Very ill
Vanesha mengerang pelan saat kesadarannya perlahan kembali, seolah-olah keluar dari tidur panjang yang berat. Tubuhnya terasa lengket dan lelah, seakan-akan semua energi telah terkuras habis. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan rasa pusing yang berdenyut di kepalanya, sebelum akhirnya mengerjap membuka kelopak matanya.
Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah langit-langit kamar yang asing. Jelas bukan apartemennya—dekorasinya berbeda, dan udara terasa lebih dingin. Ingatan-ingatan mulai kembali mengalir, perlahan tapi pasti. Oh, ya. Seketika, wajahnya memerah mengingat kejadian sebelumnya. Ia terlelap karena kelelahan setelah melewati malam penuh gairah yang intens.
Vanesha merasakan selimut yang melilit tubuhnya, lembut namun terasa lengket di kulitnya yang masih basah oleh sisa keringat. Aroma samar dari parfum bercampur bau tubuhnya sendiri menyeruak di udara, mengingatkannya pada kehangatan tubuh lain yang sempat menyentuhnya. Dengan ragu, ia mengangkat tangannya, melihat jemari yang sedikit gemetar, sebelum menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Ruangan tampak gelap, hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah jendela, menandakan bahwa langit sudah sepenuhnya malam. Vanesha mengerjap, terkejut menyadari betapa lama ia tertidur. Astaga, benarkah ia tidur sepanjang hari? Padahal terakhir kali ia ingat, mereka selesai saat fajar menyingsing, dan kini malam sudah kembali menyelimuti.
Kesadaran itu membuat rasa kesal menggelora di dadanya. Ia merutuki dirinya sendiri, mengutuk kelemahannya yang justru terjebak dalam momen brutal di ranjang, alih-alih fokus pada misinya yang lebih penting—menyelamatkan adiknya. Waktu telah terbuang percuma, dan itu membuat kemarahan membakar dalam dirinya.
Dengan enggan, Vanesha mencoba bangkit dari tempat tidur. Namun, saat ia bergerak, rasa sakit tajam menjalar di area bawah tubuhnya, membuatnya meringis. Tubuhnya seolah memprotes setiap gerakan, memaksa dia untuk berhenti sejenak, menahan napas agar tidak terdengar keluhan. Kain seprai yang menyentuh kulitnya terasa dingin, kontras dengan panas yang masih mengendap di tubuhnya, meninggalkan perasaan lengket dan tak nyaman.
Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuh, berusaha menguatkan diri. Meskipun tubuhnya terasa remuk, Vanesha tahu bahwa ia tidak boleh menyerah pada kelemahan. Adiknya di luar sana sedang menunggu—atau mungkin sedang dalam bahaya, dan ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika gagal hanya karena terlena oleh godaan sesaat.
Vanesha mendengus pelan, merasakan nyeri yang menusuk di area kewanitaannya. Setiap gerakan mengingatkannya pada rasa sakit itu, dan ia tahu bahwa berjalan pun akan menjadi tantangan. Namun, tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang menghimpit.
Alih-alih menyerah pada tubuhnya yang menjerit kesakitan, Vanesha memaksa dirinya untuk bangkit dari tempat tidur. Kakinya terasa lemah, hampir gemetar saat menyentuh lantai dingin, tapi ia tidak peduli. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan, sebelum mengalihkan pandangannya ke ranjang yang terlihat berantakan. Seprai kusut, bercampur dengan noda cairan putih yang menyiratkan apa yang telah terjadi beberapa jam lalu. Pemandangan itu hanya membuatnya mendengus kesal, seolah ingin menghapus semuanya dari ingatan.
Dengan susah payah, Vanesha mulai melangkah, setiap gerakan membuatnya meringis. Kakinya terasa seperti tidak mampu menopang, tapi ia tetap memaksa dirinya berjalan, meski tertatih-tatih. Setiap langkah terasa berat, namun ia terus maju, menolak membiarkan kelemahan menguasai dirinya. Ia harus membersihkan diri, menghapus jejak malam yang membuatnya terjebak dalam situasi yang tak terduga ini.
Vanesha menyeret kakinya menuju kamar mandi, suara langkahnya nyaris tak terdengar di atas lantai yang dingin. Setiap tatapan yang ia lontarkan ke depan penuh dengan tekad, meski tubuhnya sendiri berusaha menghentikannya. Ketika ia akhirnya mencapai kamar mandi, ia meraih pegangan pintu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu masuk, berharap air dingin bisa menyapu bersih sisa-sisa malam yang melekat pada dirinya.
Vanesha meraih keran shower dan memutarnya, membiarkan air dingin mengalir deras dari atas. Suara gemericik air memenuhi ruang kamar mandi, menciptakan simfoni yang menenangkan, meski tidak cukup untuk meredakan kekacauan di pikirannya. Ia melangkah masuk di bawah pancuran, merasakan air yang dingin menusuk kulitnya, membuatnya terkejut sejenak sebelum akhirnya perlahan-lahan tubuhnya mulai terbiasa.
Air mengalir membasahi rambutnya, membuat helai-helai panjang itu menempel di punggungnya. Vanesha memejamkan mata, membiarkan tetes air mengguyur wajahnya, seakan berharap semua kotoran, keringat, dan rasa lengket yang melekat di kulitnya hanyut bersama alirannya. Tangannya bergerak perlahan, menyusuri tubuhnya yang masih terasa sakit, membersihkan setiap inci kulitnya, menggosok dengan hati-hati seolah ingin menghapus sisa-sisa malam yang masih membekas.
Saat air membasahi leher, bahu, dan punggungnya, ia bisa merasakan ketegangan di otot-ototnya sedikit meluruh. Namun, rasa sakit di area sensitifnya masih terasa jelas, membuatnya harus menggigit bibir untuk menahan nyeri. Vanesha mencoba berkonsentrasi pada rasa segar yang diberikan air dingin, berharap itu bisa sedikit menenangkan pikirannya yang kacau.
Ia terus membersihkan tubuhnya dengan sabun, aroma segar perlahan menggantikan bau keringat yang sebelumnya menguar. Dalam diam, Vanesha berusaha menyatukan kembali serpihan tekadnya, karena ia tahu masih ada banyak yang harus dilakukan di luar sana. Setelah beberapa saat, ia menutup matanya lebih erat, membiarkan air membasuh wajahnya sekali lagi, seolah mencoba menghapus semua jejak kelemahan dan kembali menjadi dirinya yang tangguh.
Setelah merasa cukup bersih, Vanesha perlahan memutar keran shower, menghentikan aliran air yang masih mengucur deras. Suara gemericik itu mereda, menyisakan keheningan yang terasa pekat di dalam kamar mandi. Ia merasakan udara dingin menyergap kulitnya yang basah, memaksanya untuk segera bergerak.
Vanesha meraih handuk yang tergantung di dekatnya, menariknya dengan lembut sebelum mulai mengeringkan tubuhnya. Ia mengusap wajahnya lebih dulu, lalu menggerakkan handuk dengan gerakan hati-hati di sepanjang leher dan bahunya. Setiap gesekan kain lembut itu seakan menghapus sisa-sisa kelembapan, memberi rasa nyaman yang sedikit menenangkan.
Ia melanjutkan ke bagian tubuh lainnya, mengeringkan kulitnya yang masih terasa dingin dan lelah. Vanesha melakukannya dengan perlahan, hampir seperti ritual, seolah-olah handuk itu tidak hanya menyerap air tetapi juga sisa-sisa beban yang menempel di pikirannya. Ia berhati-hati saat mengeringkan area sensitif yang masih terasa nyeri, menahan desahan kecil ketika rasa sakit kembali menyerang.
Begitu selesai, ia membungkus tubuhnya dengan handuk, membiarkannya melilit dengan rapat. Vanesha menatap pantulan dirinya di cermin, melihat sosok yang terlihat lebih tenang meskipun sorot matanya masih menyiratkan kelelahan. Namun, di balik mata yang sayu itu, ada tekad yang perlahan kembali menyala. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah-olah mengusir semua sisa kegelisahan sebelum melangkah keluar dari kamar mandi, siap menghadapi apapun yang menantinya di luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Death Peak
Mystery / ThrillerValda Carlyle dan teman-temannya berkemah di puncak Gunung Yves, tempat indah yang ternyata menyimpan kengerian. Satu demi satu temannya menghilang, dan Valda mendapati dirinya terjebak dalam permainan mematikan yang dirancang oleh seorang pembunuh...