56. Indagis Tuyul (6)

272 20 0
                                    

8 tahun lalu.

Aku hanyalah seorang pria muda yang menyambung hidup dengan kerja serabutan. Itu semua kulakukan bukan hanya demi diriku seorang, tapi juga demi putra semata wayangku, Bhadrika.

Ia merupakan putra kesayanganku, umurnya masih 4 tahun, tapi hidupnya sangat berbeda dengan kebanyakan anak seusianya.

Pada usia semuda itu, ia menderita kanker otak yang mengakibatkan semua rambutnya rontok. Ia seringkali menangis sepanjang malam menahan rasa sakit pada kepalanya.

Sebagai seorang Ayah, rasanya begitu memilukan melihat putraku menderita seperti itu. Aku ingin menyembuhkannya, tapi sayangnya aku bukanlah Ayah yang hebat.

Sudah berbagai cara kucoba cari uang untuk mengobatinya, entah dengan cara yang baik atau buruk, semuanya sudah pernah kucoba. Namun uang yang terkumpul tak pernah cukup.

Beberapa temanku juga mencoba untuk membantuku, namun karena kami semua bukanlah orang yang berada. Jadi uang yang terkumpul masih belum cukup untuk biaya pengobatan Bhadrika.

Sesekali aku melihat senyuman hangat dari anak itu, senyuman yang memberikanku kekuatan untuk terus berjuang. Senyuman yang mengingatkanku pada mendiang istriku yang telah meninggal saat melahirkan Bhadrika.

***

Karena kami menikah muda, kami tak sempat menempuh pendidikan yang tinggi. Hingga membuat kami sulit mencari pekerjaan yang layak.

Tapi di saat-saat terakhirnya, aku berjanji pada mendiang istriku. Aku akan membahagiakan Bhadrika apapun yang terjadi.

Istriku pun memberikanku sebuah kalung, yang di dalamnya dapat digunakan untuk menyimpan sebuah foto kecil yang berharga bagiku.

"Apapun yang terjadi, tolong jaga dan bahagiakan putra kita ya!" Pintanya, aku hanya bisa mengangguk sembari melihat istriku yang perlahan menutup matanya untuk selamanya.

Aku terus memegang janji itu seumur hidupku, namun sesuatu yang buruk pun terjadi pada Bhadrika. Sesuatu yang sangat tak kuinginkan terjadi padanya.

***

Suatu malam, hujan turun dengan sangat deras disertai dengan gemuruh petir yang memekakkan telinga.

Malam itu Bhadrika menangis tanpa henti, tangisannya yang pilu menunjukkan rasa sakit di kepalanya yang tak tertahankan.

Aku berusaha menenangkannya, namun semua itu tak membuahkan hasil. Hingga saat itulah aku menyadari kegagalanku sebagai seorang Ayah.

Bhadrika, putra kesayanganku, meninggal di dalam pelukanku. Kematiannya akibat kegagalanku sebagai seorang Ayah yang tak mampu menyembuhkan penyakitnya.

Malam itu aku menangis sembari memeluk jasadnya yang mulai terbujur kaku. Rasa penyesalan merasuk ke dalam jiwaku yang terdalam.

Hingga suatu keajaiban aneh pun terjadi. Dari dalam tubuh Bhadrika, aku melihat gumpalan roh berwujud seperti Bhadrika perlahan keluar dan melayang ke langit.

Aku sempat tertegun sesaat melihat roh itu melayang dengan penuh ketenangan, hingga aku menyadari bahwa mungkin itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa Bhadrika.

Aku pun mencoba untuk meraih roh itu dan kembali memasukkannya ke dalam tubuh fisik Bhadrika.

Roh yang awalnya tampak tenang itu tiba-tiba saja menjerit kesakitan saat kucoba untuk kembali menghidupkannya.

Aku tidak peduli dengan perbuatan yang sedang kulakukan itu. Perbuatan yang berpotensi mengacaukan siklus hidup dan mati, aku sama sekali tak memikirkannya, yang terpenting bagiku adalah keselamatan dari Bhadrika.

Namun sayangnya usahaku tak membuahkan hasil. Roh Bhadrika tak mampu kembali ke tubuhnya sendiri.

Di tengah kekalutan itu, aku memutuskan untuk pergi keluar meminta bantuan seorang dukun sakti untuk menghidupkan kembali Bhadrika.

***

Setelah aku berlari selama berjam-jam menembus hujan sembari menggendong tubuh dan roh dari Bhadrika, aku akhirnya tiba di gubuk tempat tinggal dukun itu.

Di dalam gubuk itu dipenuhi dengan pusaka antik serta barang-barang aneh yang tak kuketahui fungsinya buat apa.

Sementara sang dukun sendiri dijaga oleh dua sosok kuntilanak merah yang berdiri di sisinya sembari mengawasiku.

Aku pun mengutarakan tujuanku datang ke sana. Dukun itu pun juga memahami keinginanku, namun sayangnya ia juga tak mampu menghidupkan kembali Bhadrika yang telah mati.

"Orang yang sudah mati tak bisa hidup kembali, karena fungsi organ tubuhnya telah rusak. Terlebih jika tubuh orang itu menderita penyakit yang parah, ya kemungkinannya semakin kecil untuknya hidup kembali!" Jelasnya.

Mendengar penjelasan dari dukun itu, membuat harapanku kembali pupus. Dari tadi roh Bhadrika terus menjerit kesakitan, namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.

Namun tiba-tiba dukun itu memberikanku sebuah ide, untuk merubah roh Bhadrika menjadi sosok Tuyul, sehingga ia tak perlu merasa kesakitan lagi saat berada di alam gaib.

Tanpa berpikir panjang, aku pun menyetujuinya. Saat itu yang ada di dalam pikiranku hanyalah keselamatan Bhadrika saja.

Dukun itu memberikanku pelayanan spesial, karena kasusku merupakan kasus yang unik, kasus yang tidak pernah dilihat olehnya sebelumnya.

Dimana ada seseorang yang mampu mengacaukan siklus hidup dan mati orang lain. Sehingga aku diperbolehkan memakai jasanya terlebih dahulu sebelum membayarnya nanti.

***

Kurang lebih selama beberapa hari, dukun itu melakukan suatu ritual aneh pada roh Bhadrika. Sedangkan tubuh fisik Bhadrika sudah ku kuburkan dengan layak.

Aku juga mendapat informasi dari kuntilanak bawahan dukun itu, bahwa orang sepertiku memang ada sejak dulu. Dan orang-orang menyebut kami sebagai Indagis.

Proses itu pun akhirnya selesai, Bhadrika kini telah berubah sesosok hantu anak kecil berkepala botak. Ia sekarang tak menjerit kesakitan lagi, dan sejujurnya hal itu membuatku tenang.

Saat aku menyentuh tubuh anak itu, suatu keajaiban pun terjadi. Tubuh kami diselimuti oleh cahaya kuning, iris mata Bhadrika juga ikut berubah menjadi warna kuning.

"Luar biasa, baru pertama kali kulihat hal semacam ini!" Ucap dukun itu dengan penuh rasa kagum.

Dengan itu, aku dan putraku pun resmi melakukan kontrak. Dan ia bersemayam di dalam kalung pemberian istriku.

***

Setelah kejadian itu, aku pun menyelidiki segala hal yang berhubungan dengan Indagis. Dukun yang waktu itu kutemui sepertinya tidak tahu menahu soal para Indagis.

Sedangkan dua kuntilanak bawahannya sepertinya lumayan memahami soal Indagis. Meskipun aku hanya mendapatkan sedikit informasi dari mereka.

Berdasarkan penyelidikanku terhadap Indagis selama beberapa waktu. Kini aku tahu bahwa silsilah keluargaku telah memiliki kekuatan seperti ini sejak lama.

Namun karena kekuatan ini tak terpakai selama beberapa generasi, akhirnya kekuatan itu hanya terpendam di dalam diriku.

Mungkin, perasaanku yang begitu berkecamuk saat hari kematian Bhadrika lah yang membuatku berhasil membangkitkan kembali kekuatan ini secara tanpa sadar.

Lalu sesuai kesepakatan, aku pun memanfaatkan kekuatanku untuk mencuri barang-barang berharga milik orang lain tanpa ketahuan. Lalu uang yang kudapatkan itu kugunakan untuk membayar dukun yang jasanya kusewa waktu itu.

Aksiku pun terus berlanjut, setelah aku mengumpulkan cukup uang. Uang kugunakan untuk membangun usaha warung makan, dan teman-teman yang selama ini membantuku, kujadikan mereka karyawan tetap untuk bekerja di sana.

Bukan hanya itu, aku juga memanfaatkan kekuatan ini untuk menaklukkan banyak jin hebat. Jin yang kugunakan sebagai penglaris usaha daganganku.

Tentu berkat kekuatan ini pula, aku tak perlu susah payah memberikan mereka tumbal. Karena pada dasarnya, aku lebih kuat dibandingkan mereka.

Indagis 1: Jawa ArcTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang