"Sepasang Mata di Antara Lembaran Buku"
_________________________________________Aku tidak pernah menyangka hidupku bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Apalagi dengan hanya sebuah tatapan. Jika seseorang bertanya kepadaku apakah cinta pada pandangan pertama itu nyata, dulu aku pasti akan tertawa. Tapi sekarang, aku adalah bukti hidupnya. Sepasang mata yang aku lihat di sebuah kafe pada sore yang sibuk itu, mataku tak pernah bisa lepas dari sana sejak saat itu.
Kafe itu bukan tempat yang asing bagiku. Aku sering datang ke sana, duduk di sudut yang sama, dengan laptop terbuka dan buku catatan yang penuh coretan tak karuan. Biasanya aku menulis untuk mencari ketenangan, untuk melarikan diri dari segala hiruk-pikuk dunia. Di sana, aku menjadi penulis yang tidak peduli pada dunia di luar jendela besar kafe. Orang-orang sibuk berjalan, tak pernah berhenti sejenak untuk mengamati detail kecil dalam hidup. Tapi kali ini, aku yang terjebak dalam detail itu.
Dia masuk, dengan langkah percaya diri yang tak terelakan. Tubuhnya tegap, matanya lurus ke depan, dan senyumnya.... tidak ada. Dia tidak tersenyum, tidak tertawa, tidak ada sedikit pun keramahan di wajahnya. Hanya fokus yang tajam, bagaikan seseorang yang selalu tahu persis apa yang dia inginkan. Meski begitu, aku tetap terpesona. Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa berpaling.
Dia duduk di meja dekat jendela, menarik keluar laptopnya, dan mulai bekerja. Tidak seperti kebanyakan orang di kafe itu, dia tidak tampak terganggu dengan bisingnya suasana. Seakan-akan dia telah menciptakan dunia kecilnya sendiri di sana. Aku memperhatikan, sesekali mencuri pandang ke arah meja tempat dia duduk. Ada sesuatu tentang dirinya yang tak bisa kujelaskan, sebuah kehadiran yang kuat tapi tetap terasa jauh. Dia adalah tipe orang yang seolah-olah memiliki dunia sendiri, yang tak tersentuh oleh siapa pun.
Aku mencoba kembali fokus pada tulisanku, tetapi sulit. Setiap kali aku mencoba menulis satu kalimat, pikiranku beralih padanya. Sepasang matanya yang tak terpengaruh oleh apa pun di sekitarnya. Aku bertanya-tanya, apa yang ada di balik tatapan itu? Apa yang membuatnya begitu tenggelam dalam pekerjaannya, sampai-sampai dunia luar seperti tidak ada? Tentu saja aku tidak tahu jawabannya. Namun, rasa penasaran itu semakin besar, hingga aku merasa terdorong untuk mencari tahu lebih banyak tentangnya.
Dia bukanlah tipe perempuan yang sering kutemui dalam hidupku. Wanita-wanita yang kukenal biasanya adalah mereka yang lebih peduli pada penampilan, yang selalu memastikan setiap helaian rambut berada di tempat yang tepat, atau yang tertawa riang saat berbicara. Tapi dia berbeda. Sederhana, tapi elegan. Serius, tapi tidak kaku. Ada sesuatu yang membuatku ingin mengenalnya lebih dalam, meski aku tahu dunia kami mungkin tidak akan pernah bertemu di titik yang sama.
Aku akhirnya menyerah. Laptopku tertutup, buku catatanku tetap kosong. Tidak ada kata yang bisa kucoret hari itu. Yang ada hanyalah bayangannya yang terus menghantui pikiranku. Dan ketika dia beranjak pergi, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Seolah-olah kehadirannya di sana telah mengisi ruang di sekitarku, dan kini ruang itu kosong. Aku duduk diam, memandang tempat di mana dia sebelumnya duduk, berharap dia akan kembali. Tapi tidak. Dia sudah pergi, dan aku tidak tahu apakah aku akan melihatnya lagi.
