WARNING!
Chapter ini mengandung adegan self-harm, depresi, dan bu*d*r.
Harap bijak dalam membaca, dan yang memiliki trauma boleh di-skip, bahkan aku anjurin demi mental kalian masing-masing.--
.
.
.
.
--
20 April, Sabtu
"BUKA PINTUNYA, ANJING! BALIKIN PERALATAN GUE BANGSAT!" Pintu kayu itu digedor menciptakan suara yang menggema, tiap gedoran menyalurkan amarah meledak-ledak.
Semua peralatan miliknya seratus persen terenggut, tak sengaja merenggut harap di saat yang sama, memercik pesimis yang menggantung.
Terlilit kecewa dan amarah, terkurung dan tak dapat terlepas, maka tak lebih dari caci maki yang melolong dari pita suara sang atma.
Terkekang ego dan ilusi, terjebak terus tak mampu sadar, maka tak lebih dari hubungan antar ayah dan anak yang retak.
Sang pelukis menggeram, matanya kian melotot menahan murka. "AYAH! JANGAN AMBIL PERALATAN GUE!" Suaranya kian frutrasi ditelan waktu. Sayangnya, tiada yang peduli akan jeritan kecewa itu.
DUG!
Satu benturan terakhir, dan senyap. Taufan lengser bersandar pada pintu, ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang pias. Dia hanya bisa tersenyum getir saat telinganya menangkap bising kobaran api yang melalap semua peralatan miliknya.
Ini nggak adil. Mimpinya kandas hanya karna sosok yang ia anggap adiwira. Harusnya adiwiranya sudah hilang tertelan Bumi, harusnya begitu. Kenapa sekarang malah muncul sebagai penghancur? Kenapa?
Asa miliknya padam, pilu menerkam tak kenal ampun. Gulita pikiran mengepungnya kala gundah lara memeluknya. Yang ada hanya isakan pilu, yang tiada hanya ambisi. Yang ada hanya kehancuran, yang tiada hanya harapan.
Yang ada hanya duka, yang tiada adalah segalanya. Lantas, apa guna ia masih bernapas?
--
21 Mei, Selasa
Mbak Tian mengetuk pintu untuk kesekian kali tiga minggu terakhir ini, memohon agar Taufan mau membukanya, rautnya tampak sangat khawatir. Namun, semua sia-sia, ia hanya mendengar sepi, kesepian yang mengurung Taufan dalam kehampaan.
Helaan napas keluar dari belah bibir perempuan tua itu, ia hanya bisa meletakkan nampan dengan semangkuk sup dan sebotol air putih di lantai, berharap Taufan akan memakannya nanti. Lalu, dengan berat hati Mbak Tian pergi. Lagi-lagi menelan kecewa.
Sementara, dalam ruangan berukuran 5x5 itu, Taufan tebaring di ranjang. Tirai menjaga agar cahaya tak masuk, membiarkan penghuni ruangan tak mendapat cahaya. Debu dimana-mana, bertabur tanpa teratur.
Pakaian berserakan, Taufan menatap sekilas, tanpa minat membereskannya. Piring-piring kotor tertumpuk di pojok ruangan, pun gelas-gelas kotor. Sesak.
Taufan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menatap tangan yang sudah tak utuh, tersenyum getir.
"Goblok banget gue ... udah tau enggak bisa masih aja ngotot. Ya, Kan?" lirihnya pada angin. Berharap angin akan membawa terbang sebuah jawaban, dan itu jelas hanya sebatas angan-angan.
Matanya melirik hampa ponsel genggam yang menyala di sampingnya, itu gambar dia saat kecil, yang menangis. Bibirnya terangkat, pasti lega jika ia bisa menangis lagi, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...