupu-kupu yang terbang dengan indah meskipun ia tidak tau akan kemana. Aku jatuh padamu dengan sederhana tanpa aku tau semua akan jadi serumit ini. meski...