-seven

4.2K 397 5
                                    

Upacara pemakaman kini telah usai, diiringi isak tangis anak laki-laki yang terdengar menyayat hati.

"Louise percayalah ini bukan kesalahanmu atau siapapun, terkadang takdir memang menyakitkan, tapi mungkin Tuhan sudah menyiapkan keindahan dibalik rasa yang menyesakkan."

"Jadi, jangan salahkan diri sendiri atas apa yang bahkan di luar kendali." Suara isakan masih terus terdengar. Gracella hanya tak mau Louise menyalahkan diri sendiri atau siapapun atas takdir yang menimpa kakeknya. Semua sudah digariskan Yang Maha kuasa,mau tak mau kita harus menerima dengan lapang dada.

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️

Suasana dingin di luar membuat Louise kian merapatkan selimut agar tak kedinginan. Matanya sembab dengan hidung memerah serta bibir bergetar tak menghilangkan kesan menggemaskan.

Sekarang sudah pukul 22:15 malam, Louise sebenarnya ketakutan. Ia tak terbiasa sendirian di rumah saat malam. Biasanya James selalu masuk ke kamarnya walau hanya mengucapkan selamat malam disertai dengan kecupan. Namun kini tak ada lagi perlakuan yang menghangatkan hati. Hanya tersisa kenangan yang membuat perasaannya semakin tak karuan.

Louise bingung setelah ini harus bagaimana. Tak mungkin kan ia merepotkan aunty Gracella?
Jika memang Gracella menawarkan diri untuk merawatnya, itu adalah hal yang mustahil ia terima. Anak perempuan aunty Gracella terlihat tak menyukai keberadaannya. Louise pernah mendengar, lebih baik sendiri daripada makan hati. Tapi masalahnya sekarang, ia bahkan belum terbiasa sendirian.

Sibuk dengan lamunannya hingga suara ketukan pintu tak sekalipun Louise hiraukan. Entah siapa yang mengetuk pintu dengan brutal malam-malam. Namun ia tak peduli, di pikirannya sekarang hanya ingin mengistirahatkan diri.

"Dear, buka pintunya atau Papa dobrak!"

"Lou buka pintunya kakak mohon."

"Louise!"

"Kakak hitung sampai 5 jika kau tetap tak mau membuka pintu, akan kakak hancur-"

"SHUT THE FUCK UP!" Louise sangat kesal, untuk sekarang ia hanya ingin tidur dengan tenang tanpa gangguan. Namun dengan lancangnya orang-orang yang baru ia kenal itu datang mengacaukan. Apakah sopan santun mereka benar-benar sudah hilang?

"Anak kecil ini benar-benar." dengan geram Aaron mendobrak pintu dari luar. Sudah dibilang kan jika Aaron memang memiliki sifat tempramental?

Dengan langkah buru-buru Aaron dan dua orang lainnya berjalan ke arah kamar, lalu tanpa aba aba menendang pintu dengan kasar hingga mengejutkan bocah laki-laki yang sedang meringkuk disertai isakan yang samar-samar keluar.

Oh God! saking terkejutnya, jantung Louise rasanya ingin meloncat keluar. Bahkan wajahnya kini terlihat pucat disertai pupil yang sedikit bergertar. Ayhner dengan cekatan buru-buru menenangkan, entah mengapa hatinya tercubit melihat Louise tenggelam dalam kesedihan. Ayhner paham rasanya ditinggal pergi orang tersayang. Dielusnya punggung sempit  Louise yang kini sudah mengeluarkan isakan, tak lupa kalimat penenang juga kecupan di kedua bola mata yang sedikit terpejam. Sementara Aaron tak tinggal diam, melihat reaksi Louise membuat ia merasa benar-benar menyesal.

" Maafkan kakak"

"Kakak hanya terlampau takut terjadi sesuatu padamu."

"Tolong jangan benci kakak."

"Maafkan kakak Louise."

Tak ada jawaban, hanya isakan yang terus terdengar. Aldrich yang tak kuat mendengar isakan menyakitkan itu segera melangkah maju ke sisi ranjang, mengambil alih Louise yang berada dalam pelukan. Diangkatnya Louise ke dalam dekapannya agar tenang.

"Ssstt tenanglah, dear."

"Everything will be okay, don't cry."

Dikecupnya lama dahi sempit itu guna menyalurkan seluruh afeksi. Hati Aldrich yang beberapa tahun belakangan seolah beku kini bagai mencair oleh sinar matahari.

"Mulai sekarang kau ikut papa pulang." Pernyataannya seolah tak ingin dibantah. Sejujurnya Aldrich senang, teramat senang. Tak ada lagi halangannya untuk membawa Louise ke dalam dekapan. Bahkan James kini sudah pergi dengan sendirinya tanpa repot-repot ia singkirkan. Sedangkan Louise terpaksa mengangguk pelan. Hei ia juga memikirkan nasibnya jika harus hidup sendirian. Setidaknya, hidup bersama Aldrich dan keluarganya membuat ia aman. Mengingat ucapan aunty Gracella, pikirannya seolah terbuka. Bahwa kematian kakeknya bukan salah siapa-siapa.

BARREY (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang