Chapter 9: Biyan

146 5 0
                                    

Aroma tanah basah samar tercium di antara kesadaranku yang baru sepenggal. Sayup-sayup gemerencik air langit menerpa genteng atau semacamnya. Aku menggeliat dari bawah selimut merah. Lalu mengulurkan tangan untuk menarik selimut yang sedikit melorot. Sungguh pagi yang dingin.

"Hoamphhhh!"

Kubentangkan tangan kiriku tepat di atas nakas yang tak pernah lelah berdiri manis di samping kiri ranjang. Hebatnya, tanganku langsung tepat sasaran menyentuh ponsel yang kuletakkan di atas nakas itu sejak semalam. Mungkin karena ini adalah sebagian dari rutinitas, sehingga semua sensor tubuhku sudah menghafalnya.

'05.15 am on Monday, Rain 21°C', tulisan yang muncul di layar ponsel begitu berhasil kunyalakan. Aku menoleh pada jam dinding bulat besar yang kupajang di tembok sebelah kiri, tidak menunjukkan waktu yang berbeda semenit pun.

Aku memainkan ponsel secara acak tanpa konsentrasi. Sesekali menguap dan memejamkan mata secara bergantian. Ambience pagi yang sangat mendukung kemalasan. Kulirik jam dinding lagi, menit-menit telah berlalu begitu saja. Kali ini aku berusaha bangkit meski semua ruas persendianku rasanya mau patah. Yang sedikit ajaib itu, tertabraknya kemarin tapi jomponya baru hari ini. Apa benar ini tanda-tanda jomblo akut? Saking terbiasanya sendiri sampai lupa kalau bisa merasakan sakit.

Brmm... brmm... brmm! 

Suara bising motor milik salah satu penghuni kos terdengar memecah pagi, tepat ketika tubuhku yang nyeri berhasil mencapai pintu kamar mandi. Aku nyengir sambil sedikit menahan rasa nyeri-nyeri sedap demi menyelesaikan ritual pagi di kamar mandi.

Ritual pagi ini tak terlalu sempurna. Nyeri di beberapa bagian tubuhku membuatku enggan. Meski pada akhirnya aku tetap memilih untuk berganti baju kerja. Aku mendekati cermin yang tersemat di antara kasur dan lemari. Beberapa goresan dan lebam masih jelas terpantau dari cermin di depanku. Untung saja dia tidak ajaib, bisa -bisa dia ghibah bersama gincu dan bedak yang sedang aku gunakan untuk menutupi lebam-lebam mengenaskan ini. Ah, sudahlah.

Aku melirik jam dinding kembali. Jarum pendeknya sedikit melewati angka delapan, sementara jarum panjangnya nyaris menyundul angka enam. Artinya aku harus bergegas berangkat ke kantor, karena jam sembilan aku sudah harus duduk manis di balik meja kerjaku.

Aku membuka pintu kamar dan menangkap jejak peninggalan hujan semalam. Aroma tanah basah yang menyusup melalui indra penciumanku, menyajikan kesejukan surgawi yang menghidupkan kembali sel-sel tubuhku yang lesu. Kusapukan pandanganku pada sekeliling. Dan seperti biasanya, hanya pemandangan deretan kamar beserta pintu-pintunya yang tertutup.

Sebagai pengikut aliran kaum cuek garis keras, sejujurnya aku juga lebih nyaman dengan pemandangan seperti ini. Ketimbang pagiku disambut dengan sapaan penuh topeng yang manis di depan tapi mengulitiku di belakang.

Ting! Ponselku berbunyi. Aku bergegas masuk kamar untuk meraihnya.

'You have new messages from...' penggalan notifikasi yang terbaca di layar ponsel. Kuabaikan saja dan memilih membuka grup WhatsApp alumni SMP yang sudah menanggung beban 735 pesan belum terbaca. Grup WA yang berita pemberitahuannya sengaja aku senyapkan ini memang sering kuabaikan.

Berstatus jomblo di umur yang tak lagi muda sering membuatku insecure, terutama saat harus mengobrol di grup alumni sekolah yang rata-rata sudah sukses. Meski ada juga yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Tetapi ibu rumah tangga dari pak komandan, atau istri manager, istri PNS, bahkan istri simpanan. Lah apalah aku yang hanya menjadi nasabah simpan pinjam.

Memang sih, mereka bilang bahwa pertemanan kami itu tidak berjarak, tidak memandang status sosial, tidak memandang bulu kuduk. Tapi yang namanya kesenjangan itu akan tetap terasa, disepakati atau tidak.

Pesan grup WhatsApp alumni SMP telah terbuka. Dalam sekali gulir, sebuah foto buram muncul di layarku. Untuk melihatnya dengan jelas aku memang harus mengunduhnya terlebih dulu, karena pada pengaturan media sengaja tidak kusetel otomatis.

Kali ini aku penasaran, meski tak benar-benar peduli. Setelah foto berhasil terunduh, sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki berseragam sekolah muncul di layar ponselku. Wajahnya tentu saja tak asing, namun kali ini berhasil membuat dadaku sedikit bergemuruh.

Ketua paguyuban alumni yang mengirimnya. Di bawah foto tertulis nama, Biyan 1E. Otakku langsung mengembara pada kenangan dua puluh tahun silam.

Dia lah Biyan, seseorang yang pernah memiliki takdir unik denganku itu nyaris seperti ditelan bumi. Konon bapaknya adalah seorang pengusaha kaya di kotaku, namun kabarnya bangkrut saat dunia terguling dengan krisis moneter. Aku tidak tahu persis beban berat apa yang harus dipikulnya kala itu, yang aku tahu, dia menghilang begitu saja saat aku mulai merasa nyaman mengenalnya.

"Eh, lihat tuh... tuh... tuh!" celetuk seorang teman yang sedang bersamaku di jam istirahat kala itu. Gadis itu teman sebangkuku saat SMP, dia memaksaku untuk menoleh pada sosok siswa yang tengah berdiri di bawah tiang basket tak jauh dari tempat kami berdiri, hanya dua sampai tiga langkah saja.

"Namanya Biyan," bisiknya lagi sambil menggigit onde-onde hangat yang ada di tangannya, "Manis, kan?"

Sementara, saat itu aku hanya memandangi dan mengamati wajah laki-laki muda itu tanpa berkomentar apapun. Sayangnya laki-laki itu bergegas pergi bersama teman-teman gengnya sebelum semesta berhasil membuatnya menoleh padaku. Setelah itu, kudengar dia pindah sekolah karena ikut Pamannya. Bahkan ada yang bilang kalau dia kabur dari rumah. Aku tidak tahu persis. Namun yang pasti, aku sempat menyesali kepergiannya sebelum kami sempat berkenalan.

Namun semesta selalu bekerja dengan cara yang ajaib. Kami diperkenalkan oleh skenario takdir yang lain. Setahun kemudian, aku justru naksir adiknya dan berencana mengucapkan selamat ulang tahun melalui sambungan telepon rumah. Sebuah kebetulan yang tak biasa, saat itu Biyan yang mengangkat telpon. Alih-alih memberikan telpon ke adiknya, dia justru menginterogasiku. Nah lucunya, kami justru semakin asyik mengobrol sampai aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun untuk adiknya yang kutaksir itu. Sayangnya, dia kembali menghilang setelah kejadian itu. Dan telpon rumahnya tak lagi bisa kuhubungi.

Bibirku menungging tanpa kuminta. Jantungku terasa berdetak sedikit lebih keras dari sebelumnya. Jempol yang biasanya lincah memainkan layar ponsel, tiba-tiba tremor seperti manula. Namun arogansiku bersikeras ingin membaca obrolan di grup alumni kali ini. Biasanya, aku paling malas membaca obrolan mereka yang tak jauh dari dapur dan kasur. Terlebih di jam-jam santai para bapak, tahu kan kalau jempol bapak-bapak lagi ngumpul? H-O-R-O-R!

Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu sebelum aku sempat membaca gosip terbaru mereka. Aku menoleh ke arah pintu kamar. Sesosok laki-laki yang kukenali menyembulkan kepalanya di tengah gawang pintu. Lelaki pemilik senyum manis itu sempat menggoda anganku semalam.

"Hai!" sapaku.

Laki-laki yang kemarin kupanggil Bi itu tersenyum, tangannya melambai padaku, "Apa kabar, Elliana Aurora?"

Aku mengerutkan alis, "Tahu namaku dari mana?"

"Sombong ih sekarang!" Bi tertawa kecil.

"What about me?" tanyaku bingung.

"Kenapa Facebook-ku nggak di-approve?" tanya Biyan yang masih belum kumengerti ke mana arah pembicaraan ini.

"Facebook? Kapan?" Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.

Bi tertawa. "Mau berangkat kerja, ya? Aku anter, yuk!" anjurnya menyudahi percakapan ambigu ini.

 "Mau berangkat kerja, ya? Aku anter, yuk!" anjurnya menyudahi percakapan ambigu ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ramalan JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang