BAGIAN 3

4 0 0
                                    

"Surat yang Tak Pernah Terkirim"
_________________________________________

Kehilangan itu selalu membawa kesedihan. Rasanya seperti sepotong dirimu yang terlepas, tak pernah ada di sempat yang sama lagi. Momen-momen manis yang dulunya terukir indah kini hanya menjadi kenangan yang menekan, seperti tinta yang tak bisa dihapus dari halaman hidupku. Ketika dia memberi tahu bahwa dia harus pergi, aku tidak bisa menahan rasa sakit itu. Seolah-olah seluruh dunia tiba-tiba berbalik arah, menyisakan kekosongan yang tak tertahankan.

Seminggu berlalu, dan setiap hari aku kembali ke kafe tempat kami pertama kali bertemu. Meja itu selalu menjadi tempatku berjuang melawan kekosongan. Saat melihat kursi kosong di depanku, bayangannya masih tertinggal di sana, menari-nari di pikiranku. Dia bercerita tentang proyek besar yang harus dia tangani di luar negeri, tentang bagaimana kesempatan ini bisa mengubah hidupnya. Namun, seolah-olah ada yang teroutus di antara kami. Apa yang seharusnya menjadi awal dari sesuatu yang indah, kini menjadi sebuah pengantar kepada rasa kehilangan yang mendalam.

Hari-hari berlalu menjadi minggu, dan minggu menjadi bulan. Dalam rentang waktu yang terasa membingungkan, aku berusaha untuk tetap menulis. Namun, kata-kata seperti mencurahkan isi hatiku tidak lagi muncul. Menulis novel yang dulu terasa mudah kini terasa seperti usaha yang sia-sia. Setiap kali aku mencoba menuliskan kalimat, pikiranku melayang pada kenangan tentangnya, pada senyumnya yang cerah dan tatapannya yang penuh perhatian. Namun, setiap kali itu terjadi, kata-kata yang muncul hanyalah patah hati.

Malam itu, di dalam kamarku yang remang, aku mengingat saat terakhir kami bersama. Dia mengingatkanku untuk tidak merindukannya terlalu dalam, untuk tidak berharap terlalu banyak. "Aku akan kembali, kau tahu itu. Kita masih bisa berbicara. Ada banyak cara untuk tetap terhubung," katanya. Dan saat itu, aku mencoba untuk percaya. Tapi kenyataannya, setiap kali melihat pesan di ponselku, hatiku berdegup kencang. Tidak ada pesan darinya.

Akhirnya, pada suatu malam yang hening, aku duduk di depan laptopku dengan sebuah harapan. Aku membuka dokumen kosong dan mulai mengetik. "Untukmu, yang jauh di sana." Kalimat itu mengalir keluar dari pikiranku, seolah-olah semua rasa yang terpendam selama ini menemukan jalan keluar.

Aku menemukan sebuah surat, bukan untuk dikirim, melainkan untuk mengekspresikan segala yang belum sempat kukatakan. Surat yang mungkin tidak akan pernah sampai ke tangannya, setidaknya bisa menjadi pelarian untuk hatiku yang terluka. Dalam surat itu, aku mengekspresikan betapa aku merindukannya, betapa setiap hariku terasa hampa tanpanya. Aku menuliskan tentang bagaimana senyumannya memberi cahaya dalam hidupku yang sebelumnya kelam. Setiap kata terasa seperti mengeluarkan beban dari jiwaku. Menulis membuatku merasa lebih ringan, seolah-olah bisa menyentuh bagian dari dirinya yang masih hidup dalam ingatan.

Ketika surat itu selesai, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, aku sudah mengeluarkan semua perasaan yang terkurung. Aku menyimpan surat itu di dalam folder di laptopku dan menutup layar. Mungkin suatu saat nanti, jika keadaan membaik, aku bisa mengirimkannya. Namun saat ini, aku lebih memilih untuk menyimpannya di dalam hatiku.

Hari-hari berlalu tanpa dia. Kafe itu terasa sepi, dan aku mulai mencari cara untuk mengalihkan perhatian. Aku kembali ke rutinitas lamaku, menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku yang dulunya menjadi teman terbaikku. Namun, hatiku masih kosong. Meski banyak cerita yang bisa ditemukan dalam buku, tak satu pun bisa menggantikan kehadirannya.

Satu malam, saat aku sedang membaca di sofa, ponselku bergetar. Aku terkejut melihat nama yang muncul di layar. Dia! Dengan hati berdebar, aku segera membuka pesan itu.

"Hai! Maaf sudah lama tidak menghubungi. Proyekku berjalan lancar. Semoga kamu baik-baik saja!"

Senyumku muncul tanpa bisa ditahan. Meskipun hanya sebuah pesan singkat, tapi itu cukup untuk membuatku merasa seolah-olah ada bagian dari diriku yang kembali. Aku cepat membalasnya.

"Hai! Senang mendengar kabar darimu. Semua baik-baik saja di sini. Bagaimana proyeknya?"

Percakapan kami berlanjut hingga larut malam. Setiap pesan terasa seperti percikan air di pasang yang kering. Aku merindukan suara tawanya, dan meskipun tidak ada cara untuk menggantikan pertemuan fisik kami, berbicara dengan teks terasa seperti jembatan kecil yang menghubungkan kami. Dia bercerita tentang tempat-tempat yang dia kunjungi, tentang budaya baru yang dia temui, dan tentang bagaimana pengalaman itu mengubah pandangannya tentang kehidupan.

Aku mendengarkan dengan seksama, setiap kalimat yang dia tulis menjadi pelajaran baru bagiku. Dia benar-benar bersemangat, dan aku bisa merasakan energinya bahkan hanya dari pesan-pesan itu. Kami berbagi impian, harapan, dan ketakutan. Rasanya seperti meski terpisah jarak ribuan kilometer, kami tetap bisa merangkul satu sama lain dengan kata-kata.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasakan ada sesuatu yang berubah. Pesannya yang dulunya penuh semangat mulai sedikit demi sedikit berkurang. Kadang dia tidak membalas dalam waktu lama, dan saat membalas, pesannya terasa lebih pendek, lebih datar. Aku mencoba untuk tidak berpikir terlalu jauh. Mungkin dia sibuk, atau mungkin kesibukan pekerjaan mengubah cara pandangnya tentang hidup. Namun, setiap kali pesan itu datang, hatiku berdebar. Apakah ini pertanda bahwa dia mulai menjauh?

Di tengah kebimbanganku, aku teringat surat yang kutulis. Seolah-olah surat itu menjadi pengingat betapa dalam perasaanku terhadapnya. Aku pun memutuskan untuk membacanya kembali, mencari penghiburan dari kata-kata yang pernah kutuliskan. Namun, saat membuka dokumen tersebut, aku merasa seolah-olah membaca kembali seluruh kenangan yang menyakitkan. Setiap kata mengingatkanku akan semua harapan yang kutanam, dan rasa sakit ketika menyadari bahwa mungkin semua itu tidak akan pernah terwujud.

Keterasingan itu menjadi semakin jelas ketika suatu malam, tanpa peringatan, aku melihat namanya di layar ponselku. Dia menelepon. Detak jangtungku berdebar kencang. Aku mengangkat teleponnya dengan tangan bergetar.

"Halo?" suaraku terdengar canggung.

"Halo," dia menjawab, suaranya lembut tapi terasa ada beban di baliknya. "Aku hanya ingin mendengar suaramu."

Kata-katanya menghangatkan hatiku, meski ada sesuatu yang menyakitkan di dalam nada suaranya. Kami berbicara sebentar, dan meskipun percakapan terasa ringan, aku bisa merasakan ada jarak yang mulai terbentuk. Dia bercerita tentang pekerjaan, dan aku mencoba untuk bersikap ceria. Tapi di dalam hati, aku merasa ada yang tidak beres.

"Aku akan kembali minggu depan," dia akhirnya berkata.

Hatiku melompat mendengar kalimat itu. "Serius? Kapan?"

"Rencananya hari kamis. Tapi aku tidak tahu bagaimana situasinya nanti," jawabnya pelan. "Ada banyak yang harus kuurus di sini."

Satu sisi hatiku bersorak, berharap bisa bertemu lagi. Namun, di sisi lain, ada ketakutan yang menyelinap. Apakah dia akan kembali sama seperti sebelumnya? Apakah semua ini hanya akan menjadi kenangan belaka?

Kamis tiba, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak datang ke kafe tempat kami pertama kali bertemu. Aku ingin memastikan bahwa aku akan berada di sana ketika dia kembali. Hari itu terasa seperti harapan yang menyelimuti seluruh tubuhku. Dalam perjalanan menuju kafe, aku membayangkan semua kemungkinan-senyumnya saat melihatku, tawanya yang mengisi kekosongan, dan semua kenangan yang ingin kami buat ulang.

Namun, ketika aku sampai, kursi di depanku tetap kosong. Menunggu dan menunggu, harapanku berkurang saat jam demi jam berlalu. Setiap orang yang masuk ke kafe tampak seperti sosok asing, dan aku merasa semakin hampa. Dia tidak muncul, dan pesan yang aku harapkan tidak juga datang.

Sore itu berangsur menjadi malam, dan aku tahu bahwa harapanku mungkin akan hilang. Dengan hati yang berat, aku menutup laptopku dan memutuskan untuk pulang. Di dalam mobil, kepalaku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan-apakah dia baik-baik saja, apakah dia sudah kembali ke kehidupan lamanya, dan yang terpenting, apakah dia masih memikirkan aku?

Ketika malam jatuh, rasa hamoa itu semakin mendalam. Rasanya seperti semua harapan yang aku bangun kembali hancur berantakan. Aku ingin berbicara dengannya, ingin mengungkapkan semua yang terpendam, tetapi kata-kata itu terhenti di ujung bibirku. Dia sudah kembali, tetapi kami seolah-olah berada di dua dunia yang berbeda.

MERANGKAI KATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang