Prolog

23 3 0
                                    

Hari itu dimulai seperti biasa—langit biru cerah menggantung di atas desa yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa tawa anak-anak yang berlarian di alun-alun desa. Althaf berdiri di tepi lapangan, memandangi teman-temannya yang tengah bermain lempar-tangkap dengan bola api kecil yang mereka kendalikan. Dengan kekuatan api, angin, dan air, mereka bisa menciptakan permainan yang bagi Althaf terasa seperti mimpi—mimpi yang tak bisa diraih karena dirinya terlahir tanpa kekuatan.

"Althaf, ayo gabung!" salah satu temannya memanggil, sambil memutar bola api di ujung jarinya. "Nggak seru kalau kamu cuma ngeliatin!"

Althaf tersenyum kecil, namun di dalam hatinya terasa getir. "Kalian tahu aku nggak bisa," jawabnya, berusaha terdengar ringan, padahal rasa kosong itu terus menghantuinya.

Namun sebelum temannya bisa membalas, udara tiba-tiba berubah. Langit yang biru mendadak menjadi kelabu gelap. Angin yang semula lembut kini membawa hawa berat dan dingin. Awan hitam berkumpul dengan cepat di atas desa, disertai suara gemuruh yang seolah muncul dari kedalaman dunia. Tawa anak-anak berubah menjadi bisikan ketakutan. Penduduk desa menengadah, mata mereka dipenuhi kecemasan.

"Kenapa tiba-tiba jadi gelap?" bisik seorang wanita tua, suaranya gemetar.

Dan sebelum ada yang bisa menjawab, bumi mulai bergetar hebat. Gemuruh keras terdengar dari balik hutan. Makhluk raksasa muncul dari pepohonan, membuat tanah retak setiap kali kakinya menghantam tanah. Tubuh monster itu sebesar bangunan, kulitnya hitam legam seperti baja, dan matanya yang merah menyala memancarkan kebencian tak terperi. Tapi yang paling menakutkan adalah mulutnya, penuh gigi tajam yang besar, berkilau seperti belati.

Setiap langkahnya mendatangkan badai hitam yang berputar-putar di sekitarnya, seperti kekuatan kegelapan yang melindungi tubuh monster itu.

Warga desa berteriak panik. Sebagian lari menyelamatkan diri, sementara para prajurit desa dan orang-orang yang memiliki kekuatan segera berkumpul, mencoba melindungi desa. Bola api ditembakkan dari tangan mereka, badai angin dihempaskan, dan semburan air deras menghantam tubuh monster itu. Namun serangan mereka tidak berdampak apa-apa. Api padam dalam kegelapan, angin tersedot ke dalam pusaran di sekitar monster, dan air terserap seolah ditelan oleh kegelapan.

Monster itu mengeluarkan raungan mengerikan, seolah mengejek upaya mereka, dan dengan satu sapuan tangan raksasanya, ia menyapu beberapa prajurit, melempar mereka jauh ke udara. Dan sebelum ada yang sempat menyelamatkan diri, monster itu membungkuk, meraih seorang penduduk dengan cakarnya yang besar, dan dengan satu gigitan, menelan mereka hidup-hidup.

Althaf mematung di tempatnya, tubuhnya gemetar. Di hadapannya, monster itu terus mengamuk. Ia melihat rakyat desa dimakan satu per satu oleh monster itu. Darah dan jeritan memenuhi udara, namun Althaf tidak bisa bergerak. Tidak ada yang bisa dia lakukan.

"Althaf, lari!" Temannya berteriak sambil berlari ke arahnya, wajahnya pucat ketakutan. "Kita nggak bisa ngelawan ini!"

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, monster itu mengumpulkan energi kegelapan di tangannya, membentuk bola besar hitam pekat. Energi itu meledak ke segala arah, meluluhlantakkan apapun di jalannya. Bangunan hancur seketika, tanah terbelah, dan orang-orang yang terkena ledakan langsung tersapu seperti daun yang diterbangkan badai.

Salah satu teman Althaf melompat di depannya, mencoba melindungi Althaf dari ledakan. Tubuh temannya terhempas keras ke tanah, dan saat debu perlahan mengendap, temannya terbaring tak bergerak.

Air mata Althaf mengalir tanpa kendali. Dia sudah kehilangan segalanya—keluarga, teman, dan sekarang desanya. Jeritan putus asa keluar dari mulutnya, namun tidak ada yang mendengar. Di sekelilingnya, hanya kehancuran.

Tepat ketika monster itu hendak menyerang lagi, tiba-tiba langit bergetar dengan suara petir yang menggelegar. Cahaya kilat menyambar turun, dan di tengah-tengah badai kegelapan, sebuah sosok mendarat dengan keanggunan yang tak terduga. Seorang pria, diselimuti oleh kilatan petir biru, berdiri menghadang monster itu.

Pria itu tampak tak terpengaruh oleh kehadiran monster yang begitu besar. Ia mengenakan jubah hitam yang berkibar di angin, dengan garis-garis biru berkilauan di sepanjang tubuhnya. Di tangannya, sebuah pedang panjang yang juga memancarkan petir, siap untuk bertarung.

Althaf menatapnya dengan takjub. Siapa pria ini?

Pria itu menoleh ke arahnya sejenak, matanya biru tajam seperti badai yang mengamuk. "Istirahatlah, anak muda. Aku akan urus ini."

Tanpa menunggu jawaban, pria itu bergerak. Petir menyambar di setiap langkahnya. Dengan kecepatan yang mustahil, dia berlari ke arah monster itu, pedangnya bersinar terang, dan dengan satu tebasan, dia memotong salah satu tangan monster itu. Darah hitam menyembur ke udara, tapi monster itu tidak menyerah. Makhluk raksasa itu mengayunkan tangan lainnya, mencoba menampar pria itu. Namun, pria itu dengan lincah menghindar, dan dengan kilatan petir, ia muncul di belakang monster, menusukkan pedangnya ke punggung makhluk itu.

Monster itu meraung kesakitan, namun masih belum kalah. Dari mulutnya, tembakan energi hitam meluncur ke arah pria itu. Pria itu mengangkat tangan, menciptakan perisai petir yang berkilauan, dan menahan serangan tersebut. Energi kegelapan bertabrakan dengan petir, membuat ledakan besar yang mengguncang tanah.

Pria itu melompat tinggi ke udara, mengumpulkan petir di sepanjang bilah pedangnya, lalu dengan satu tebasan cepat, dia menghantam monster itu dengan serangan yang dahsyat. Ledakan petir yang dihasilkan menghancurkan seluruh tubuh monster, menghujamnya dengan kekuatan yang tak terbayangkan.

Namun monster itu masih belum habis. Dengan kekuatan terakhirnya, monster itu melayangkan serangan besar, energi hitam membentuk pusaran mematikan di sekelilingnya. Desa hampir seluruhnya hancur, dan penduduk yang tersisa hanya bisa menyaksikan dengan putus asa.

Tapi pria itu tidak gentar. Dengan satu teriakan keras, dia memanggil petir dari langit, dan pedangnya menyala biru terang seperti matahari. "Ini saatnya berakhir!" serunya, lalu melompat ke arah kepala monster itu.

Dengan satu tebasan penuh kekuatan, pria itu menusukkan pedangnya ke tengkorak monster, dan seketika, petir biru meledak ke segala arah, menghancurkan monster itu menjadi serpihan-serpihan kecil.

Althaf hanya bisa menatap dengan mata terbelalak. Monster yang bahkan seluruh desa tak mampu kalahkan, kini hancur dalam hitungan menit oleh pria ini.

Pria itu turun dari reruntuhan dengan tenang, menyarungkan pedangnya kembali. "Kamu masih hidup, itu bagus," katanya dingin, sambil menatap Althaf. "Dunia ini tak mengenal belas kasihan bagi yang lemah. Jika kamu ingin bertahan hidup, kamu butuh kekuatan."

Althaf hanya bisa memandangi pria itu dengan takjub dan kebingungan.

"Datanglah ke Akademi Nexus," lanjut pria itu. "Di sana, kamu akan menemukan kekuatanmu. Dan mungkin, kamu bisa mengubah takdirmu."

Dan dengan kilatan petir terakhir, pria itu menghilang, meninggalkan Althaf berdiri di tengah puing-puing desanya. Namun kali ini, percikan harapan menyala di dalam hatinya.

Kisahnya baru saja dimulai.

Dunia yang berdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang