BAYANG BAYANG MASA LALU

6 1 0
                                    

Minggu-minggu berlalu sejak percakapan sore di bawah pohon besar itu. Keyra dan Iras semakin sering menghabiskan waktu bersama. Meski begitu, ada saat-saat di mana Keyra merasakan dinding tak terlihat yang masih mengelilingi Iras. Namun, Keyra sudah terbiasa dengan ritme Iras yang kadang lambat dan penuh keraguan. Baginya, kedekatan itu adalah perjalanan yang layak ditunggu.

Suatu hari, saat matahari terbenam mulai mewarnai langit dengan semburat oranye, Keyra dan Iras berjalan bersama pulang sekolah. Jalanan sepi, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di antara deretan pohon pinggir jalan. Iras tampak lebih diam dari biasanya, wajahnya serius memandang ke depan tanpa banyak bicara.

Keyra bisa merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah perubahan halus namun nyata. Mereka berhenti di sebuah taman kecil yang sepi, duduk di bangku kayu di bawah pohon yang rindang. Key, yang selama ini selalu menjadi pendengar, merasa ini adalah waktu untuk bertanya lebih dalam.

“Ada yang lo pikirin, Ras?” tanya Keyra lembut, memecah keheningan.

Iras menoleh sebentar, kemudian menarik napas panjang. “Masa lalu gue... kadang masih ngebayangin. Kayak... gue nggak pernah benar-benar bisa lepas dari itu.”

Keyra terdiam sejenak, memberi ruang bagi Iras untuk melanjutkan. Ia tahu bahwa Iras tidak mudah terbuka, jadi setiap kata yang keluar dari mulutnya memiliki beban tersendiri.

“Gue selalu ngerasa kalau gue deket sama orang, ujung-ujungnya mereka bakal pergi. Gue udah ngalamin itu berkali-kali. Dari kecil, pindah sekolah, pindah kota, pisah sama teman, bahkan keluarga... semua selalu sementara. Gue nggak pernah punya tempat atau orang yang tetap,” kata Iras pelan, suaranya terdengar getir.

Keyra memandang Iras dengan empati. Baginya, cerita itu memberikan lebih banyak konteks tentang mengapa Iras begitu tertutup dan sulit percaya. Key bisa membayangkan betapa sulitnya bagi Iras untuk merasa stabil dalam hubungan apa pun.

“Apa lo ngerasa itu bakal terjadi juga sekarang?” tanya Keyra, sedikit khawatir.

Iras tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan. “Gue nggak tahu. Gue selalu takut akan hal itu. Gue selalu mikir, kapan lo bakal bosen atau kapan kita bakal berhenti kayak orang-orang lain yang gue kenal.”

Keyra menggeleng pelan. “Lo nggak bisa terus-terusan mikir begitu, Ras. Gue di sini, dan gue nggak punya rencana buat ninggalin lo. Lo nggak bisa ngegantungin semuanya pada ketakutan masa lalu.”

Iras memalingkan wajahnya, mencoba menutupi perasaan yang mulai memuncak. “Kadang gue benci diri gue sendiri karena selalu mikir yang jelek. Gue tau lo nggak salah. Tapi pikiran itu... susah banget buat hilang.”

Keyra mencondongkan tubuhnya, mencoba menarik perhatian Iras. “Lo nggak sendirian, Ras. Lo nggak perlu ngelawan semuanya sendiri. Kalau lo ngerasa berat, kasih tau gue. Kita bisa jalanin ini bareng-bareng.”

Iras diam sejenak, menunduk sambil memainkan ujung jaketnya. Ada keheningan panjang di antara mereka. Namun, kali ini, keheningan itu berbeda. Seolah-olah Iras sedang bertarung dengan dirinya sendiri, mencoba meruntuhkan dinding yang selama ini ia bangun.

“Key,” Iras akhirnya berbicara dengan suara pelan, “Lo percaya sama gue?”

Keyra tersenyum, meski matanya serius. “Gue percaya. Karena gue tau lo juga berusaha. Itu yang paling penting buat gue.”

Iras mengangkat pandangannya, menatap Keyra dalam-dalam. Di balik tatapan tenangnya, Keyra bisa melihat ada banyak perasaan yang bergejolak. Tanpa banyak bicara, Keyra tahu bahwa Iras sedang berada di titik di mana ia harus memutuskan: membiarkan masa lalunya terus menghantui, atau mulai bergerak maju.

“Gue nggak janji bisa berubah total dalam waktu singkat,” kata Iras akhirnya. “Tapi gue janji akan coba. Gue janji buat ngelawan rasa takut gue.”

Keyra lagi lagi merasa hatinya hangat mendengar janji itu. Ia tahu betapa beratnya bagi Iras untuk mengatakannya, dan itu adalah langkah besar. “Itu udah lebih dari cukup buat gue, Ras.”

Mereka duduk di sana, membiarkan angin sore menyapu lembut wajah mereka. Langit yang tadinya oranye perlahan berubah menjadi gelap, dan lampu-lampu taman mulai menyala. Dalam hati, Keyra merasa bahwa perjalanan mereka belum selesai. Masih ada banyak hal yang harus dihadapi, banyak ketakutan yang harus dikalahkan, terutama bagi Iras.

Namun, Keyra percaya bahwa langkah awal ini adalah kunci. Selama mereka saling percaya, selama Iras mau berusaha, mereka akan mampu menghadapi apa pun yang datang. Dan Keyra, yang selalu sabar menunggu, tahu bahwa tidak ada yang sia-sia dari menunggu seseorang yang berusaha untuk berubah.

Di bawah langit malam yang mulai gelap, mereka berdua merasa lebih terhubung daripada sebelumnya. Iras, yang masih dibayangi masa lalunya, akhirnya mulai menerima bahwa ada harapan di masa depan. Dan Keyra, yang dengan teguh berdiri di sampingnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang, selama mereka berjalan bersama.


Makasi sudah membaca, aku harap kalian ga bosen yaa💓
insyaallah aku bakal up terus-!
jangan lupa vote, love u all

MENGURAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang