[1] Rasa Yang Terpendam

144 21 0
                                    

Menatap lekat dalam diam bukanlah suatu yang aneh, tapi menatap lekat karena perasaannya seolah tak terbalas adalah sebuah pengalaman hidup yang tidak menyenangkan.

Diam bukan karena inginnya, hanya waktu dan keadaan membuatnya tak memiliki pilihan. Ingin egois namun sadar ini bukan hanya tentang dirinya tapi tentang banyak hal.

Mereka dekat tapi seolah jauh. Dia jauh tapi ketika dekat, kedekatannya lebih dari yang lain. Lebih dari yang lain. Selalu seperti ini, hanya bisa memperhatikan saat dia melenggang pergi dengan menggandeng yang lain.

“Ngelamun mulu,” Fritzy menyenggol lengan Oline ketika lebih dari 15 menit berlalu duduk dikursi bisokop, member yang kerap bertingkah tengil itu tidak ada suaranya, hanya menatap kosong layar lebar. Hari ini mereka akan menonton video untuk single terbaru.

“Eh gak kok.”

“Bohong banget. Mikirin ci Erine ya?”  Alisnya terangkat, menunggu respon sang idol yang sering tertangkap matanya menatap penuh perhatian kepada salah satu member di generasi mereka, generasi yang sama.

“Hah! Gak.”

“Gak usah bohong. Naksir kamu itu keliatan banget Oline,” Nah dia udah mulai bosan melihat salah satu teman yang dapat dikatakan dekat ini mencoba menutupi perasaan yang sudah jelas masih terbaca untuk dirinya ya, tidak tahu kalau untuk orang lain. Merasa kasihan ketika melihatnya, tapi perasaan tidak bisa dipaksa kata orang.

Eh bukan itu sih masalah yang sebenarnya yang dia pikir dia tau. Dalam tebakan liar pikirannya yang selama ini memperhatikan sekitar terutama kedekatan dua insan berbeda karakter ini, bukan masalah perasaannya yang tidak terbalas, melainkan tentang keberanian mengambil keputusan. Ini hanya tentang kenyamanan dan resiko. Tentang lingkungan dan apakah akan setimpal jika berkorban.

Dia mencoba memahami keduanya dengan posisi yang berbeda. Tidak ada yang salah tapi juga tidak benar sepenuhnya. Mengikuti perasaan itu boleh dan memegang teguh pada aturan juga tidak salah, jadi….

Ah udahlah kenapa aku yang jadi pusing, suka-suka mereka aja,’

Fritzy menggeleng pelan, menghilangkan kemungkinan penyebab dua orang yang saling bertolak belakang berperilaku di depan dan dibelakang kamera itu, padahal udah kelihatan sama-sama saling suka.

Oline menghembuskan nafasnya kasar. Apakah iya seterbaca itu? Mungkin jujur tentang perasaannya yang sebenarnya pada satu orang tidak membuatnya rugi. Apalagi dia butuh pendapat orang lain juga. Takut jika terus memendam sendiri, dia hanya akan mengambil tindakan berdasarkan egonya, yang di kemudian hari dia sesali.

“Emang keliatan ya?”

“Banget,” Jujurnya tidak ingin menutupi. Kalau kelakuan temannya seterbaca itu selama ini.

Lagi-lagi helaan nafas terdengar. “Salah gak sih?”

“Gak menjadi salah ketika kamu bisa menempatkan diri di tempat yang benar.”

“Dan sekarang aku gak ditempat yang benar ya?” Oline menatap sendu layar lebar yang menampilkan video terbaru dari grupnya. Dia hanya berharap kameramen yang mengabadikan kegiatan  dan management yang hadir tidak menyadari bahwa dirinya tidak fokus pada tampilan layar. Matanya menatap layar, pikirannya saja yang entah kemana.

Sebenarnya dua orang yang duduk berdampingan ini masih menatap ke depan, dengan posisi yang sama-sama bersandar pada sandaran kursi. Tidak akan terlihat jika mereka sedang terlibat obrolan serius, jika mereka tidak mendengar langsung suara keduanya.

Fritzy mengidikan bahu, “Posisi yang benar itu, hanya kamu dan dia yang tau.”

“Kayaknya aku buat dia risih,”

Jalan Kita [Orine]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang