"Lo daritadi belum jawab pertanyaan gue, Ga." Rani sedikit berteriak, suaranya terangkat di atas deru angin malam yang menyapu wajah mereka. Dia duduk di belakang, tangannya erat memegang pinggang Arga dengan rasa kesal pada cowok di hadapannya ini.
Arga menghela napas panjang, matanya tetap fokus pada jalan di depan. "Udah dibilangin nanti di rumah, anjirrr, Ran," suaranya terdengar sedikit lebih keras dari biasanya supaya bisa terdengar jelas. Motor terus melaju, melewati lampu jalan yang redup, bayang-bayang mereka memanjang di aspal.
Rani mengernyit, tatapannya menusuk punggung Arga. "Kenapa nggak sekarang? Gue penasaran, sialan." Dia terdengar lebih tenang sekarang, meskipun hatinya masih sangat kesal.
Arga mendesah, tangannya menggenggam erat stang motor. "Gue lagi nyetir, Ran. Lo pengen gue jawab sekarang terus kita kecelakaan, gitu?"
Rani memutar matanya, "apa sih alay banget!" Dia tahu Arga selalu seperti ini-menghindar saat dia mengajukan pertanyaan serius. Malam semakin dingin, tapi hatinya terasa panas karena frustrasi.
"Tinggal jawab aja, lo tiga hari ini dari mana aja? Udah jawab, selesai."
"Sabar anjir." Motor akhirnya berhenti di depan rumah Rani. Rani langsung turun dari motor, melepas helmnya dengan gerakan cepat dan menatap Arga dengan tatapan penuh harap. "Sekarang kita udah sampai. Jadi, lo bisa jelasin kenapa lo tiba-tiba jadi susah dihubungi belakangan ini?"
Arga menatap Rani sejenak sebelum mematikan mesin motor. Dia turun dengan pelan, mengambil napas dalam-dalam seakan menyiapkan dirinya. "Masuk dulu, Ran. Gue nggak mau ngomong di sini."
Rani terdiam sebentar, ingin sekali memaksa jawabannya sekarang, tapi akhirnya dia mengangguk, meski hatinya masih bergejolak. "Masuk rumah gue?" Tanyanya dengan bingung.
"Rumah hantu!"
"Yaudah, ayo."
Mereka memasuki rumah Rani dengan Rani yang menarik tangan Arga-takut cowok itu pergi dan tidak menjelaskan apa-apa.
"Lo sepanik ini gue nggak ada kabar tiga hari doang?" Tanya Arga yang sudah menjatuhkan dirinya di sofa.
Rani menghempaskan kasar tangan Arga, "ga jelas lo! Cuma lo teman gue di sini sialan, kalo lo nggak ada gua gak ada teman, ortu gue di luar kota, ortu lo juga ada dinas! Gue gamau ya, kalau nanti nyokap lo datang terus dia nanya-nanya anaknya kemana,"
"Kan gue yang repot kalau ikut nyari lo yang hilang udah tiga hari."
Arga tertawa kecil melihat Rani mengomelinya seperti seorang adik kecilnya. Lalu Arga meliriknya dengan tatapan santai, meski dia tahu Rani serius. "Tenang, Ran. Gue nggak akan hilang tanpa jejak. Lagian, tiga hari nggak seberapa."
Rani mendesah panjang, emosinya belum mereda. "Tiga hari, Ga, tiga hari!" Kata Rani sambil mengajukan ketiga jarinya di depan muka Arga yang menatapnya yang marah-marah itu.
Arga tersenyum tengil sambil menurunkan tangan Rani. "Tiga hari doang, Ran. Lebay banget lo," katanya dengan nada menggoda, matanya memandang Rani yang masih memasang wajah marah.
Rani menatap Arga tajam, "kemana lo?"
"Healing."
"Gaya-gayaan healing healing." Balas Rani.
Arga tertawa kecil, jelas menikmati kekesalan Rani. "Halah, Ran. Lo kayak nyokap gue aja, ngatur-ngatur gue. Apa lo diam-diam naksir gue, nih?" ucapnya sambil menaikkan alis dengan gaya usil.
Tangan Rani terangkat lagi dan langsung menjambak rambut Arga. "Naksir modelan upil kuda kayak lo? Najis!" Katanya menoyor kepala Arga.
Arga meringis sambil tertawa, tangannya refleks mengusap bagian kepala yang ditoyor oleh Rani. "Aduh, sakit tau! Nggak usah kasar gitu, dong, Ran. Kalo upil kuda, ya masa lo repot-repot nyari gue tiga hari kemarin? Hmmm?" godanya sambil mengerling ke arah Rani, ekspresinya tetap usil.