chapter 2 : pov Kartika dan Alditya

15 2 0
                                    

"Ibu diem aja! Diem terus! Ayah sampe bisa selingkuh terus punya anak dari perempuan lain karena ibu diem doang!"

Kartika terus menarik nafas ketika Alditya berteriak menyuarakan kekesalan padanya. Dia akui tidak ada yang bisa dia lakukan.

"Ibu diam bukan berarti ibu ngga ngelakuin apa-apa, Ditya!"

"Ya terus tadi itu apa, Bu? Didepan ibu Freya hampir ditampar terus ibu cuma liatin doang!"

"Karena itulah ibu diam, Ditya! Kalau ada yang mencegah ayahmu dia bisa memperlakukan Freya lebih buruk dan itu yang kamu lakukan! Sekarang, ibu tidak tau apa yang sedang Freya alami sekarang!"

Mendengarnya, Alditya terdiam.

"Kalau saja tadi kamu biarkan ibu yang mengatasinya. Freya bisa saja menginap dirumah ini sekarang!" Tegas Kartika lagi kali ini dengan nada bicara yang tersengar frustasi.

"Ibu yang hidup sama ayahmu puluhan tahun. Ibu lebih kenal dia daripada kamu atau adikmu. Ibu pun hanya ingin melindungi kalian berdua" lirih Kartika yang terdengar putus asa.

"Ayah selingkuh kan, Bu? Iya kan?!" Desak Alditya yang memang dia dan Freya sampai saat ini tidak tau alasan perceraian kedua orang tua mereka.

"Kamu atau Freya tidak perlu tau" Kartika berjalan mendekat pada Alditya lalu berkata dengan nada penekanan, "Kamu atau Freya tidak perlu tau alasan perceraian ibu dan ayah. Berhenti menanyakannya, Ditya!"

Kartika kemudian menjauh dan memilih untuk masuk ke kamar pribadinya. Dia menangis dalam diam sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Sakit. Teramat sakit. Kartika tidak pernah tau keadaan bisa seburuk ini.

Kartika terus menahan tangisnya walau sebenarnya dia ingin berteriak. Setelah lepas dari suaminya pun rasanya masih tetap sakit.

"Ibu tidak pernah inginkan ini semua. Ibu sayang Alditya. Ibu sayang Freya" lirih Kartika dalam hati.

Kesedihannya terhenti saat ponsel lipatnya yang berada diatas kasur bergetar. Kartika dengan malas menjawab panggilan video itu dengan mode speaker sambil menghapus air matanya.

"Aku telfon dari tadi ngga ada jawaban. Kamu sama anak-anak baik aja kan?" Tanya Rio, suami kedua Kartika yang saat ini masih berada diluar kota untuk urusan pekerjaan.

"Tadi Mahardika kesini jemput Freya. Dia teriak panggil-panggil Freya hampir juga Freya kena tampar sama dia"

"Kamu yakin ini gapapa? Itu udah termasuk kekerasan"

"Mahardika itu semakin dilawan dia semakin bisa berbuat lebih buruk. Kasihan Freya kalau kena imbasnya. Aku juga lagi mikirin cara biar Freya hak asuhnya pindah ke aku"

"Kapanpun kamu butuh bantuan aku siap"

"Hm. Makasih, ya. Kamu udah nerima aku dan sayang sama anak-anak"

"Iya. Sama-sama. Aku pulang besok. Sampe ketemu dirumah"

Interaksi antara Kartika dan Rio itu mampu didengar oleh Alditya yang berdiri didepan pintu. Dia bersyukur ibunya menemukan pria yang tepat. Alditya pun tau kalau ibunya dan ayah tirinya tidak berencana memiliki keturunan kalau Alditya atau Freya belum menerima kondisi ini.

Sungguh berbeda dengan ayahnya.

Alditya semakin yakin kalau ibunya hanyalah perempuan yang tersakiti. Seorang ibu yang perasaannya sudah terluka. Seorang istri yang sudah mati rasa hingga dia sebenarnya juga butuh dilindungi oleh seseorang.

Malam lebih larut tapi Alditya belum bisa tertidur. Alditya memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia menyalakan motor lalu menuju rumah ayahnya. Rumah masa kecilnya yang sekarang dalam
Pandangan Alditya, rumah itu sudah sangat kotor.

Alditya menatap gerbang besar itu sejenak. Dia menekan bel yang ada digerbang dan berharap Freya yang menjawab bel tersebut.

"Ditya" panggilan lembut itu justru datang dari Sarah, istri ayahnya sekaligus ibu tirinya.

"Buka gerbang. Saya mau ketemu Freya!"

Sarah melakukan yang Alditya minta. Dia memanggil Bibi untuk membantu Alditya masuk.

"Freya! Frey! Freya, ini kakak!" Teriak Alditya saat kedua kakinya sudah menginjak lantai ruang tamu.

"Adikmu sedang belajar" jawab Mahardika dari tangga lantai dua.

Alditya menggeleng mendengarnya, "Dari kecil ayah maksa Freya untuk belajar terus-terusan. Freya juga manusia, Yah!"

"Kamu, Alvin, Freya! Semuanya anak ayah. Ayah harus mendidik kalian agar bisa menjadi penerus keluarga!"

"Alditya ngga butuh semua ini! Freya juga ngga butuh! Yang butuh semua harta ayah itu wanita sialan itu dan anak-anaknya! Ayah pikir kenapa mereka datang ke rumah? Hah? Demi warisan!! Demi uang ayah!!"

Ucapan Alditya tidak bisa dibiarkan. Mahardika melangkah cepat lalu menerjang putra sulungnya. Tanpa ampun, ia memukul wajah tampan yang diwariskan olehnya sendiri tanpa ampun. Luka yang mengeluarkan darah itu seketika mewarnai wajah Alditya.

Alditya bukan tidak bisa melawan. Tapi sejak kecil Alditya sudah belajar karate dari ayahnya. Jadi wajar jika semua gerakan Alditya bisa terbaca oleh Mahardika.

"Kamu harusnya berfikir dua kali untuk melawan ayah. Menurutmu kenapa ayah merelakan hak asuhmu kepada ibu, Ditya? Karena sifatmu sama dengannya. Kau selalu melawan ayah! Kau tidak pernah patuh pada ayah dan selalu kabur setiap ada masalah! Kau pengecut seperti ibumu!"

Kali ini Alditya marah. Dia langsung menendang dagu Mahardika dengan kaki kanannya.

"Ayah hidup sama ibu puluhan tahun tapi bisa menghinanya seperti itu. Gimana bisa orang yang memiliki hubungan batin bisa sekejam ini! Kenapa ayah jadi seperti sekarang!!"

Mahardika kembali membalas dengan memukul keras wajah Alditya hingga putranya tersungkur. Alditya melemas. Dia lelah. Kepalanya tertunduk lesu dengan air mata yang jatuh perlahan.

"Semudah ini, Yah? Segitu saja kasih sayang ayah ke Alditya dan Freya. Aldit tau ayah mau punya anak lagi dan sudah punya anak lain. Tapi bukannya Ditya dan Freya juga anak ayah?" Lirih Alditya lalu ia perlahan bangkit meski tubuhnya sudah tidak seimbang.

"Alditya dan Freya ini anak kandung, Ayah. Kami darah daging ayah. Harusnya ayah punya ikatan batin yang lebih kuat padaku dan Freya. Tapi kenapa sekarang ayah jadi seperti ini? Tangan ayah ringan untuk memukulku dan Freya" ucap Alditya dengan wajah yang sudah basah.

"Kamu sudah tau tidak akan ada yang bisa merubah kenyataan. Kamu dan Freya adalah anak ayah. Mintalah pada ibumu untuk memberikan hak asuhmu sepenuhnya. Barulah kau akan tau, Ditya" balas Mahardika yang lagi-lagi membuat Alditya sangat kecewa.

Sarah yang melihat itu dari kejauhan juga ikut menangis sambil meremat dadanya. Dia pun merasakan kesedihan Alditya. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Dia harus menunggu dan mencari celah untuk dia bisa mendekat pada Alditya dan Freya. Dia pun juga sangat ingin menjadi ibu untuk mereka berdua.



-R!SK-

R!SKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang