Langit malam sudah mulai gelap ketika Jaemin akhirnya sampai di rumah Ryujin. Lampu teras rumah itu terang, menandakan bahwa semua orang sudah berkumpul di sana, menunggu kedatangannya. Malam ini, seperti biasa, mereka akan nongkrong, minum, bercanda-rutinitas khas circle mereka yang selalu penuh dengan kenakalan remaja.
Jaemin berjalan mendekat, tubuhnya sedikit goyah. Napasnya masih berat, bekas pertarungan dengan Yunho meninggalkan jejak yang jelas di wajahnya-memar di pipi, sudut bibirnya pecah, dan lengannya terasa pegal akibat beberapa pukulan yang diterima. Tapi, meskipun tubuhnya terasa sakit, kepalanya justru dipenuhi hal lain-Jisung. Wajah Jisung terus terbayang dalam pikirannya, mengaburkan rasa sakit yang seharusnya mendominasi.
Dia mengetuk pintu pelan, dan tidak lama kemudian Ryujin membukakan pintu. Gadis itu langsung mengernyit begitu melihat kondisi Jaemin yang berantakan.
"Jaemin? Apa-apaan ini, lo abis berantem lagi?" Ryujin langsung memegang bahu Jaemin, sorot matanya penuh kekhawatiran.
Suara tawa dan obrolan yang riuh di dalam rumah tiba-tiba mereda ketika semua orang menoleh ke arah pintu. Jeno, Haechan, Mark, dan Yuna semua memandang Jaemin dengan heran. Haechan, yang biasanya paling ribut, langsung berkomentar.
"Lo kenapa bisa bonyok gini, Jaem? Siapa yang nyari ribut sama lo?"
Jaemin hanya tersenyum tipis, berusaha terlihat santai meskipun rasa sakit di tubuhnya semakin terasa. "Santai aja, cuma urusan kecil. Gak penting."
"Tapi muka lo kayak habis ditonjok sekampung, bro," Mark menambahkan sambil mengangkat alis. "Lo serius nggak mau cerita?"
Namun Jaemin tidak merespon lebih jauh. Pandangannya langsung mencari sosok yang ingin ia temui sejak tadi. Di ujung sofa, Jisung duduk sambil memegang kaleng bir, tampak kebingungan melihat kondisi Jaemin. Tanpa berkata apa-apa, Jaemin berjalan mendekati Jisung dan langsung duduk di sebelahnya.
Jisung melirik Jaemin dari ujung matanya, jelas terlihat ada pertanyaan di wajahnya, tapi sebelum sempat dia berbicara, Jaemin sudah meraih pinggangnya dan menarik Jisung ke dalam pelukannya. Erat. Seolah dunia di sekitarnya lenyap begitu saja.
Jisung terkejut sejenak, namun tidak menolak. "Jaemin, lo kenapa?" tanyanya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Dia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari pelukan Jaemin kali ini-lebih hangat, lebih dalam, seakan cowok itu sedang mencari perlindungan.
"Lo nggak usah mikirin," jawab Jaemin singkat, menyembunyikan wajahnya di leher Jisung. "Gue cuma pengen lo di sini."
Jisung menghela napas pelan, merasa kebingungan tapi tetap membiarkan Jaemin memeluknya. Dia tahu, meski Jaemin tidak berbicara banyak, ada sesuatu yang terjadi. Mungkin sesuatu yang besar.
Ryujin berdiri dengan tangan bersedekap, melihat adegan itu dari kejauhan. "Gue nggak ngerti lo, Jaem. Kalau emang ada masalah, ngomong lah sama kita."
Namun Jaemin tetap tidak menjawab, dia hanya memejamkan mata, menikmati kehangatan Jisung di dekatnya. Rasanya semua rasa sakit, rasa marah, dan kecemburuannya sirna begitu dia memeluk Jisung.
"Udah, kasih dia waktu," Jeno akhirnya angkat bicara, menepuk pundak Ryujin dengan santai. "Jaemin emang suka gini, semua juga tahu."
Mark, yang sedang menuangkan bir, menoleh ke arah mereka dan tersenyum miring. "Ya udahlah, yang penting sekarang kita ngumpul. Ayo, cheers lagi aja. Malem ini harus santai."
"Setuju! Kita nikmatin malam ini aja, deh!" Haechan menambahkan sambil mengangkat kaleng birnya tinggi-tinggi.
Ryujin, meskipun masih terlihat khawatir, akhirnya menyerah dan bergabung dengan yang lain. Mereka mulai tertawa lagi, bicara soal hal-hal sepele, saling menggoda satu sama lain seperti biasa. Tapi Jaemin tidak peduli pada apa pun yang mereka bicarakan. Di dalam pelukan Jisung, dia merasa tenang-untuk pertama kalinya malam itu.
Jisung hanya diam, tangannya sedikit menyentuh punggung Jaemin, memberikan dukungan dalam diam. Mereka tidak perlu kata-kata untuk saling memahami. Meski begitu, di sudut hatinya, Jisung mulai khawatir. Jaemin jarang sekali bertingkah seperti ini tanpa alasan yang jelas. Pasti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dia sembunyikan.
Tapi untuk saat ini, Jisung membiarkan Jaemin bersembunyi dalam pelukannya. Mungkin, pada akhirnya, Jaemin akan menceritakan semuanya. Mungkin tidak. Namun, Jisung tahu satu hal-dia selalu ada untuk Jaemin, apa pun yang terjadi.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Jisung duduk di sudut belakang sekolah, jarinya memegang rokok yang sudah setengah terbakar, bibirnya menyeringai nakal saat dia melihat asap melayang di udara. Di sebelahnya, Jaemin bersandar pada tembok kusam, mengamati Jisung dengan tatapan tajam tapi penuh keinginan.
Di permukaan, hubungan mereka tampak sederhana. Mereka selalu bersama-ngerokok bareng, ciuman di lorong-lorong gelap, menikmati waktu tanpa perlu berpikir terlalu jauh. Bagi Jisung, semua itu seperti rutinitas biasa- hubungan yang penuh kesenangan tanpa komitmen berat.
Tapi bagi Jaemin? Segalanya tidak sesederhana itu.
Jaemin merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali melihat Jisung. Awalnya, hanya sekadar ketertarikan biasa, keinginan fisik yang wajar di antara anak-anak liar seperti mereka. Tapi semakin lama mereka menghabiskan waktu bersama, Jaemin mulai merasa bahwa Jisung bukan sekadar temannya. Jisung adalah miliknya.
Jaemin melihat Jisung menghembuskan asap terakhir dari rokoknya, dan tanpa sadar, tangannya bergerak meraih leher Jisung. Tanpa peringatan, dia menarik Jisung mendekat dan mencium bibirnya dengan intensitas yang lebih besar dari biasanya. Jisung terkejut, tapi dia tidak menolak. Dia bahkan tertawa kecil di sela ciuman itu, menganggap semuanya hanya sekadar permainan.
Namun, Jaemin tahu, dalam hatinya, ini bukan sekadar permainan.
Setiap kali bibir mereka bertemu, ada kepemilikan yang tumbuh dalam diri Jaemin- sebuah klaim yang semakin kuat, semakin mendalam. Dia tidak hanya ingin Jisung ada di sampingnya, dia ingin Jisung menjadi miliknya, sepenuhnya. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuhnya, berbicara dengannya, bahkan sekadar mendekatinya tanpa seizin Jaemin.
Namun Jisung, dengan kepolosan dan keluguannya, tidak pernah menyadari hal itu. Bagi Jisung, semuanya terasa ringan. Dia menikmati kebersamaan mereka, tapi tidak berpikir lebih jauh. Jisung hanya menjalani hari-harinya dengan santai, seolah tidak ada hal penting yang perlu dipikirkan selain kenikmatan sesaat.
Ketika ciuman mereka terputus, Jisung menarik napas panjang, menyeringai lagi. "Lo kayak lagi kelaparan aja, Jaem," katanya dengan nada bercanda, tangannya mengusap dagu Jaemin. "Santai aja lah."
Jaemin hanya menatapnya dalam diam, tatapannya lebih gelap dari biasanya. Tidak ada senyum di wajahnya. Di dalam hatinya, Jaemin tahu, dia tidak bisa terus seperti ini. Dia ingin lebih. Bukan hanya ciuman, bukan hanya rokok bersama. Dia ingin memastikan bahwa Jisung hanya untuknya tidak ada orang lain yang bisa mendekati Jisung seperti dia.
"Mungkin gue kelaparan," balas Jaemin akhirnya, nadanya datar, tapi matanya penuh makna tersembunyi. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan kecemburuan yang mulai merasuk.
Jisung, seperti biasa, tidak memperhatikan perubahan dalam sikap Jaemin. Dia hanya tertawa kecil lagi, mengambil rokok baru dan menyalakannya. Baginya, hidup ini hanya tentang kesenangan. Tidak ada komitmen, tidak ada drama.
Tapi bagi Jaemin, segalanya mulai berubah. Setiap kali dia melihat Jisung berbicara dengan orang lain-teman sekelasnya, anak-anak lain di sekolah-rasa cemburu itu semakin membakar. Dia tidak tahan melihat orang lain dekat dengan Jisung, meskipun dia tahu Jisung tidak menyadari itu semua.
Semakin lama, semakin sulit bagi Jaemin untuk menahan perasaannya. Rasa ingin memiliki itu tumbuh seperti api yang semakin besar, membakar setiap rasionya. Dia ingin mengunci Jisung di dalam dunianya, jauh dari orang lain. Bagi Jaemin, ini lebih dari sekadar hubungan teman yang penuh ciuman dan sentuhan fisik. Ini soal kepemilikan, soal memastikan bahwa Jisung tidak akan pernah meninggalkannya.
"Lo mau ke mana habis ini?" tanya Jisung dengan nada santai, menghembuskan asap rokok lagi.
"Gue ngikut lo," jawab Jaemin cepat, suaranya lebih tegas dari biasanya. "Apa pun yang lo lakuin, gue ada di sana."
Jisung mengangkat alis, sedikit terkejut dengan nada itu. "Santai, bro. Lo lagi posesif banget ya hari ini?"
Jaemin hanya tersenyum tipis, tapi tidak menjawab. Di dalam pikirannya, hanya ada satu hal-Jisung harus tetap di sisinya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan Jisung sendiri, merusak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friends (?) || JaemSung 🔞 ✅
FanfictionIni aneh. Teman mana yang bisa menyesap bibir masing-masing, teman mana yang setiap malamnya harus tidur berpelukan. Dan teman mana yang bisa menjamah tubuh masing-masing? 💋 Short Story. 💋 Jaemin X Jisung. 💋 Boy X Boy ( Gay, LGBT, Homosexual ). �...