Sore itu, aku pulang dengan perasaan aneh. Bukan karena aku tidak bisa menulis, hal itu sering terjadi. Tetapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seperti ada yang hilang dari diriku yang belum pernah ada sebelumnya. Sepasang mata itu, sepasang tatapan yang singkat tapi begitu dalam, berhasil menyusup ke dalam pikiranku. Dan seperti benih yang tumbuh tanpa disadari, bayangannya mulai mengakar.
Malam itu, aku duduk depan laptopku, mencoba menulis. Biasanya, ketika aku pulang dari kafe, ide-ide mengalir deras, dan kata-kata tumpah tanpa henti. Tapi tidak kali ini. Setiap kali aku mencoba menulis sesuatu, wajahnya kembali muncul di benakku. Aku mencoba mengusirnya, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya sementara, bahwa ini hanya rasa penasaran sesaat. Tapi semakin aku mencoba melawan, semakin dalam aku terjebak.
Akhirnya, aku menyerah. Aku membuka buku catatanku, dan tanpa sadar mulai menuliskan tentangnya. Tentang perempuan di kafe, dengan mata yang tajam tapi penuh misteri, tentang langkahnya yang tegas, dan tentang tatapan yang belum terungkap. Aku menulis dan menulis, seolah-olah setiap kata yang kutuliskan adalah upaya kecil untuk mendekatinya, meski aku tahu itu sia-sia.
Malam itu, aku menuliskan sebuah cerita baru. Bukan cerita tentang fantasi atau petualangan seperti biasanya, tapi cerita seorang penulis yang jatuh cinta pada perempuan yang dia hanya lihat sejenak. Tentang perasaan yang muncul tiba-tiba, tanpa peringatan, dan bagaimana kata-kata menjadi satu-satunya cara untuk mendekatkan dirinya pada sesuatu yang mungkin tidak pernah bisa dia miliki.
Keesokan harinya, aku kembali ke kafe yang sama, berharap bisa melihatnya lagi. Pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan, siapa dia, apa yang dia kerjakan, dan apakah mungkin, hanya mungkin, dia merasakan hal yang sama ketika matanya bertemu denganku? Aku tahu, ini terdengar gila. Tapi begitulah cinta bekerja, bukan? Ia sering kali datang tanpa alasan yang jelas.
Namun, harapan itu pupus. Dia tidak ada di sana. Hanya aku dan laptopku, serta secangkir kopi yang dingin terlalu cepat. Kafe itu tiba-tiba terasa lebih sunyi, lebih sepi dari biasanya. Tidak ada yang istimewa hari itu, kecuali bayangannya yang terus berputar di pikiranku. Aku mencoba menulis, tapi lagi-lagi, tak ada satu kata pun yang keluar.
Hari-hari berlalu, dan aku terus kembali ke kafe itu. Setiap kali aku masuk, mataku akan langsung mencari tempat di mana dia dulu duduk. Tapi dia tidak pernah kembali. Aku mulai berpikir mungkin ini hanya kebetulan, bahwa mungkin dia hanyalah seorang pengunjung biasa yang kebetulan singgah di hari yang salah dalam hidupku. Namun, aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Ada sesuatu yang membuatku ingin terus menunggu.
Dan kemudian, pada suatu hari yang kelabu, ketika aku hampir menyerah, dia muncul lagi. Kali ini, dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Sesaat aku merasa seperti waktu berhenti. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang pasti, saat itu aku tahu, kisah ini baru saja dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
MERANGKAI KATA
Teen Fictionaku selalu percaya bahwa setiap kata yang kutulis adalah refleksi dari perasaan yang tak terucapkan. Bagi penulis sepertiku, kata-kata adalah pelarian, tempat sembunyi dari hiruk-pikuk dunia. Namun, kali ini, tidak ada kata yang bisa menutupi kenyat...