Keesokan harinya, sinar matahari pagi kembali menyinari Akademi Nexus, tetapi kali ini terasa lebih berat dan mencekam. Althaf dan Nior bangun lebih awal, namun ada kecemasan yang jelas terpancar di wajah mereka. Mereka tahu hari ini tidak akan mudah. Setelah sarapan yang terasa lebih singkat dari biasanya, mereka berdua berjalan menuju lapangan utama. Ilham, Evan, dan Nopla sudah menunggu. Wajah mereka tak menunjukkan emosi, tetapi ada aura tegas dan dingin yang menyelimuti mereka.
Ilham berdiri di tengah lapangan, tubuhnya tegak dan penuh wibawa. "Selamat pagi," katanya, suaranya begitu dingin hingga rasanya mampu menembus tulang. "Hari ini, kalian akan merasakan pelatihan yang sesungguhnya. Ini bukan sekadar pelatihan biasa. Kami akan mendorong kalian hingga batas paling akhir. Jadi, siapkan dirimu."
Althaf dan Nior saling berpandangan, perasaan mereka berkecamuk antara antusiasme dan ketakutan. Mereka tahu apa yang akan datang. Althaf menegakkan punggungnya dan berbisik pada Nior, "Kita bisa melakukannya, Nior. Kita harus siap menghadapi apapun."
Evan melangkah maju, senyum tipis di wajahnya yang terkesan dingin. "Kalian mungkin berpikir ini hanya latihan fisik, tetapi kami akan menguji kekuatan mental kalian juga. Tidak ada ampun. Tidak ada jalan pintas. Kalian akan jatuh, kalian akan merasakan sakit, tapi di sini, hanya yang kuat yang bertahan."
Nopla menambahkan, "Setiap detik kalian akan dipantau. Jika kalian lengah, kalian akan dihabisi. Hanya dengan rasa sakit dan penderitaan, kekuatan kalian akan mencapai puncaknya."
"Baiklah," kata Ilham tanpa ekspresi. "Kita mulai dengan berlari."
Althaf dan Nior bersiap. Mereka sudah terbiasa dengan lari, tapi kali ini berbeda. "Lari mengelilingi Akademi 20 kali... tanpa berhenti," Ilham berkata dengan nada tajam. "Dan jika kalian berhenti, kalian akan memulainya lagi dari awal."
Mereka mulai berlari, napas berat dan keringat mulai mengalir. Setiap langkah terasa seperti membawa beban berton-ton. Udara terasa lebih tebal, dan meskipun kaki mereka terasa seperti terbakar, mereka terus berlari. Evan dan Nopla mengikuti dari belakang, mengawasi mereka seperti elang. Ilham berdiri di tengah lapangan, tatapannya tidak pernah lepas dari mereka, seolah-olah mengukur setiap kelemahan mereka.
Ketika Nior mulai melambat, Evan tiba-tiba berada di sampingnya. "Tidak ada tempat untuk yang lemah di sini," katanya dengan nada mengejek. "Jika kau lelah, berhenti saja. Tapi ingat, itu artinya kau gagal."
Nior mengatupkan giginya dan memaksa tubuhnya untuk bergerak lebih cepat. Althaf, meskipun napasnya mulai tersengal-sengal, berjuang untuk tetap menjaga ritme. Mereka tahu, satu kesalahan kecil saja akan mengulang semua dari awal.
Setelah menyelesaikan 20 putaran yang tampak seperti mimpi buruk tanpa akhir, Ilham tidak memberi mereka waktu untuk beristirahat. "Baiklah, sekarang kita akan lanjut dengan pengujian kekuatan kalian. Kalian sudah lelah, tapi di sini, kelelahan adalah musuh yang harus kalian taklukkan."
Ilham memanggil Nior terlebih dahulu. "Tunjukkan kekuatanmu, pembalik segalanya."
Nior mengatupkan tangan, berusaha memusatkan energinya. Namun kelelahan mulai mengganggu konsentrasinya. Dia mencoba untuk memanipulasi energi di sekitarnya, membalikkan kekuatan yang ada. Tapi setiap kali dia mencoba, energinya terasa tidak stabil.
"Lemah," kata Ilham dengan suara datar. "Kau tidak akan selamat di pertempuran dengan kekuatan setengah hati seperti itu. Lagi!"
Nior mencoba lagi, tapi kali ini lebih buruk. Kekuatan yang dia lepaskan tidak terkontrol, hampir menghantam dirinya sendiri. Evan bergerak cepat, menghentikan energi tersebut dengan satu tangan. "Jika kau tak bisa mengendalikan kekuatanmu, kau akan membunuh dirimu sendiri. Fokus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia yang berdarah
FantasySeorang anak yang hidup dalam bayang-bayang kehancuran mendapati dirinya tersiksa oleh kenyataan yang tidak pernah bisa ia lupakan. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ketika desanya dihancurkan oleh monster raksasa, menyapu bersih seluruh...