4. Our Jeva I

46 8 0
                                    

Kasih sayang telah menjadi makanannya sejak masih bayi. Jeva tumbuh menjadi anak yang tak kekurangan satu apapun, tapi ia memiliki satu kelemahan fisik yang menghantuinya.

Jantung, miliknya tak seperti anak kebanyakan.

16 tahun lalu

"Maafkan saya harus mengatakan ini, pak, bu. Tapi salah satu putra anda memiliki kelainan pada sirkulasi jantungnya sehingga saya mendiagnosa bayi bapak dan ibu menderita penyakit jantung bawaan. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan pada gen atau kromosom bayi, atau bisa juga oleh kombinasi gen dan faktor lingkungan."

Ayah dan bunda terkejut bukan main akan pernyataan dokter tersebut. Mereka berdua saling pandang dengan ayah yang menguatkan bunda seperti memberi support semuanya akan baik-baik saja.

"Lalu untuk pengobatan lanjutannya bagaimana dok?"

"Untuk sekarang jantung bayinya bisa bertahan pak, dimohon untuk bapak dan ibu rajin melakukan kontrol. Jantungnya akan baik-baik saja hingga anak berusia 14-15 tahun, tapi untuk kondisi selanjutnya kita lihat pertumbuhan si kecil bagaimana ya pak. Bisa saja semakin membaik atau semakin memburuk."

"Kalau semakin memburuk?" Suara bunda bergetar saat menanyakan pertanyaan itu. Ia tidak tega pada putranya, kenapa putranya harus sakit?

"Kita terpaksa harus mencari jantung baru yang lebih sehat dan melakukan transplantasi." Bunda akhirnya menangis di pelukan ayah, tak kuasa menahan air matanya saat mendengar pertanyaan dokter.

Tanpa ada yang menyadari ada si kecil Lingga yang berdiri di dekat pintu, sejak tadi anak ini menguping. Walaupun tak mengerti seluruhnya, tapi Lingga menangkap bahwa sang adik sakit. Jeva sakit dan harus dilindungi.

"Bunda." Ketiga orang dewasa disana menoleh dan mendapati Lingga yang tersenyum polos di ambang pintu. Bunda dengan kesusu menghapus air matanya dan ikut tersenyum menatap sang putra.

"Iya sayang? Kenapa?"

"Mau mainan yang tadi." Dia menengadah lucu membuat ibu dokter juga tertawa akan tingkah manis tersebut. Sang bunda lantas merogoh tasnya mencari mainan yang dimaksud.

"Sebentar ya sayang."

"Sini Lingga sama ayah." Bocah 4 tahun itu langsung melesat mendekat ke arah ayahnya dan di dudukan di pangkuannya.

"Doktel tadi adiknya Lingga sakit apa?" Lingga langsung menodong sang dokter dengan pertanyaan itu membuat ibu dokter tertawa.

"Heh gak boleh kayak gitu Lingga, gak sopan. Maaf ya dok." Ayah meminta maaf dengan sungkan setelah putranya bertanya demikian. Sang dokter hanya tertawa lalu menggeleng pelan.

"Gak papa pak, namanya juga anak-anak." Lalu dokter itu beralih pada si kecil yang duduk di pangkuan ayahnya, "adiknya lingga sakit, disayang terus ya adiknya biar sembuh."

Otak kecilnya sedang memproses informasi itu lalu setelahnya ia mengangguk mantap.

"Iya nanti Lingga lindungi, Lingga sayang telus adeknya." Bunda dan ayah terharu mendengar balitanya berucap demikian.

"Ini sayang mainannya, Lingga main lagi sama Gara ya. Sebentar lagi ayah sama bunda selesai kok."

Anak berusia 4 tahun itu mengambil kotak mainan baru yang disodorkan sang bunda lalu pergi keluar menemui kembarannya.

"Hoy! Ngelamun aja lo." Gara menyenggol Lingga yang sejak tadi terpaku mengamati Jeva yang tengah bermain PS dengan Java. Kedua kakak itu duduk di sofa sedangkan adik-adiknya duduk di bawah, fokus sekali pada layar televisi yang menampilkan pertandingan sepak bola yang sedang mereka mainkan.

J.E.V.ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang