Langit di atas sekolah mendung lagi, seakan mencerminkan perasaan Keyra yang bercampur aduk. Sudah hampir dua minggu sejak percakapan terakhirnya dengan Iras, dan selama itu pula tidak banyak yang berubah. Iras tetap tenang, kadang bahkan terlalu tenang, seolah sedang menjaga jarak yang tak terlihat. Keyra berusaha tetap sabar, namun semakin lama, semakin sulit menahan rasa frustrasinya.
Hari itu, hujan deras turun tepat saat bel pulang berbunyi. Para murid berlarian menuju gerbang, mencoba menghindari hujan, sementara Keyra duduk di depan kelas, menunggu reda. Iras baru saja menghilang entah ke mana, dan Keyra sudah terbiasa dengan hilangnya tiba-tiba seperti itu. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa hilang dari hatinya, sebuah kekosongan yang semakin hari semakin besar.
Setelah menunggu beberapa saat, Key memutuskan untuk pulang meski hujan belum sepenuhnya reda. Ia menarik tudung jaketnya dan berjalan keluar gerbang sekolah. Jalanan licin, dan tetesan hujan jatuh dengan ritme yang tak beraturan di sekitar kakinya. Namun, di tengah hujan, langkah Iras yang tiba-tiba mendekat mengejutkannya.
"Key!" Iras memanggil, suaranya sedikit teredam oleh suara hujan.
Keyra menoleh cepat, terkejut melihat Iras berdiri di sana, basah kuyup tanpa payung. Rambutnya yang biasanya rapi kini menempel di dahinya, dan wajahnya tampak lebih kusut dari biasanya.
"Lo kemana aja?" tanya Keyra, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Iras tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Keyra dalam-dalam, seolah ada sesuatu yang ingin diucapkan namun tertahan di bibirnya. Setelah beberapa saat, Iras akhirnya bersuara. "Gue nyariin lo."
Keyra terdiam, merasa bingung. "Nyariin gue? Buat apa?"
Iras menunduk, seakan sedang mencari kata-kata yang tepat. "Gue cuma... gue pengen lo tahu kalau gue hargain apa yang lo lakuin buat gue selama ini."
Hujan semakin deras, tapi Keyra tak peduli. Ada sesuatu dalam nada bicara Iras yang membuat hatinya berdebar. "Maksud lo?"
"Gue tahu gue bukan orang yang gampang buat dideketin. Gue tahu gue sering banget ngejauh tanpa alasan jelas," lanjut Iras, suaranya serak. "Tapi itu bukan karena lo, Keyra. Itu karena gue... gue masih belajar gimana caranya ngandelin orang lain."
Keyra tak tahu harus berkata apa. Selama ini, ia sudah sering membayangkan momen di mana Iras akhirnya membuka diri, tapi saat itu tiba, kata-kata justru terasa menghilang dari pikirannya.
"Kenapa lo nggak pernah cerita?" tanya Keyra pelan. "Kenapa lo selalu nyimpen semuanya sendiri?"
Iras menghela napas panjang, dan air hujan membasahi wajahnya semakin deras. "Karena gue takut."
"Takut apa?"
"Takut kehilangan," jawab Iras dengan suara rendah. "Semakin gue dekat sama orang, semakin gue takut bakal kehilangan mereka."
Keyra terkejut mendengar pengakuan itu. Ia tak pernah membayangkan bahwa ketakutan terbesar Iras adalah hal yang sama yang selama ini ia rasakan juga, takut kehilangan seseorang yang berarti.
"Iras, lo nggak bakal kehilangan gue," ucap Keyra dengan tegas. "Gue di sini, dan gue nggak bakal ninggalin lo."
Iras menatap Keyra dengan mata yang tiba-tiba tampak lebih lembut, meskipun hujan deras terus membasahi wajah mereka. Untuk pertama kalinya, Keyra merasa bahwa tembok yang selama ini dibangun Iras mulai runtuh, meski perlahan.
"Thanks, Key," kata Iras, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan. "Gue nggak janji gue bakal berubah cepat. Tapi gue akan coba."
Keyra tersenyum, merasa lega untuk pertama kalinya setelah sekian lama. "Itu udah lebih dari cukup buat gue."
Mereka berdiri di sana, di tengah hujan yang semakin deras, tanpa payung dan tanpa peduli. Di antara dinginnya hujan, ada kehangatan yang perlahan tumbuh, sebuah harapan baru di antara jarak yang akhirnya mulai memudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGURAI RASA
Ficção Adolescentetentang hubungan antara Keyra dan Iras, dua orang yang memiliki ketakutan dan keraguan besar. Iras, yang takut membuka diri karena masa lalunya, perlahan mulai belajar untuk mempercayai Keyra. Keyra, dengan sabar dan peduli, berusaha untuk tetap di...