Chapter 3 : He is Available

196 54 4
                                    

Sudah Alunan kira, karantina mandiri berdua saja pasti tidak akan ada hal buruk yang terjadi, malah justru hal sebaliknya. Walau ada virus di tubuh Arka dan kemungkinan besar sudah menyebar ke dalam diri Alunan, tapi hari ketiga karantina ini keduanya tetap penuh semangat bergerak ke sana kemari.

Di dalam ruang tamu, meja kopi sudah digeser hingga menempel dengan pintu kaca geser yang terhubung langsung dengan balkon dan laundry room. Televisi menyala lengkap dengan dua pasang motion controller game. Sekarang keduanya sedang sama-sama menari mengikuti gerakan yang game ini berikan.

"Gue nggak tahu main game ini ternyata bisa seseru ini," teriak Alunan di sela-sela tawa dan juga batuknya yang tak kunjung reda sejak hari pertama karantina. "Bahkan gue baru tahu kalau mas Senar beli mainan ini. Ke mana aja sih gue?"

"Lo sih di kamar mulu buat kerja, jadi mana tahu ada game ini." Arka ikut berteriak. Badannya bergoyang ke sana dan kemari. "Dan yang bikin game ini seru juga karena partner game lo, Lun."

Alunan kembali terbahak kencang. Kalimat terakhir Arka mengenai partner game seru tentu saja merujuk kepada cowok itu sendiri.

Tanpa sadar Alunan berbalik menghadap Arka. Sambil berjoget, dia mendorong pelan tubuh cowok itu. Ekspresi mengejeknya terpasang.

"Kok lo pede sih menganggap diri lo seru?" ucap Alunan.

Tahu-tahu saja Arka ikut berbalik menghadap Alunan. Cowok itu juga sambil berjoget membalas, "Kenyataannya emang gitu, kan?"

Alunan sudah akan kembali memberi ejekan pada Arka. Namun, kakinya mendadak salah menginjak lantai. Kaki kirinya tertindih kaki kanannya. Tubuhnya goyah. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah menggapai apa saja agar tidak terjatuh.

Kedua tangannya yang terbuka lebar dengan sendirinya mengaitkan diri ke badan Arka. Gerakan tubuhnya yang limbung langsung berhenti begitu saja. Napas lega meluncur dari diri Alunan.

"Lun ...."

Sebuah panggilan diikuti sebuah getaran yang Alunan rasakan di wajahnya membuat cewek itu mendongak. Matanya langsung melebar saat mendapati Arka sedang menunduk menatapnya. Kedua tangan cowok itu terangkat tinggi-tinggi di udara. Ekspresinya datar, tidak terbaca.

"Ya, Ka?" balas Alunan sedikit berbisik.

"Jangan kekencengan peluk perut gue. Bahaya."

Mata Alunan semakin membulat. Bukannya melepaskan pelukannya, cewek itu malah asyik menatap sekitar, wajah Arka, turun ke leher cowok itu, turun lagi ke dada, lalu benar-benar berakhir ke perutnya.

Entah setan dari mana, Alunan malah tanpa sengaja menempelkan sisi wajahnya semakin rapat dengan perut Arka. Area ini keras dan nyaman. Sepertinya jika digunakan untuk tidur sama sekali tidak akan membuat kepala siapa pun kesakitan.

"Alunan."

Seketika Alunan tersentak. Kali ini cewek itu buru-buru menarik diri. Kedua tangannya ikut terangkat. Wajahnya memerah menahan rasa malu yang hinggap.

"Lo–"

"Sori, Ka. Nggak sengaja." Kata-kata Arka langsung Alunan putus gitu aja. Cewek itu berdehem pelan. "Eh, jam berapa ini? Udah jam 1 siang ternyata. Gue lupa ada kerjaan yang mau gue submit. Ka, bantuin beresin ya. Bye, bye."

Tanpa menunggu respons Arka, Alunan terbirit-birit memasuki kamar tidurnya. Dia buru-buru mengunci tempat itu rapat-rapat, lalu menempelkan punggungnya di pintu.

Alunan memejam erat matanya. Dia bisa merasakan debaran jantung konyol itu kembali datang. Ini buruk! Bahaya, bahaya!

***

My Quarantine Boyfriend (Novelet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang