Whirlwind of Emotions (3/5)

4 0 0
                                    

Perlahan Berbagi Beban

Toronto tengah memasuki musim gugur, dengan daun-daun maple yang berwarna kuning keemasan dan merah kecokelatan memenuhi jalanan kota. Nathaniel berdiri di dekat jendela penthouse-nya yang mewah di lantai atas sebuah gedung tinggi di pusat kota. Pemandangan cakrawala kota yang luas terlihat jelas dari kaca jendela yang membentang dari lantai ke langit-langit. Suasana di dalam penthouse terasa sepi dan modern—lantai kayu yang dipoles, perabotan minimalis, dan dinding abu-abu yang berkelas.

Sudah beberapa minggu sejak pertemuannya yang tak terduga dengan Anneth di acara bisnis, dan sejak saat itu, hidup Nathaniel mulai berubah perlahan. Meski ia masih merasakan hampa yang ditinggalkan Damian, mantan kekasih prianya, kini ada seseorang yang membuatnya merasa lebih hidup. Anneth. Wanita fotografer itu membawa energi yang ringan ke dalam dunianya yang suram.

Suara bel pintu terdengar, memecah keheningan. Nathaniel berjalan menuju pintu dan membukanya. Anneth berdiri di ambang pintu dengan senyum cerah, mengenakan jaket cokelat muda dan syal tipis berwarna krem. Dia membawa tas kamera besar di bahunya, sesuatu yang hampir menjadi ciri khasnya.

"Nathaniel! Kau siap?" sapanya dengan riang, matanya berkilat penuh antusiasme.

Nathaniel tersenyum kecil, meski tidak bisa menyembunyikan kelelahan di matanya. "Ya, tentu saja. Kau yakin ingin ke tempat itu? Ini bukan sesuatu yang biasa aku lakukan."

Anneth tertawa kecil. "Yakin! Kita akan menikmati pemandangan di taman kota, mengambil beberapa foto, dan yang paling penting, kau akan merasakan udara segar. Percayalah, itu akan membantu!"

Mereka meninggalkan penthouse Nathaniel dan turun menuju taman kota yang hanya beberapa blok dari gedung tersebut. Taman High Park, dengan jalan setapak yang mengular di antara pepohonan, danau kecil yang indah, serta padang rumput terbuka, adalah tempat favorit Anneth untuk berjalan-jalan dan mencari inspirasi. Hari itu, udara dingin khas musim gugur terasa sejuk, tetapi matahari masih bersinar lembut, memancarkan cahaya keemasan di antara dedaunan.

"Aku suka tempat ini," kata Anneth sambil mengarahkan kameranya ke arah danau. "Ini adalah tempat yang sempurna untuk menenangkan pikiran."

Nathaniel memperhatikan bagaimana Anneth bergerak dengan begitu nyaman di antara alam. Dia tampak begitu berbeda dari kehidupan bisnisnya yang penuh tekanan. “Kau sering datang ke sini?” tanyanya, berusaha lebih terlibat dalam percakapan.

Anneth mengangguk sambil memotret sekelompok burung yang terbang di atas danau. "Ya, setiap kali aku merasa lelah atau ingin mendapatkan perspektif baru, aku datang ke sini. Bagaimana denganmu? Apa ada tempat yang kau tuju saat ingin melepaskan diri dari semuanya?"

Nathaniel terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku biasanya hanya terjebak di kantor atau penthouse. Jarang sekali ada waktu untuk benar-benar keluar dan menikmati hal-hal seperti ini."

Anneth memandangnya dengan simpati. "Nathaniel, hidup tidak harus selalu tentang pekerjaan atau tekanan. Kadang-kadang, kita harus membiarkan diri kita merasakan hal-hal kecil yang membuat kita bahagia. Seperti duduk di bangku taman ini dan mengagumi pemandangan."

Mereka duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap danau. Daun-daun kering di bawah mereka bergemerisik saat angin bertiup pelan. Anneth diam sejenak, mengatur kameranya sebelum berkata, "Kau tahu, kadang-kadang aku juga merasa terjebak dalam hidupku. Menjadi fotografer lepas bukanlah pekerjaan yang selalu stabil. Tapi aku memilih untuk terus mencari hal-hal yang bisa membuatku merasa hidup."

Nathaniel menatap Anneth, merasa kagum dengan optimismenya. “Aku tidak tahu bagaimana kau bisa selalu tampak begitu ringan dan bebas,” katanya pelan. “Aku merasa seperti... selalu terbelenggu oleh tanggung jawab.”

Anneth tersenyum, kali ini lebih lembut. "Mungkin karena aku telah belajar bahwa beban itu akan selalu ada. Tetapi bagaimana kita menanganinya—itu yang membuat perbedaan."

Keheningan yang nyaman mengisi ruang di antara mereka saat mereka memandang danau. Nathaniel merasa sedikit lebih ringan, meskipun masalah-masalahnya tidak sepenuhnya hilang. Bersama Anneth, dia bisa merasakan sesuatu yang selama ini hilang dalam hidupnya—sebuah hubungan yang tidak didasarkan pada tuntutan atau ekspektasi, melainkan pada kehadiran murni.

Setelah beberapa saat, Nathaniel bertanya, "Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa aku membutuhkan ini?"

Anneth menatapnya dengan tatapan lembut. "Aku tidak yakin. Tapi aku tahu apa rasanya kehilangan arah. Kau tampak seperti seseorang yang sedang mencoba menemukan kembali dirinya."

Nathaniel terdiam, menyadari betapa dalam kata-kata Anneth. Ia benar-benar kehilangan arah setelah Damian pergi dari hidupnya. Dan meskipun ia tidak terbuka tentang itu kepada siapa pun, Anneth tampaknya bisa melihatnya tanpa ia harus mengatakannya.

Mereka berdua akhirnya kembali ke apartemen Anneth yang terletak di daerah Kensington Market, sebuah lingkungan yang lebih artistik dan berwarna. Apartemen kecilnya terletak di lantai dua sebuah bangunan tua dengan dinding bata merah yang dipenuhi mural warna-warni. Begitu masuk, Nathaniel merasakan perbedaan yang kontras dengan penthouse modernnya. Di sini, suasananya hangat dan nyaman, dengan banyak foto-foto hitam-putih yang terpajang di dinding, menunjukkan perjalanan Anneth sebagai fotografer.

"Kau tahu, aku selalu berpikir tempat tinggal seseorang menggambarkan kepribadian mereka," kata Anneth sambil menyeduh kopi di dapur mungilnya. "Lihat saja tempatku, berantakan tapi penuh kenangan."

Nathaniel mengamati apartemen itu, merasa ada kedekatan yang nyaman di sini. "Ini terasa... seperti rumah," gumamnya.

Anneth tersenyum padanya, lalu menyerahkan secangkir kopi hangat. "Kau bisa selalu datang ke sini kalau kau butuh pelarian. Terkadang, suasana baru bisa mengubah cara kita melihat sesuatu."

Nathaniel mengambil cangkir kopi itu, merasakan kehangatannya di telapak tangannya. "Terima kasih, Anneth. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku merasa sesantai ini."

Mereka duduk bersama di sofa kecil yang empuk, dengan Anneth yang menceritakan berbagai proyek fotografinya dan Nathaniel yang sesekali tersenyum. Hari itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nathaniel merasa bahwa mungkin, ada harapan untuk kebahagiaannya kembali muncul di tengah pusaran emosinya yang bergejolak.

---

Bersambung

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang