Bab 44

377 49 20
                                    

Makasih buat yang masih ngikutin cerita ini. 

Terima kasih buat yang suka vote dan komen, bikin makin  semangat nulis....


Aku menyapanya saat bertemu di restoran hotel pagi itu. Ini pertama kalinya melihatnya berdiri, dia lebih tinggi dari bayanganku selama ini, jadi perlu sedikit mengangkat dagu untuk menatapnya saat kami berhadapan. Di tangan kirinya ada tongkat yang nampak kokoh dari steenless steel. Cara berjalan sebelah kakinya kaku tapi jauh lebih baik daripada menggunakan kursi roda bukan? Keadaan yang membuat aku bahagia dan terharu.

Tentu bukan hal mudah menyapanya karena aku merasa gugup, khawatir debar jantungku yang mendadak kencang didengarnya. Lebih dari setahun sejak terakhir kali melihatnya dan perasaan terpesonaku saat melihatnya di pagi hari masih sama, aku suka wangi parfumnya, rambutnya yang lembab, dan wajahnya yang nampak segar.

Kami berbasa-basi, tepatnya aku yang bertanya basa-basi. Mukaku terasa panas setiap kali tatapannya menyapu wajahku dan berhenti di sana. Menurunkan rasa percaya diriku, apa sunscreen dan pelembab yang aku oleskan di wajah nampak tidak merata? Apa lipstikku belepotan? Aku buru-buru melipat bibir dan pamit.

"Siapa Yu?" Riana bertanya begitu aku sudah kembali duduk di kursi, siap menyantap sarapan bubur ayam dan sosis panggang.

"Bosku waktu di Yogya." Aku mengigit sosis yang sudah aku celupkan ke dalam saos.

"Ganteng ya. Dia sakit ya, jalannya begitu?" Maya mengikuti arah pandangan Riana.

"Dia jadi begitu karena kecelakaan motor."

"Oh."

"Yang tadi pake tongkat ya, tadi gue pas-pasan di lift, ganteng sih, di luar kekurangannya, bodynya keren lho, badannya tegap, dadanya bidang, perutnya rata. Terus karakter wajahnya tuh manly walaupun ya nggak semanly Tom Shelby

"Tetep," Komentar Rian dan Maya bersamaan.

Semalam aku baru tahu siapa itu Tom Shelby yang sering dibicarakan Lusi ternyata karakater di film seri Peaky Blinders. Aku lupa, bagaimana mulanya, curhat Lusi semalam berakhir dengan nonton film Peaky Blender hingga jam 1 pagi. Keren banget sih filmnya, sepertinya film ini akan aku jadikan list untuk ditonton sampai tamat.

Percakapan terhenti, kami semua sibuk dengan makanan masing-masing, bubur ayamku sudah habis tapi perut masih lapar. Aku kembali ke deretan makanan di restoran, mengantri omelette dan mengambil dessert.

"Sudah nikah dia Yu?" tanya Maya ketika aku kembali duduk di kursi. Aku kira percakapan tentang Pak Aryo sudah berhenti, ternyata temanku masih kepo.

"Belum, tapi yang terakhir aku tahu dia sudah dijodohkan sama orang tuanya."

"Ya ampun, gue jadi inget tema mainstream novel di platform, dijodohkan. Terus endingnya gimana, apa mereka akhirnya suka sama suka?" tanya Maya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Nggak tahu, keburu pindah ke sini jadi nggak ngikutin gosipnya." Hal yang sangat ingin aku ketahui, bagaimana kelanjutan kisah perjodohan Pak Aryo dan Mba Ratih? Setelah menyuap omelette aku mengangkat kepala, melihat ke arah meja di mana Pak Aryo duduk dan pandangan kami bertemu bersamaan dengan itu ada getaran aneh yang merambati tubuh dan rasa malu, hingga mukaku terasa panas, buru-buru aku menundukkan kepala.

***

Pertemuan dengan Pak Aryo mau tidak mau mengingatkanku pada Bu Hardjo. Masih ada sedikit rasa tidak enak hati karena memilih bekerja di Jakarta daripada menuruti harapannya, menjadi seperti Bapakku, orang kepercayaannya. Kadang aku merasa jadi orang tidak tahu balas budi. Setiap pulang ke Yogya, Ibu suka memintaku mampir ke rumah Bu Hardjo untuk silaturahmi dan sebagai bentuk kesopanan, tapi aku abaikan karena belum siap jika respon Bu Hardjo sama seperti saat aku pergi, ketus dan nampak kesal. "Nanti saja Bu kalau lebaran," elakku. "Lebaran masih tahun depan," gerutu Ibu.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang