─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
MENGARUNGI buaian indah alam mimpi bersama segunung kebahagian dalam dada. Ghaitsa merasa malam tadi ialah malam dengan ternyenyaknya sepanjang hidup. Tidak tersentak. Tidak terbangun dengan sekelumit benang kusut pada relung jiwa. Tidak pula mimpi buruk datang mengacaukan sunyinya malam. Intinya, puan tersebut mampu menikmati setiap sekon tidurnya dan bangun keesokan hari dengan wajah berseri, cerah bukan main serta senyuman lebar terbit bagaikan sinar matahari. Kendati kemarin betulan lelah seharian berjalan kesana-kemari, Ghaitsa justru merasa dia baik-baik saja, bahkan tubuhnya seakan penuh dengan setangki energi. Begitulah ia segera bergegas untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Berias secantik dan serapi mungkin sebelum keluar dari kamar guna menyambangi kamar Haidden terlebih dahulu.
Sesuai tebakan, sang kakak masih melalang buana dalam mimpinya. Ghaitsa membiarkan tasnya jatuh merosot menuju lantai lantaran ia baru saja meloncat ke atas kasur sang kakak dengan riang dan gembiranya. "Abaaaang~ Abaaaang~ Abaaaaang~ Aisa mau berangkat sekolah, lho? Abang masih bobo, nih?"Tentu saja terganggu, wajah bantal laki-laki itu mendongak beberapa saat kemudian. Matanya setengah terpicing menatap Ghaitsa lalu bando tebal berwarna cokelat bersama corak garis-garis halus yang mana tidak jauh berbeda dengan warna rambut si bungsu. Ah, bando yang Johan belikan kemarin rupanya. Haidden lantas menjulurkan tangan seiring lengkungan tipis tercetak, mengusap pipi berisi lawan dan berbalik memunggungi selanjutnya sembari menarik selimut menutupi diri. "Iyaa, hati-hati, ya," ujarnya serak. "Kalau ada yang nakal. Jambak aja rambutnya."
Ghaitsa merengut, dia lantas bersimpuh di sebelah kakaknya itu dan kembali menggoyang-goyangkan tubuh yang lebih tua. "Abaaang~ Aisanya udah diliat bener-bener belum? Masa cuma bilang gitu aja?" balasnya setengah jengkel. "Aisa mau sekolah, lho?"
Tahu benar apa isi kepala kecil adik bungsunya tersebut, Haidden segera menyingkap selimut yang semula menutupi tubuh. Ia bangkit guna menangkup lembut wajah Ghaitsa dan tersenyum lebar walau masih terkantuk-kantuk. Haidden lantas mengecup dahi lawan dan berkata mantap, "Adeknya Abang cantik sekali hari ini, kemarin juga dan besok-besoknya juga. Manisnyaaa. Lucu juga. Imut apalagi. Mahakarya Tuhan yang indahnya luar biasa. Selamat sekolah, Adek. Hati-hati di jalan, ya. Kalau ada yang nakal, telepon Abang. Abang samperin siapa pun itu."
"Anaknya presiden gimana?"
"Dek, kita pindah negara aja, yuk? Hidup damai di sana. Jangan hidup menantang maut begitu."
Tawa lucu dari gadis SMA tersebut sontak lepas, Ghaitsa memeluk Haidden erat-erat, menghujani sang kakak dengan kecupan demi kecupan sebelum mengirim satu cengiran manis khasnya. "Abang lucu, hehe~"
Mendengar kalimat tersebut, pemuda itu terdiam ada tempatnya. Iris cokelat terangnya mengamati lamat-lamat ekspresi lawan tanpa berkedip sekali pun. Dulu sekali, usai Aimara meninggalkan mereka dengan begitu tragisnya, Haidden sangat-sangat mantap menyatakan di dalam hati jikalau Ghaitsa adalah harta berharganya. Bahkan nyawa saja tidak cukup untuk ia tumbalkan pada iblis semata-mata hanya untuk memberikan kebahagiaan mutlak pada bungsu perempuan terkasihnya ini. Oleh karena itu, bila ia dan yang lain memberikan cinta dan kasih sayang yang berlimpah pada Ghaitsa. Hanya menunggu waktu hingga semuanya akan baik-baik saja. Keluarga kecil mereka akan segera menemukan happy ending absolutnya. Hidup mereka akan damai dan tenang. Ghaitsa akan segera sembuh dari traumanya. Haidden berpikir sedangkal itu dahulu. Sampai pada ketika dia mendengar langsung dari mulutnya sang adik mengenai permintaan mengejutkan itu, Haidden berpikir keinginan Ghaitsa itu konyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...