Mobil mulai melaju pelan.
"By the way, tahu namaku dari mana?" tanyaku membuka kembali pembicaraan absurd kami sebelumnya.
"Facebook kamu, El Aurora, kan?"
Aku mengangguk.
"Yang foto profilnya, pakai kacamata item... eee bukan, ijo... ijo. Iya kan?" Binar di wajah laki-laki itu sama terangnya dengan cahaya mentari yang mulai menyembul dari balik mendung.
Aku mengangguk sejenak sebelum akhirnya rasa penasaran merajaiku. "Tunggu... tunggu, tau dari mana?"
Laki-laki itu menoleh padaku sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya sebelum menyelinap ke jalanan besar. Di saat yang sama, senyumnya terlihat penuh teka-teki.
"Wait!" Tanganku bergegas membuka aplikasi Facebook di ponsel. "Facebook kamu apa?" tanyaku sambil mengutak-atik aplikasi berlogo F berwarna biru itu.
"Uncle Bee," jawabnya santai.
Aku bergegas mengetikkan nama Uncle Bee di kolom pencarian. "What???" Mataku membelalak.
Laki-laki yang meminta dipanggil Bi saja itu menoleh sejenak, yang pasti dengan senyum manis pembawa mantra teka-teki itu.
Buru-buru kubuka profil 'Uncle Bee' yang bertuliskan meminta pertemanan sejak Jumat lalu. Ingatanku segera mengembara pada malam pendakian kemarin. Permintaan pertemanan yang sengaja kuabaikan karena tidak memiliki kesamaan pertemanan yang terpercaya.
Pilihan konfirmasi baru saja kuketuk dengan penuh keyakinan, dan... voila!
Foto Biyan edisi dua dekade yang lalu itu muncul di halaman beranda Facebook Uncle Bee. Foto yang sama dengan yang kulihat di grup WhatsApp alumni SMP tadi pagi. Aku terperangah, sedikit tak percaya. Jempolku menggulirkan layar dan memeriksa semua unggahan foto di halaman Facebook miliknya, memastikan bahwa Biyan dan Bi benar-benar orang yang sama. Nyatanya, itu fakta.
"Jadi... kamu.... Bi...?" Aku menoleh ke arahnya. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
"Ini ke arah mana?" tanyanya kemudian.
Aku memindai ulang lokasi kami terkini dengan mesin otak, kami tengah mendekati persimpangan.
"Kanan," jawabku yang langsung diikutinya dengan mengarahkan kemudi mobil untuk berbelok ke kanan. Aku mengamati jalanan sebentar, By pass I Gusti Ngurah Rai Sanur memang tak pernah lenggang.
"Masih jauh?" tanyanya.
"Sebelum perempatan depan sana itu, yang ada neon box MOMENTA," terangku sambil menunjuk dari kejauhan.
"Loh⎯kamu kerja di MOMENTA?" Bi menoleh sejenak sebelum kembali fokus pada jalan.
"Iya, kenapa?"
"Ah, nggak apa-apa, sih. Nanya aja," jawabnya enteng. Padahal dengan ekspresinya yang agak kaget begitu, kupikir ada suatu hal genting yang patut segera divalidasi.
"Bentar, jawab dulu. Jadi kamu Biyan?" tanyaku memastikan lagi.
"Iya."
"Serius? Kok bisa?" Aku masih tidak percaya dengan kebenaran ini.
"Maksudnya 'kok bisa' gimana, nih?" Biyan menangkap pertanyaanku dengan ekspresi ragu.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Kemudian berusaha menjelaskan dengan kalimat yang kueja jelas, "Kamu Biyan temenku SMP, yang dulu... kecil... item... itu, kan?"
Laki-laki di sebelahku ini malah tergelak dengan suara tawa yang hampir memecah kaca mobil.
"Lah-ketawa, ya bener, kan?" tegasku. Aku mencoba mengingat kembali sosok Biyan Adhitama saat SMP. Rasanya, ingatanku tidak salah. Bahwa bocah laki-laki di bawah tiang basket yang katanya namanya Biyan itu, ya memang item, kecil, tapi manis.
"Jadi, yang ada di ingatanmu, aku itu kecil dan item, gitu ya?"
"Ya kan, pas itu kita masih SMP kelas satu bukan, sih? Wajar, lah." Aku mencoba membuat suasana agar tetap stabil, "Paling, aku yang ada di ingatanmu juga item dan gendut, plus dekil juga. Ya, kan?"
"Enggak, tuh!"
"Masa?"
"Iya."
"Yang bener...." godaku.
"Ngapain aku bohong, sih?"
"Ya kali...." aku tertawa, "tapi kamu dulu juga ada manis-manisnya, kok," pungkasku.
"Emang aku air mineral?" kata Biyan. Tangan kirinya menyentuh kepalaku, lalu mengusuknya dengan gemas.
"Oh iya ding, kan dulu kamu belum pernah lihat aku, kan ya?"
Biyan tak menoleh. Bibirnya menciptakan senyum mencurigakan lagi.
"Eh tapi-kok kamu sekarang bisa ganteng gini?" tanyaku dengan spontanitas. Aku tidak tahu naskah mana yang sedang kulontarkan barusan, tapi kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku, "Makan apa, sih?"
"Makan skincare!" jawab Biyan spontan, "Kamu tuh ya-bisa aja kalau ngeles!" Wajah Biyan sedikit tersipu kali ini. Lalu mengalihkan topik pembicaraan, "Ini masuk, ya?"
"He-emm," jawabku sambil mengangguk. Mobil yang kami tumpangi pun mulai memasuki area parkir kantor MOMENTA.
"Nanti siang, kita lunch bareng, ya?" ajak Biyan saat aku bersiap turun dari mobil.
"Jam berapa?" tanyaku sambil menoleh sebentar ke arahnya.
"Terserah kamu aja, kamu istirahat jam berapa?"
"Hemm, ya udah, ntar WA aja, ya?" kataku.
"Oke! Tapi bener ya?!"
"Siap bos!" dalam posisi setengah membungkuk, kuletakkan kelima jariku di atas alis kanan. Kemudian bergegas menutup pintu mobil.
Biyan menurunkan kaca jendela, "El!"
Aku menunduk lagi agar tinggi kepala kami sejajar, "Kenapa?"
"Kamu juga tambah cantik sekarang," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata. Aku tertawa dan bergumam, "Dasar!"
Mobil Biyan berlalu dari hadapanku. Ada kehangatan yang tiba-tiba menusukku. Bukan karena gombalan Biyan saja, tapi sinar matahari mulai menembus awan yang tak lagi tebal. Mobil Biyan pun benar-benar telah pergi meninggalkan parkiran kantor, meninggalkanku, juga meninggalkan hatiku yang mendadak kebat-kebit.
"Selamat pagi, Mbak El!" sapa pak Mansur, OB di kantor kami. Lamunanku seketika ambyar bersama keterkejutan yang sahih. "Ciyeee... tumben ada yang nganter, pacarnya ya Mbak?" Bapak-bapak paruh baya yang gigi depannya sudah hampir ompong ini malah meledek.
"Mau tau aja, apa mau tauuuu... tempe?" balasku meledek balik sambil bergegas masuk ke kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramalan Jodoh
RomansaDASAR PELAKOR!!!!! Senin yang seharusnya khidmat, seketika ambyar begitu Elliana membaca pesan di inbox Facebook miliknya. Elliana masih jomblo di usianya yang sudah kepala 3. Semua itu berkat kematian tunangannya 8 tahun silam. Terkadang dia berpik...